Melodi Rumah di Tanah Asing

Mar 24, 2024

Bulan Ramadan dan sebentar lagi Lebaran, lagi-lagi aku enggak bisa merayakannya dengan keluarga di Indonesia. Saat-saat seperti ini aku paling merindukan keluarga, masakan rumah, tidur siang di rumah kakek-nenek, dan Indonesia alias homesick.

Ada banyak hal yang hilang dalam keseharian. Hal-hal kecil yang sebelumnya aku tidak peduli seperti suara tukang parkir, “Terus… Terus…” untuk membantu mobil-mobil keluar dari parkiran terkecil yang pernah aku lihat atau mendengar lagu-lagu dangdut dimainkan speaker besar di warung sebelah rumah.

Kangen mendengarkan Ibu berkaraoke di rumah, menyanyikan lagu-lagu Dewa 19 dan Sheila On 7 dengan kencang. Padahal dulu zaman ABG aku mendengar lagu-lagu tersebut biasa saja, sampai berkali-kali meminta Ibu mengecilkan volumenya supaya aku bisa fokus belajar. Tapi sekarang aku hanya ingin mendengarkan Ibuku karaoke dengan bahagia di ruang tengah rumah.  

Tahun ini memasuki tahun ke-7 aku tinggal di luar Indonesia dengan kegiatan sehari-hari yang lumayan standar. Bangun pagi, naik bis ke kantor, kerja di perusahaan teknologi multinasional selama 8 jam. Naik bis lagi untuk pulang ke tempat tinggal, masak buat makan malam dan menyiapkan makan siang buat besok, lalu tidur. Dan satu hal yang selalu menemani rutinitasku, musik. Bukan seorang yang tau segala hal tentang musik, namun musik utuh dalam hidup ini. 

Ada waktu di mana kuping merasa suntuk mendengarkan lagu yang rasanya seperti itu-itu saja. Walaupun aku sudah memencet next lebih dari 50 kali untuk playlist berjudul masih karantina di Spotify, muncul rekomendasi lagu-lagu The Marias, Emotional Oranges, Cautious Clay, dan lain-lain sebagai materi dengar yang berikutnya. 

Saat itu rasanya masih belum puas tentang mengobati rindu hingga “Pulang” milik Float mengalun. Begitu saja rindu lebih mudah diungkapkan lewat sebuah lagu.

Aneh, melihat orang-orang asing yang berjalan kaki melewati rumah di luar jendela. Tak satu pun yang akan mengerti arti lagu-lagu maupun liriknya. Walaupun tenang, aku masih merasa kesepian dengan realita aku mendengarkannya sendirian di tempat tinggalku sendiri, dan orang-orang yang tak mampu mengerti. Lagi, rindu dan kesepian membuat aku jatuh cinta dengan lagu-lagu Indonesia.

Hari pertama puasa di tahun ini, aku mengundang dua teman untuk menemani berbuka di apartemen. Ada yang berasal dari Spanyol, sebut saja L dan satunya lagi berasal dari Turki, sebut saja D. Kami mulai berteman dekat karena Craft Club, perkumpulan kecil yang suka bikin kerajinan tangan. Kami sering bonding membahas tentang susahnya situasi mendapatkan visa sebagai pendatang.  

Kegiatan Craft Club melukis lilin / dok. Zachra

 

Aku bukan koki, menu buka puasanya sederhana. Kedua temanku membawa manis-manisan dan hidangan lain. Salah satunya hidangan manis asal Turki bernama Güllaç. Sedangkan aku menyiapkan sop daging resep nenek dan nasi. Nasi harus selalu ada di meja makan kecil depan televisi di apartemen kecilku. 

Saat itu aku melirik ke sisi dan melihat teman Spanyolku sedang menggunakan aplikasi Shazam. Lagu yang dicari ternyata Payung Teduh berjudul “Untuk Perempuan Yang Sedang Di Pelukan”. Kami saling menatap dan tertawa. Aku bingung, kenapa dia enggak bertanya apa judul lagunya. Tapi dari kejadian itu kami lanjut berbincang soal musik selama beberapa jam. 

Dulu pas zaman sekolah, keren itu mungkin saat bisa mengetahui dan mengikuti musisi atau musik barat. Favoritku Paramore, Kelly Clarkson, dan juga The XX. “Masa sih gak tau Simple Plan?,” ungkap teman pas aku berumur 11 tahun. Tapi enggak ada yang pernah nanya, “Masa sih gak tau Slank?”. Mungkin ini pengalamanku saja dan aku berbagi cerita ini ke teman-temanku sekarang. Ternyata mereka juga mengalami hal yang sama atau mirip.

Buat si L, pas dia masih kecil semua orang harus tau Katy Perry siapa, tapi belum tentu anak-anak yang lain tau Sopa de Cabra. Bedanya temanku si D, dia menceritakan bahwa anak-anak keren di Istanbul itu orang-orang yang bukan hanya mendengarkan Turkish Pop tahun 90-an, tapi keren itu mereka yang tau setiap kata dan lirik lagu-lagunya. Ya, pengalaman orang-orang memang berbeda. 

Si D juga cerita kalau dulu Ayahnya sering menyetel lagu-lagu rock, mau itu dari Turki atau Inggris. Selain itu dia juga terekspos dengan lagu-lagu Turkish Pop. Salah satunya adalah “Mayın Tarlası” oleh Şebnem Ferah. Dia ingat saat masih berumur 4 tahun menyanyikan lagu ini di ruang tengah rumahnya dengan penuh gairah.

Dalam kata-katanya sendiri, “I was feeling my feelings as a 4 year-old”. Padahal mengerti arti lirik saja enggak. Cerita ini mengingatkan saat Ibu menjemputku di sekolah dan dia menyetel album Breakthrough Nidji yang rilis tahun 2005 selama perjalanan. Bisa dibilang, aku tau setiap kata dan lirik dari lagu “Hapus Aku”. Jika lagu itu diputar, biasanya track 2, aku ikut menyanyikannya dengan seluruh tenaga. Ya, sama. I was feeling my feelings sebagai anak umur 7 tahun yang enggak mengerti liriknya sama sekali. Tapi itu salah satu lagu favorit pas aku masih kecil.

Kami bertiga sepakat, jarak negara masing-masing yang jauh membuat kami ingin lebih dekat dengan budaya asal kami termasuk musik-musik lokal. Jika sedang kesusahan, biasanya kami lari ke mendengarkan lagu-lagu yang membuat nyaman. Jika kami sedih, pengin galau sambil mendengarkan lagu-lagu sedih. Jika kami senang, pengin menari dan bernyanyi lagu yang upbeat.

Tapi satu hal, rasanya memang beda untuk mendengarkan lirik-lirik lagu bahasa asing dan lirik lagu bahasa asal. Mendengarkan lagu yang dapat mengekspresikan perasaan dengan bahasa sendiri, kalau kata orang-orang zaman sekarang, hits different. Mengungkapkan perasaan itu buat aku lebih mudah jika aku menggunakan bahasa Indonesia dan lebih pas saja. Hal yang sama dapat dikatakan tentang mendengarkan lagu di saat-saat yang aku ucapkan tadi. Pas lagi susah, lagi sedih, lagi senang, dan sebagainya.

Pemandangan dari kaca apartemen / dok. Zachra

Sudut pandang si D pada sore hari di kota kami tinggal / dok. Zachra

L usai mendaki dalam perjalanan pulang menuju Seattle / dok. Zachra

 

Awal-awal tinggal di luar Indonesia, aku ragu berbagi atau merekomendasikan lagu-lagu Indonesia ke teman-teman asingku. Mungkin karena lingkaranku tidak banyak orang Indonesia, dan teman-teman pun kebanyakan belum pernah punya teman Indonesia sebelum aku. Saat aku menuliskan ini, duduk di depan L dan si D yang sedang mendengarkan ceritaku dengan teliti soal lagu-lagu Indonesia, pengalaman, opini-opiniku, dan mereka selalu bertanya lebih lanjut, membiarkan aku untuk terus bercerita secara detil tentang hidup dan Indonesia. 

Hal ini membuktikan bahwa mau sejauh apapun aku dari rumah dan negara asalku, adanya orang yang peduli dan ingin tau lebih tentang aku dan asalku memberi pesan kepada diri yang meninggalkan Indonesia untuk menjaga koneksi dengan orang-orang yang baik hati dan genuine.

Kata si L, pertemanan yang baik itu pertemanan yang akan membuat lingkungan kita nyaman dan aman buat kita mengekspresikan diri kita secara autentik. Tepatnya dia berkata, “Its important to have relationships where you can be comfortable and be authentically you”.

Saat ini menyadari, aku menemukan rumah yang jauh dari rumah asalku. Walaupun rindu kerap menghampiri, terpenting di posisi yang jauh, aku masih ditemani dua temanku yang akan selalu ada dan bisa menemaniku mendengarkan lagu-lagu kesukaan bersama. 

Kami bertiga juga mengumpulkan lagu-lagu favorit dari negara kami masing-masing, Indonesia, Spanyol, dan Turki dalam satu playlist 03*11.



Penulis
Zachra Pradipta
Sehari-hari bekerja sebagai UX designer. Kadang mengukir kayu untuk menjadikannya alat cetak di waktu senggang. Sekarang lagi obsesi belajar membuat mangkuk yang sempurna, selalu ditemani musik, dan pencinta mie ayam.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Adrian Khalif – HARAP-HARAP EMAS

Jika menghitung dari awal kemunculannya dengan single “Made in Jakarta”, Adrian Khalif dapat dikatakan butuh waktu 7 tahun untuk sampai di titik tenar lewat perilisan single “Sialan” kolaborasi bareng Juicy Luicy. Itu pun berproses …

Mr. Whitesocks Mengadaptasi Musik Emo dan Math Rock di Karya Perdana

Mr. Whitesocks asal Malang resmi merilis karya perdana mereka berupa 2 single sekaligus yang bertajuk “Sticky Notes” dan “She/Her” di hari Kamis (21/11). Di karya ini mereka mencampur gaya musik emo dan math rock. …