Maut dan Rayuan: 10 Tahun Dunia Batas Payung Teduh
Pengantar
Ada banyak album musik di kolong langit, tapi mereka yang bisa mempengaruhi lanskap kancah musik sangat sedikit. Jika kriteria berpengaruh adalah bisa menginisiasi sebuah subgenre, membangun satu generasi fans yang melekatkan diri dengan satu identitas, lantas memiliki lagu dengan nada yang bisa dikenali hanya dari intro, album Dunia Batas – Payung Teduh memenuhi kriteria itu.
Payung Teduh terbentuk pada akhir 2007 dengan formasi awal Mohammad Istiqamah Djamad atau Is (vokalis) dan Aziz Comi Kariko (kontra bass). Setahun kemudian Alejandro Saksakame atau Cito bergabung sebagai drummer, lalu Ivan Penwyn sebagai pemain gitarlele dan pemain terompet. Album pertama mereka Payung Teduh dirilis pada 2010, Is menyebut album dadakan ini sebagai album lo fi, karena dibuat seadanya dan sebisanya.
Jika kriteria album berpengaruh adalah bisa menginisiasi sebuah subgenre, membangun satu generasi fans yang melekatkan diri dengan satu identitas, lantas memiliki lagu dengan nada yang bisa dikenali hanya dari intro, album Dunia Batas – Payung Teduh memenuhi kriteria itu.
Sampul album perdana Payung Teduh berupa CD warna putih dengan kertas tebal yang dilem sebisanya. Ilustrasinya bergambar guitar, kontra bass, snare drum dengan satu pohon di ujung sketsa. Dari blog Payung Teduh, album pertama dibuat dengan gegabah dan nekat. Mereka menyebut hanya bermodalkan kata “dua minggu lagi kita launching”.
Mereka menyadari bahwa karena terburu-buru rekaman dalam album pertama memiliki kualitas mixing audio yang kurang baik, hal ini merupakan “efek samping rekaman yang terburu-buru” lantas mereka berjanji untuk membuat album yang lebih baik untuk memenuhi “respon yang tidak kita duga”.
Is, menyebut Payung Teduh adalah unwell prepared musician, juga band lucky bastard yang memiliki kemujuran terus menerus. Dengan manajemen yang kurang kompeten, adalah keberuntungan band itu bisa membuat satu album yang sama digoreng berkali-kali dan terus laku. Is menyampaikan itu semua dalam podcast bersama Soleh Solihun 7 Juli lalu.
Karena terburu-buru album pertama memiliki kualitas mixing audio yang kurang baik. Lantas mereka berjanji untuk membuat album yang lebih baik untuk memenuhi “respon yang tidak kita duga”.
Tentang Album
Setelah sukses dengan album perdana, pada 2011 Comi menyebut personil Payung Teduh bertemu dengan Mondo Gascaro dan Sarah Glandosch di kantin Sastra UI. Pertemuan ini kemudian mendorong bergabungnya mereka bersama Ivy League Music. Dengan peralatan yang lebih memadai, materi yang lebih matang, dan Mondo yang berperan sebagai produser, album perdana Payung Teduh direkam ulang di Pendulum Studio dan diberi nama Dunia Batas dan rilis pada 1 April 2012.
Ada delapan lagu dalam album ini. “Berdua Saja”, “Menuju Senja”, “Untuk Perempuan Yang Sedang di Pelukan”, “Rahasia”, “Angin Pujaan Hujan”, “Di Ujung Malam”, “Resah”, dan “Biarkan”. Berbeda dengan album pertama, Payung Teduh bersama Mondo all out dengan mengundang musisi-musisi tamu seperti Hari Winanto, Agustinus Panji Mardika, Alvin Witarsa, Riza Arshad, dan Adink Permana.
Is, menyebut Payung Teduh adalah unwell prepared musician, juga band lucky bastard yang memiliki kemujuran terus menerus. Adalah keberuntungan band itu bisa membuat satu album yang sama digoreng berkali-kali dan terus laku.
Dengan irama yang menggabungkan berbagai khazanah musik, seperti petik guitalele sebagai ritme, drum yang tidak dominan, dan bass sebagai jangkar, band ini berhasil menggabungkan elemen bass ala jazz, ritme keroncong, petik gitar ala flamenco, dan pop yang segar.
Musik yang indah, lirik yang ditulis serupa sajak-sajak melayu lama, dan performa live yang selalu riang, membuat banyak orang yang mendengar mereka jatuh cinta. Ini mengapa pada 2012, Dunia Batas mendapatkan penghargaan ICEMA sebagai best new comer.
Sulit untuk menjelaskan genre, karena ia cair, saya sendiri lebih menganggap Payung Teduh sebagai band yang melakukan musikalisasi puisi. Musik hanya faktor tambahan, kekuatan band ini hadir dari bagaimana kata-kata yang ditulis bisa mengena kepada para pendengarnya. Is sendiri tidak suka menyebut Payung Teduh sebagai band keroncong, mengingat banyak elemen musik yang hadir di dalamnya.
Sulit untuk menjelaskan genre, karena ia cair, saya sendiri lebih menganggap Payung Teduh sebagai band yang melakukan musikalisasi puisi. Is sendiri tidak suka menyebut Payung Teduh sebagai band keroncong, mengingat banyak elemen musik yang hadir di dalamnya.
Misalnya pada Lagu “Menuju Senja”, ketimbang menyebutnya keroncong, Payung Teduh menghadirkan elemen string, choir, dan crescendo yang megah. Jelang akhir lagu, suara terompet membuat lagu ini lebih dekat karakter jazz dengan penutur yang bercerita tentang kematian seseorang di sore hari.
Salah satu elemen penting puisi adalah kemampuan menghadirkan koherensi. Imaji, bunyi, sugesti, kontras, rima, diksi, dan yang paling penting metafor. Hal ini yang dihadirkan Payung Teduh melalui lagu-lagu mereka.
Pada lagu pembuka “Berdua Saja” tertulis lirik dengan rima serta diksi yang sederhana, mudah dipahami. “Ada yang tak sempat tergambarkan oleh kata / Ketika kita berdua / Hanya aku yang bisa bertanya / Mungkinkah kau tahu jawabnya.” Ia tak rumit, sederhana, mudah dipahami, tapi indah.
Comi menyebut salah satu hal yang membuat Payung Teduh berbeda adalah kemampuan menulis lirik dan pemilihan kata, musik yang indah ini lantas menghadirkan generasi penggemar baru yang disebut sebagai generasi senja-core.
Hal lain yang istimewa adalah kemampuan mereka memilih judul lagu. Ambil saja lagu berjudul “Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan” atau “Angin Pujaan Hujan,” dua judul ini membuat penggemar mereka jadi oleng dihajar kekaguman.
Comi menyebut salah satu hal yang membuat Payung Teduh berbeda adalah kemampuan menulis lirik dan pemilihan kata, musik yang indah ini lantas menghadirkan generasi penggemar baru yang disebut sebagai generasi senja-core. Penikmat kopi, puisi, dan senja.
Kopi dan Senja
Sebagian besar lirik lagu Payung Teduh ditulis oleh Is dengan pengecualian beberapa lagu yang dibuat sebagai respon karya-karya dari pementasan teater Pagupon yang dibuat oleh Catur Ari Wibowo. Misalnya “Cerita Tentang Angin dan Hujan” dan “Resah”. Tapi lagu “Menuju Senja” barangkali adalah lagu yang paling membuat Payung Teduh dianggap sebagai pioner senja-core.
Senja-core merupakan istilah derogatori yang dibuat untuk penggemar yang menyukai musik puitis, biasanya menikmati band mereka pada sore hari jelang magrib, sembari ditemani dengan segelas kopi, dan kadang dilakukan di alam terbuka atau gunung. Generasi ini tumbuh dengan jatuh cinta pada romantis ala puisi Aku-Lirik-Sapardi dan Payung Teduh dianggap pionir yang menghadirkan lirik seindah sajak dengan musik yang mirip keroncong.
Salah satu hal yang kerap jadi pergunjingan tentang band-band yang dilabeli senja-core adalah salah paham fans mengenai Indie sebagai genre. Indie adalah pola distribusi rilisan album, folk sebagai genre, dan senja-core adalah label permisif yang kerap dipakai untuk merendahkan.
Payung Teduh sendiri tak pernah mengklaim diri sebagai pelopor genre senja-core. Sebelum Dunia Batas, pada 2005 Float telah merilis EP, No-Dream Land, kemudian 2009 ada Adhitia Sofyan telah merilis Quiet (2009) dengan lagunya “Adelaide Sky” yang catchy dan mudah diingat. Ada pula, Endah & Rhesa yang merilis Nowhere to Go (2009) dan Look What We’ve Found (2010), begitu juga Dialog Dini Hari dengan album Beranda Taman Hati (2009), dan jangan lupakan Silampukau dengan EP mereka Sementara Ini (2009).
Salah satu hal yang kerap jadi pergunjingan tentang band-band yang dilabeli senja-core adalah salah paham fans mengenai Indie sebagai genre. Indie adalah pola distribusi rilisan album, folk sebagai genre, dan senja-core adalah label permisif yang kerap dipakai untuk merendahkan. Tapi mengapa hanya Payung Teduh yang jadi populer dan meledak? Jawabannya mungkin 3 hal, lirik berbahasa Indonesia, penampilan personil yang sederhana, dan jadwal manggung.
Meski Adhitia Sofyan dan Endah & Rhesa lebih dulu merilis album akustik dengan format distribusi indie, namun kebanyakan lirik mereka ditulis dalam bahasa inggris. Jangan salah, ini bukan soal nasionalisme, tapi lebih pada kedekatan, kemudahan pemahaman, dan juga pasar dari band itu sendiri. Payung Teduh berhasil masuk ke dalam komunitas yang lebih luas, mereka yang menikmati musik akustik, menyenangi puisi, dan sastra Indonesia.
Meski Adhitia Sofyan dan Endah & Rhesa lebih dulu merilis album akustik namun kebanyakan lirik mereka ditulis dalam bahasa inggris. Jangan salah, ini bukan soal nasionalisme, tapi lebih pada kedekatan, kemudahan pemahaman, dan juga pasar dari band itu sendiri.
Kemudian pada 2013-2016 adalah masa di mana Payung Teduh bisa manggung hingga 17 kali dalam sebulan. Artinya 200 panggung dalam setahun. Comi mengaku bahwa pengalaman ini membawa berkah dan kadang juga beban. “Saat itu jadi karyawan fulltime di Binus dan jadi staff di jurusan sastra Inggris. Bayangin dulu manggung 4 kali, senin pagi first flight karena harus ngantor dan kerja. Weekday harus cuti harus manggung dan harus kerja lagi,” katanya.
Secara personal, saya kira ada faktor lain juga yang membuat Payung Teduh mungkin lebih terkenal ketimbang band serupa seperti Dialog Dini Hari (Bali), Banda Neira (Bandung), atau Silampukau (Surabaya). Mereka berada di Jakarta, akses informasi, lingkar pertemanan/clique membuat Payung Teduh lebih mudah dipromosikan sebagai band distribusi indie yang menawarkan musik-musik puitis.
Penampilan personil Payung Teduh yang bersahaja, seperti pegiat teater, mungkin punya elemen yang mendorong fans memiliki rasa dekat. Superstar yang menyanyikan lagu puitis, tampak sama dengan keseharian mereka.
Media sosial juga turut menjadi bahan bakar yang membuat nyala Payung Teduh makin terang. Saya ingat pada 2012-2013, hashtag #senja #kopi #puisi menjadi medium penyampai pesan untuk orang-orang terkasih. Penampilan personil Payung Teduh yang bersahaja, seperti pegiat teater, mungkin punya elemen yang mendorong fans memiliki rasa dekat. Superstar yang menyanyikan lagu puitis, tampak sama dengan keseharian mereka.
Meski demikian Is menyebut bahwa banyak penggemar Payung Teduh yang salah alamat memaknai lagu-lagu mereka. Contohnya “Menuju Senja”. Is menyusun lagu ini sebagai respon terhadap lagu “Setengah Lima” dari album Ports of Lima (2008) yang dibuat oleh Sore.
Lirik pembuka lagu ini “Harum mawar di taman / Menusuk hingga ke dalam sukma / Yang menjadi tumpuan rindu cinta bersama / Di sore itu menuju senja,” lebih mirip suasana pemakaman ketimbang peristiwa romantik.
Is menyebut bahwa banyak penggemar Payung Teduh yang salah alamat memaknai lagu-lagu mereka. Contohnya “Menuju Senja”. Is menyusun lagu ini sebagai respon terhadap lagu “Setengah Lima” dari album Ports of Lima (2008) yang dibuat oleh Sore.
Lalu pada bagian lain lagu “Di sore yang gelap ditutupi awan / Bersama setangkup bunga / Cerita yang kian merambat di dinding penantian / Ada yang mati saat itu dalam kerinduan / Yang tak terobati,” malah serupa perayaan duka, kehilangan yang terlalu dan tak bisa diterima.
Is menyebut ia sedang berusaha mengisahkan tentang orang-orang yang mati, mati dalam keheningannya, mati dalam kesyukurannya, mati dalam ketenangan yang dia cari. Ia kecewa lagu tentang kematian, tentang akhir kehidupan, malah dibuat untuk merayu. ”Cuma anak-anak sekarang gruduk peluk orang samping senja ada kopi, itulah senja sekarang,” kata Is.
Is menyebut ia sedang berusaha mengisahkan tentang orang-orang yang mati, mati dalam keheningannya, mati dalam kesyukurannya, mati dalam ketenangan yang dia cari. Ia kecewa lagu tentang kematian, tentang akhir kehidupan, malah dibuat untuk merayu.
Fans dan Dampak Dunia Batas
Sebenarnya klaim bahwa Dunia Batas menjadi pioner Senja-core harus terus diperiksa ulang. Di tahun-tahun yang sama Payung Teduh membuat Dunia Batas, ada beberapa band folk dengan jalur distribusi indie yang membawa konsep akustik serupa.
Sebut saja Answer Sheet dari Yogyakarta dengan EP mereka (2010), Nostress dari Bali dengan album Perspektif Bodoh (2012), Fiersa Besari dengan 11:11 (2012), Banda Neira dengan Di Paruh Waktu (2012), Theory of Discoustic dari Makassar Dialog Ujung Suar (2010), SEMAKBELUKAR dari Palembang dengan EP (2013), atau Rabu folk-mistis dari Yogyakarta dengan album Renjana (2013).
Klaim bahwa Dunia Batas menjadi pioner Senja-core harus terus diperiksa ulang. Di tahun-tahun yang sama Payung Teduh membuat Dunia Batas, ada beberapa band folk dengan jalur distribusi indie yang membawa konsep akustik serupa.
Dampaknya tentu bukan sekedar muncul lagu bertema senja belaka, atau penulisan lirik yang puitis. Sebelum Payung Teduh, band seperti Float, Efek Rumah Kaca, Melancholic Bitch, dan White Shoes of The Couple Company telah melakukan itu. Bahkan jika soloist seperti Frau melalui Starlit Carousel (2009) dianggap band indie karena jalur distribusinya, maka ia layak dianggap sebagai musisi dengan lirik puitis.
Fans punya interpretasi dan pengalaman sendiri terhadap album ini. Maria Linda, penulis dari Jakarta, merupakan salah seorang mahasiswi dari Comi. Ia tahu album Dunia Batas sejak dari awal. “Pertama denger pas umur 19 tahun, kuliah semester awal. Dulu teater aku deket sama teater UMN, beberapa anak UMN deketin aku dan ada yang jadian. Pas pedekate mereka rata-rata nyetel musik Payung Teduh,” katanya.
Linda jadi muak dan membenci Payung Teduh karena bosan dan terlalu menyebalkan. Tapi sekarang, 10 tahun setelahnya, ia punya pendapat berbeda. “Yang bikin istimewa karena liriknya puitis sih, dan aransemen lagunya bagus, ga ada yang kayak gitu pas di jaman itu. Iya ada ERK tapi beda lah,” katanya.
Hal ini membuat Linda jadi muak dan membenci Payung Teduh. Ia menolak mendengarkan Payung Teduh karena bosan dan terlalu menyebalkan. Tapi sekarang, 10 tahun setelahnya, ia punya pendapat berbeda. “Yang bikin istimewa karena liriknya puitis si dan aransemen lagunya bagus, ga ada yang kayak gitu pas di jaman itu. Iya ada ERK tapi beda lah,” katanya.
Al Maliky, atau Ikky dan sahabatnya pertama kali mendengar Payung Teduh pada awal 2013. “Di Makassar, Payung Teduh jadi pembicaraan, bukan cuma karena karyanya, melainkan Is, sama-sama dengan kami, orang Bugis. Kami menikmati musik itu, liriknya, dan akhirnya momen tutup usia kawan saya,” katanya.
Is dalam podcast bersama Soleh Solihun mengaku agak terkekang di Payung Teduh sebelum hengkang dan memulai Pusakata. Secara personal Is mengaku lebih bangga dan puas dengan lagu “Akad” dan album Ruang Tunggu yang ia persiapkan secara serius.
Perubahan juga dialami Ikky saat mendengar Dunia Batas. Jika dulu ia menikmati Dunia Batas untuk bersenang-senang, setelah sahabatnya meninggal, ada perasaan duka ketika mendengar album itu. “Setelah kepergiannya, ada yang bertambah: perasaan rindu kepadanya dan cara-cara kami dulu menikmati masa remaja. Secara spesifik, tidak ada perasaan khusus ke lagu-lagu tertentu,” katanya.
Setelah 10 Tahun
Is dalam podcast bersama Soleh Solihun mengaku agak terkekang di Payung Teduh sebelum hengkang dan memulai Pusakata. Ia kecewa dan bosan atas materi yang sama digoreng berkali-kali. Mulai dari Album Payung Teduh, Dunia Batas, lalu Live and Loud, nyaris tak ada yang berubah. Secara personal Is mengaku lebih bangga dan puas dengan lagu “Akad” dan album Ruang Tunggu yang ia persiapkan secara serius.
Comi juga mengaku sudah tidak mendengarkan Dunia Batas sejak lima tahun terakhir. Sebagai album ia merupakan bagian dari sejarah personal Payung Teduh, tapi ia tak lagi relate dengan isi dan komposisinya. “Musisi harus berevolusi, berkarya terus dengan cara apapun, di bidang apapun jadi yang penting berkarya terus. Ga stuck di masa lalu,” katanya.
Dulu saya pikir “Untuk Perempuan yang sedang dalam Pelukan” adalah lagu tentang dua orang kasmaran yang jatuh cinta. Membaca lagi fragmen lirik “Lalu mataku merasa malu / Semakin dalam / Ia malu kali ini / Kadang juga ia takut / Tatkala harus berpapasan di tengah pelariannya”. Malah lebih masuk akal jika bercerita tentang persenggamaan untuk pertama kalinya.
Pemaknaan terhadap lagu-lagu Payung Teduh dalam Dunia Batas juga kian berkembang. Dulu saya pikir “Untuk Perempuan yang sedang dalam Pelukan” adalah lagu tentang dua orang kasmaran yang jatuh cinta. Membaca lagi fragmen lirik “Lalu mataku merasa malu / Semakin dalam / Ia malu kali ini / Kadang juga ia takut / Tatkala harus berpapasan di tengah pelariannya”. Malah lebih masuk akal jika bercerita tentang persenggamaan untuk pertama kalinya.
Sementara “Di Ujung Malam” merupakan interpretasi Tahajud. Dalam wawancara bersama Soleh Solihun, Is menyebut ia diminta untuk terus berkarya, meyakini bahwa musik yang ia buat mampu membawa orang untuk masuk Islam. Fragmen lirik “Di ujung malam di antara lelap dan sadar / Mulailah sekarang bernyanyilah bersamaku”. Serupa doa-doa dari darwis yang memilih jalan sunyi sebagai sufi.
Is mengaku ia mendapat telpon dari bos Yamaha, yang menyebutkan penjualan guitalele naik drastis karena Payung Teduh.
Pengaruh lain yang mungkin sepele dan tidak banyak disadari adalah menyebarnya pemakaian guitalele dengan senar nilon. Is mengaku ia mendapat telpon dari bos Yamaha, yang menyebutkan penjualan guitalele naik drastis karena Payung Teduh. Meski demikian pemakaian instrumen ini sudah dipakai terlebih dahulu dan populer digunakan oleh Cholil Mahmud di Efek Rumah Kaca (2007), Budi Doremi di Satu hari Yang Cerah (2009), atau Ananda Badudu dalam album Di Paruh Waktu (2012).
Klaim lain Is yang mungkin perlu diperiksa adalah Payung Teduh mempengaruhi lahirnya band-band dengan nama dua kata. Meski, lagi-lagi hal ini tidak benar. Payung Teduh berdiri pada 2007 dan sukses besar setelah merilis Dunia Batas pada 1 April 2012. Sebelumnya sudah ada band folk akustik dengan format nama dua kata. Mulai dari Jalan Pulang (Yogyakarta, 2010), Banda Neira (Bandung, 2010), atau Pygmy Marmoset (Bali 2012).
Kini 10 tahun setelahnya Dunia Batas masih menjadi obelisk, monumen yang demikian kokoh berdiri dan jadi panutan bagi band-band generasi setelahnya. Ia jadi bukti bagaimana belakangan masih ada band-band folk kiwari dengan instrumen akustik masih terobsesi dengan senja.
Setelah keluar dari Payung Teduh, Is terus menyampaikan klaim-klaim yang ia sebut disampaikan oleh orang. Mulai dari penjualan guitalele meningkat karena Payung Teduh, pioner band folk dengan lirik puitis (Ebiet G Ade dan Franky & Jane telah melakukannya dekade silam), atau albumnya yang mempengaruhi lahirnya band dengan nama dua kata. Padahal, jika ada klaim yang betul secara paripurna, Is adalah salah satu musisi Indonesia, selain Nissa Sabyan, yang bikin orang lain ngerewind intro lagu hingga 10 jam tanpa bosan.
Kini 10 tahun setelahnya Dunia Batas masih menjadi obelisk, monumen yang demikian kokoh berdiri dan jadi panutan bagi band-band generasi setelahnya. Ia jadi bukti bagaimana belakangan tetap ada band-band folk kiwari dengan instrumen akustik masih terobsesi dengan senja.
Dunia Batas adalah tipikal album yang masih akan dikenang hingga satu dekade ke depan. Ia akan melahirkan band yang memiliki nama dua kata dengan format akustik, beraliran folk, dan distribusi indie. Album ini akan tetap jadi perbincangan dan lirik-lirik di dalamnya masih akan jadi cetak besar yang melahirkan band generik serupa, entah untuk lebih baik, atau berakhir menjadi tiruan buruk yang dilupakan sejarah.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …