Lomba Lagu Indonesia: Perlukah Musik Dilombakan?
Kompetisi dan ajang penghargaan memberi warna dan kontribusinya tersendiri pada industri musik Indonesia. Dari masa ke masa, berbagai versi lomba dan kompetisi musik diadakan dengan aneka fokus dan latar belakang diadakannya.
Salah satu lomba musik paling legendaris di Indonesia adalah Pemilihan Bintang Radio yang rutin dilehat oleh Radio Republik Indonesia sejak 1951 sampai tahun ini! Nama-nama penyanyi sohor mulai dari Broery Marantika, Eddy Silitonga, Hetty Koes Endang, Andi Meriem Matalata, sampai Rafika Duri bisa dikatakan “pecah” kariernya dengan mengikuti ajang kompetisi ini. Suara-suara berlian mereka luas terpancar dengannya.
Membayangkan tahun-tahun awal, atau bahkan dua dekade pertama perhelatannya, Pemilihan Bintang Radio yang diadakan berkesesuaian dengan dimulainya lahirnya perusahaan-perusahaan rekaman musik Indonesia, kehadirannya serasa kunci mata rantai industri musik. Dalam hal ini, kompetisi membuat banyak pihak merasa senang. Industri musik mudah menemukan potensi talenta baru dari seantero Indonesia, para juara mendapat cercah karier dan mungkin hadiah-hadiah (sementara peserta lainnya juga berpeluang diingat oleh pihak industri), dan masyarakat bisa menikmati mutunya.
Pada 1970an, kompetisi terus berkembang, dalam skala besar dan kecil, hingga membidik genre atau “kolam-kolam” tertentu. Iwan Fals hanya satu contoh fenomena Indonesia sampai sekarang, yang turut dilantangkan rekaman lagu-lagunya dari hasil lomba lagu humor di awal-awal langkahnya— sebelumnya dia juga menjuarai sebuah festival musik country .
Begitu pula yang terjadi pada Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) yang mulai diadakan Radio Prambors pada 1977. Latarnya manarik: Prambors ingin memutar lagu-lagu Indonesia yang sesuai dengan karakter radio mereka, sementara sulit dijumpai pada sirkuit industri musik pop yang sedang berlangsung pada waktu itu. Maka Prambors mengadakan sayembara bagi pencipta lagu di mana karya-karya finalisnya akan direkam dan dinyanyikan dengan vokalis-vokalis “baru” pilihan mereka (Imran Amir, Sys Ns, dan Mohammad Noor adalah sosok-sosok di balik ide tersebut). Meski sebelumnya telah rekaman, Chrisye mantap menjadi penyanyi juga dampak dari lomba ini, dengan melantunkan “Lilin-lilin Kecil”, begitu pun pencipta lagunya, James F. Sundah, yang kemudian sempat menjadi salah satu pengarang lagu paling produktif bagi sederet penyanyi.
Di tahun keduanya, giliran “Kidung”, karya cipta Chris Manusama, mengalun ke permukaaan karena berhasil menjadi salah satu finalis. Masih banyak lagi lagu-lagu yang berkumandang dan musisi yang “berhutang” pada LCLR dari masa ke masa, hingga lomba itu sampai kini ditiadakan. Sementara kehadiran LCLR semenjak 1977 pun memberi alternatif, pada tahap tertentu menjadi standar baru, bagi musik pop Indonesia.
Lomba musik juga bisa berlangsung untuk pendengar, bukan pemusik. Di TVRI sejak era 1980an, pengarah acara Ani Sumadi meluncurkan Berpacu Dalam Melodi dengan pembawa acara Koes Hendratmo. Pada intinya, ini adalah kuis wawasan musik. populer dan Nasional. Kuis ini sangat dimintai penonton. Ani Sumadi kemudian membuat satu lagi acara serupa khusus untuk segmentasi anak muda, Gita Remaja. Di kemudian tahun, Berpacu Dalam Melodi hadir kembali dengan David “Naif” sebagai pemandu lomba.
Lomba juga bisa lahir dari sosok-sosok musisi yang menjadi fenomena, sampai ke penampilan fisiknya, satu paket karakternya. Misalnya, pernah didakan lomba mirip Gombloh setelah “Kugadaikan Cintaku” bergema di mana saja, atau lomba menyanyikan lagu-lagu Ebiet G. Ade yang selalu memiliki peminatnya.
Lomba bahkan bisa lahir dari cara berdansa. Di era 1980an, misalnya, cukup marak diadakan lomba breakdance di mana-mana. Sebagai sebuah hal baru, breakdance mendapat sambutan yang merata bagi segala lapisan masyarakat, dari kelas atas sampai aspal kecil di kampung-kampung kota.
Tren musik pun terus beriringan. Dari vokal grup ke band, dari dangdut sampai rap, semua punya festivalnya. Masing-masing diadakan pula kompetisinya. Dan kehadirannya selalu disambut anak-anak muda untuk menjajal sampai di mana taraf mereka. Dan masing-masing lomba itu, langsung ataupun tidak, telah turut berkontribusi menelurkan berderet musisi, bahkan sampai siapa pun yang kita tidak akan kira. Cholil “Efek Rumah Kaca”? Ya, dia bernyanyi menggapai nada-nada tinggi untuk sabet piala. Arian 13 dari Seringai? Kelompok rap-nya pernah menang juga. Pure Saturday? Walau tidak dengan sengaja mendaftarkan diri, mereka “kecemplung” di sebuah lomba musik unplugged dan jadi juaranya. Setidaknya, energi dari sebuah kemenangan milik siapa saja.
Lomba juga bisa jadi strategi produsen pita rekaman kaset untuk melariskan produknya. Produsen kaset BASF pernah rutin mengadakan BASF Award dan menggelontorkan dana besar, termasuk untuk acara malam penghargaan bergengsi yang disiarkan televisi dan hadiah berlibur ke luar negeri bagi para pemenang, Syarat mengikuti lomba ini adalah rekaman musik yang diedarkan harus menggunakan kaset BASF. Saya masih ingat band seperti Kla Project memakai jaket tebal kala melanglang Eropa, menikmati hadiah jalan-jalan mereka.
BASF Award dimulai pada 1985 dengan dua kategori utama, yaitu penjualan terbanyak dan artistik. Kategori pertama bertolak dari data, sementara yang kedua dari penilaian dewan juri. Dari BASF, sempat beralih ke produsen pita kaset lain, HDX, yang kemudian menjadi bibit lahirnya Anugerah Musik Indonesia (AMI) sejak 1997.Berjalannya waktu, AMI Award terus menambah kategorisasi penghargaannya.
Sementara itu, pada 1990an, MTV hadir untuk Asia Tenggara (hingga kemudian lahir MTV Indonesia). Penghargan pada musik pun melebar hingga ke tangan pembuat video musik sampai modelnya. Penghargaan musik telah sampai kepada pendukung-pendukung di luar tangan pengarang, kerongkongan penyanyi, olahan aranjer, dan segala dari studio musik itu sendiri.
Selain MTV Indonesia, pada era 2000an, Majalah Rolling Stone Indonesia juga sempat menjadi institusi yang memberikan penghargaan pada pelaku budaya popular, tentu saja termasuk musik. Media adalah salah satu yang memiliki tradisi mengadakan perhelatan semacam ini, termasuk media di Indonesia yang memiliki induk internasional.
Di era 2000-an juga diadakan Indie Fest, di mana istilah “indie” sudah tak terbendung lagi bagi Nasional.
Pada 2008, datang lagi sesuatu yang sangat besar bagi industri musik Indonesia: Indonesian Idol. Jalannya kompetisi yang secara kontiunitas ditayangkan telah televisi, tentu berdampak pada lahirnya bintang-bintang baru di hati masyarakat. Tak perlu lagi rasanya menyebut contoh siapa saja musisi yang pernah tampil di sini, karena terlalu banyak. Yang juara maupun tidak, banyak dari mereka masih terus bermusik dan mengembangkan suaranya.
Akan sangat banyak lagi ajang-ajang kompetisi yang bisa kita sebut, tak habis-habisnya. Ajang kompetisi terus bergulir, dari produsen rokok sampai telekomunikasi, atau produk apa pun, jadi sponsornya. Dari sekolah sampai kampus menggelarnya. Dari daerah, nasional, sampai internasional cakupannya. Dari mainstream sampai underground areanya. Dari tiga hingga bisa ratusan yang jadi juri ajangnya. Dari perusahaan rekaman sampai distributor merumuskannya. Hadiah dan eksposurnya juga beragam. Mulai dari berkesempatan rekaman sampai tampil bermain di negeri yang berbeda-beda. Mulai dari diliput media lokal sampai peluang dibunyikan internasional.
Laksana kodrat, lomba pasti ada.
Ada ungkapan; dalam dunia persilatan, tidak ada juara dua. Dalam dunia musik, ikut dan tidak ikut lomba pun tak mengapa. Determinasi dan pilihan di tangan masing-masing kita.
Merdeka!
____
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …