Memoar Apologia: Tentang Musik Elektronik Bandung Bawahtanah 1990-2020
Antara tahun 2015 hingga 2018 saya mulai menuliskan hasil penelitian tentang alat musik tradisional Sunda bernama karinding. Dalam penelitian yang sudah dilakukan sejak tahun 2008 ini saya memahami sejak jaman purba, nenek moyang orang Sunda sudah memahami getar dan dengung sebagai cikal bakal penciptaan alam semesta.
Getar dan dengung ini menghasilkan dentuman besar yang menghasilkan bumi dan kehidupan. Ini yang harus dikelola secara turun temurun. Tata cara pengelolaannya, tata ketuhanan, tata kesemestaan, tata kemanusiaan, hukum waktu, nilai dan norma, serta berbagai detil tatanan hidup tanah dan air ini direfleksikan ke dalam berbagai perangkat kehidupan manusia Sunda, termasuk karinding. Semua telah dituliskan di dalam buku Sejarah Karinding Priangan yang saya rilis di 22 November 2019.
Saya meneliti alat musik tradisional Sunda, Karinding sejak tahun 2008. Bunyinya yang robotik dan futuristik, serta pola musiknya yang repetitif sangat dekat dengan pola musik elektronik.
Getar dan dengung ini sangat berkorelasi dengan frekuensi yang menjadi hal dasar dalam bebunyian dalam musik, termasuk musik elektronik. Bunyinya yang robotik dan futuristik, serta pola musiknya yang repetitif juga dekat dengan pola repetisi musik elektronik. Ini salah satu sebab saya begitu tertarik dengan musik elektronik.
Selain itu sejak kecil di tahun 80an saya juga menggemari musik elektronik karena banyak mendengarkan Fariz RM dan almarhum Harry Roesli. Dan bicara almarhum, yang baru saya ketahui adalah kalau di Bandung, beliau sejak lama telah melakukan eksperimentasi musik elektronik yang luar biasa. Selain bergelar doktor musik lulusan Rotterdam dengan spesifikasi khusus musik elektronik, beliau juga bersinergi dengan ranah lain seperti seni rupa dan teater.
Perkenalan perdana saya dengan musik elektronik berlanjut di tahun 1993 melalui kompilasi metal, Thrash Generation. Dan jatuh cinta pada band Godflesh yang saat itu musiknya dijuluki musik industrial. Yang memadukan rock dan elektronik. Pada saat yang sama, dirilis album-album penting lainnya yang mengkolaborasikan musik rock dengan hip hop dan elektronik. Kebanyakan adalah kompilasi soundtrack film seperti OST. Judgement Night (1993), OST. The Crow (, OST. Trainspotting dan OST. Spawn (1997). Ini berdampak pada perkembangan musik global termasuk di Indonesia terutama Bandung.
Eksplorasi musik ranah musik bawahtanah Bandung di era 90an begitu masif. Dari duo Homicide, Hery “Ucok” Sutresna dan Kassaf, Koil, juga sosok berinisiatif seperti Didiet “Dxxxt”
Dampaknya eksplorasi musik hiphop, rock dan metal di ranah musik bawahtanah Bandung terjadi begitu masif. Dari duo Homicide, Hery “Ucok” Sutresna dan Kassaf, Koil, Sel, ekplorasi software berbasiskan DOS yang dilakukan oleh Nino “The Waves”, dan juga berbagai eksperimen awal bebunyian musik elektronik dalam format band hadir pada masa ini.
Juga sosok berinisiatif Didiet “Dxxxt” yang mulai mengimpor CD-CD album musik elektronik di toko Reverse. Distro yang menjadi simpul kolektif penting Bandung masa itu. Juga hadir para penggiat musik elektronik seperti Nishkra, Cagi, Arin, Gerie, Babam, Indra Jenggot, Marin, Iwan “Eone Cronic”, kolektif hiphop Impartairial, dan lain-lain. Mereka bergerak sendiri-sendiri sesuai dengan hasrat dan ranah mereka masing-masing dalam menggali musik ini.
Pada masa ini juga musisi-musisi muda Bandung hadir semakin eksploratif, baik di ranah DJ, mau pun live set. Dari Rock N Roll Mafia, Homogenic—kini namanya menjadi HMGNC, DJ seperti Dasa, Dimas, Adit, juga dua ikon eksperimental Bandung, A Stone A dan Pemuda Elektri.Didukung juga kehadiran If Venue yang menjadi landmark terutama musik noise dan eksperimental. If Venue ini juga yang kemudian memprovokasi lahirnya gelombang bedroom musician, seiring dengan semakin mengemukanya netlabel dan gerakan creative common. Dari kultur ini puluhan musisi muncul dan yang paling signifikan di Bandung. Yang paling penting tentu saja Bottlesmoker yang masih aktif dan bereksplorasi hingga kini.
Saat ini di Bandung, para musisi elektronik juga hadir dan secara serius mengolah karya mereka dengan karakteristik yang otentik. Kuntari, Parakuat hingga gelombang baru seperti Alazhtra, White Chorus, DJ Rookie, Envici, dan yang lainnya
Berlanjut ke saat ini di Bandung, para musisi elektronik juga hadir dan secara serius mengolah karya mereka dengan karakteristik yang otentik. Kuntari, misalnya yang memiliki latar belakang musik jazz dan klasik yang kuat. Juga Parakuat besutan Eri R.M. yang memiliki latar belakang sebagai produser dan sound engineer untuk perusahaan-perusahaan rekaman besar. Atau juga Analog Modular yang hadir dengan latar belakang pengalaman panjang mereka di ranah musik Indonesia.
Bahkan gelombang baru anak-anak muda seperti Alazhtra, White Chorus, DJ Rookie, Envici, dan yang lainnya, karakter Bandung hadir semakin terasa.
Ini yang membuat penelitian buku Bandung Bawahtanah jadi penting.
Dan setelah 126 wawancara mereka yang kredibel dan kompeten, ditambah berbagai literatur buku, majalah, dan internet, inilah buku On Frequency, Musik 1990 Elektronik Bawahtanah – 2020 dengan segala kekurangannya
Dari Maret 2016, penelitian buku Bandung Bawahtanah dimulai. Sejak awal sudah dirancang jika buku ini akan terdiri dari sebelas buku dengan tema sejarah musik metal, punk, hardcore, hiphop, rock, pop dan folk, musik elektronik, zine dan media, merchandising, gigs dan festival, dan record label.
Penelitiannya dilakukan Minor Research Center di ruang Atap Class yang fokus ke pengarsipan musik dan publikasi penelitian-penelitian sejarah musik. Penelitian musik elektronik disiarkan langsung di Program Atap Class Kelas Musik Elektronik yang terdiri dari 17 sesi wawancara di fanspage Facebook Atap Class dan tujuhu sesi di YouTube Atap Class.
Wawancara-wawancara terkait musik elektronik juga hadir di Kelas Metal, Kelas Merchandising, Kelas Rock, Kelas Punk, Kelas Hardcore, Kelas Pop & Folk, Kelas Zine & Media, Kelas Simpul Musik, Skill Skool Naratas Akar, dan program Hari yang Baik Kill The Noise. Selain itu, saya juga mewawancara nara sumber secara langsung dan melalui aplikasi Zoom. Total ada 126 nara sumber yang saya dan rekan penulis saya, Astria fadhilah Primantari wawancarai untuk buku ini.
Selain itu saya juga melakukan studi literatur dari buku-buku dan majalah di perpustakaan Common Room, koleksi Ripple Magz milik Satria N.B., koleksi Trolley Magz dan leaflet milik Marine Ramdhani, serta studi literatur internet. Penelitiannya juga dilakukan via Extreme Moshpit, melalui program siaran saya, Roots Bloody Roots, Sound Of Confusion. Selain kemudian program Electric Youth yang dibentuk oleh Eben khusus untuk musik elektronik dan dibawakan oleh Elang dan Ekky. Tahun 2022 ruang kantor Extreme Moshpit juga semakin terbuka untuk ranah penelitian buku Bandung Bawahtanah.
Juni 2021 draft pertama buku ini selesai dan saya bagikan ke beberapa kawan saya, terutama Helvi Sjarifuddin, Ucok Homicide, dan Eben Burgerkill. Banyak masukan yang disampaikan saat itu. Helvi misalnya mengimbuh saya untuk memperjelas batasan musik elektronik, antara musik perangkat elektronik yang hadir di dalam sebuah band, atau musik yang secara generatif dimainkan oleh satu atau dua orang saja melalui perangkat tertentu. Ucok menekankan untuk membangun deskripsi-deskripsi yang membantu saya memagari pembahasan dan porsi yang tegas terkait akar musik elektronik Bandung. Eben lain lagi. Ia mengingatkan saya untuk mengisahkan para musisi eksperimental, soundart, serta seni rupa, terutama gelombang muda yang bergerak dari 2018 hingga 2020.
Begitu banyak pihak yang membantu penyelesaian buku ini. Para siswa dan mahasiswa magang dan kuliah di Atap Class tahun 2021 dan 2022 terutama dari Jurusan Sejarah Unpad, NHI, SMK Al Aitam, SMK Bina Warga, SMK 14 Bandung, Jurusan Film dan Fotografi Universitas Pasundan, Jurusan Jurnalistik Uninus, Jurusan Jurnalistik Unisba, Jurusan Humas Uninus, Jurusan Humas Unpad, dan SMK Bina Warga.
Juga kolaborasi antara NHI, Jurusan Film dan Fotografi Unpas, Jurnalistik Uninus, dan Jurusan Humas Unisba tahun 2021 menghasilkan sebuah showcase “Kill The Noise” yang membahas noise, eksperimentasi musik, dan pergerakannya. Showcase yang menghadirkan Sound Of Mary Jane, Ramaputratantra, Urabaru, dan AKU ini menghasilkan lima buah film live para musisi eksperimental noise yang berjudul Kill The Noise. Berbagai program ini juga menjadi jembatan bagi saya memahami lebih jauh mengenai pergerakan seni rupa dan musik, terutama di ranah musik rock dan musik elektronik.
Akhirnya, semua ini hanya secuil pengalaman saya dengan musik elektronik di Bandung. Sehingga masih memungkinkan banyaknya alpa dalam banyak hal terkait dengan pembangunan narasi di buku On Frequency, Musik Elektronik Bandung Bawahtanah 1990 – 2020 ini. Plus, berbagai keterbatasan bisa dibilang membuat buku ini masih jauh dari sempurna.
Secara khusus buku ini juga saya dedikasikan untuk Eben “Burgerkill”, Andry Moch, Ade “Ademus” Muslim, dan Ade “Sutuq” Yusuf yang benar-benar melakukan eksperimentasi atas kehidupannya untuk kemajuan musik, terutama musik elektronik.
Saya misalnya, tidak membangun definisi-definisi mengenai berbagai istilah musik elektronik, sesuai dengan kaidah-kaidah umum. Tentu saya menghadirkan berbagai hal definitif, namun semua hadir berdasarkan penuturan narasumber berdasarkan pengalaman pribadi mereka. Beberapa hal yang membingungkan seperti persinggungan musik elektronik dengan dunia seni rupa dan musik eksperimental saya coba gali melalui wawancara dengan kawan-kawan yang saya anggap ahli dan kompeten.
Dan setelah berbagai eksplorasi, eksperimen, mempraktekkan sistem, teknik, dan metode sintetis, simulatif, manipulatif, modulatif, dan generatif—yang lazim dilakukan dalam produksi musik elektronik—terhadap 126 wawancara mereka yang kredibel dan kompeten, ditambah berbagai literatur buku, majalah, dan internet, inilah buku On Frequency, Musik 1990 Elektronik Bawahtanah – 2020 dengan segala kekurangannya.
Sungguh buku ini sangatlah eksperimental. Namun, bukankah seluruh kehidupan juga memang eksperimental? Secara khusus buku ini juga saya dedikasikan untuk Eben Burgerkill, Andry Moch., Ade “Ademus” Muslim, dan Ade “Sutuq” Yusuf yang benar-benar melakukan eksperimentasi atas kehidupannya untuk kemajuan musik, terutama musik elektronik.
Tak ada Lelah dalam hidup yang bergairah. Jadi, bangkitlah! Untuk tidur terentang keabadian di depan kita!
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …