Menaklukkan Keraguan dan Keterbatasan bersama Renjana oleh Wednes Mandra
Awalnya, saya dan Judha Tempe cukup skeptis album Renjana dari Rabu bakal dirayakan setelah berumur 10 tahun. Bahkan saya hampir meninggalkan Rabu di masa-masa krisis identitas. Namun setelah semua kegundahan terlewati, saya kembali menemukan kepercayaan diri terhadap nilai-nilai yang ada di album Renjana. Perasaan itu perlahan muncul saat repons-respons baik dari beberapa orang muncul secara tak terduga. Tidak banyak namun cukup intens berkala. Respons-respons baik tersebut didapat saat saya mengunggah beberapa foto dan video penampilan Rabu Renjana Tur 2014. Ada yang mengaku terinspirasi oleh lagu-lagu di album Renjana, ada yang mengenang masa pacaran saat menonton penampilan Rabu di panggung, dan ada juga yang berpendapat setelah album Renjana dirilis, belum muncul lagi album folk sesuram Renjana. Entahlah, namun komentar-komentar tersebut menggelitik saya untuk menengok kembali album ini sembari mempertanyakan, “Ah, masa sih?”.
Keraguan saya terhadap Renjana tentu memiliki alasan tersendiri. Yang pertama, album ini direkam dengan piranti yang kurang layak secara standar studio rekaman. Gitar dan vokal direkam melalui mixer kecil 4 channel tanpa menggunakan audio interface eksternal. Langsung colok ke PC dan voila! sinyal gitar dan vokal yang masuk pun kurang representatif. Speaker monitor pun saya tidak punya, cuma memakai speaker PC merk Simbadda. Seluruh suara diolah oleh saya sendiri dengan minim pengetahuan mixing dan mastering di kamar tidur saya. Alasan kami melakukan etos DIY dan maksimum lo-fi di album Renjana bukanlah kesengajaan, bukan dalam rangka memberi pernyataan artistik seperti musisi black metal dengan necrosound-nya, melainkan memang saat itu, kami tidak memiliki banyak akses dan relasi untuk membantu produksi album. Saat itu, kami hanyalah 2 mahasiswa semester tanggung yang mencoba berkarya. Yang kedua, Rabu sempat hiatus kurang lebih 4 tahun. Kurangnya maintenance terhadap aktivitas bermusik di Rabu membuat saya makin yakin kalau Renjana akan terlupakan begitu saja.
Seluruh materi yang saya tulis di album ini merupakan buah dari kepolosan pemuda Bantul yang baru menginjak umur 20 tahun yang menggemari puisi, cerita horor, dan musik bernada sedih. Lagu pertama yang saya tulis adalah lagu “Lingkar”, yang kedua adalah “Kemarau, Bunda, dan Iblis”.
“Lingkar” sebenarnya saya maksudkan bercerita tentang ashabul kahfi dan “Kemarau, Bunda, dan Iblis” saya tulis setelah melihat ilustrasi sampul album dari band Green & Wood yang berjudul Devil’s Plan. Waktu itu, saya ingat betul saya menyodorkan dua lirik lagu tersebut ke Yodi, teman baik saya di kampus saat jam perkuliahan di dalam kelas. saya meminta dia untuk mengomentari lirik-lirik tersebut. Yodi hanya tersenyum dan berkomentar, “Membuat lirik tuh yang penting jujur kayak JKT48”. Saya tidak mengerti maksud dia, tapi sedikit menebak mungkin lirik saya terlalu bertele-tele [tertawa]. Saya memang mencoba sepuitis mungkin di Renjana. Tidak ada keputusan yang bertele-tele ketika menuliskan lirik-lirik tersebut. Pada bagian musik pun saya gas-gas saja. Tidak ada pertimbangan banyak dalam mengekspresikan nada dan lirik yang saya buat. Kadang, saya merenungi masa muda, masa yang berapi-api tersebut. Kepolosan dan jiwa nekat seperti itu sudah tidak bisa saya ulangi lagi sekarang.
Renjana mulai mendapat perhatian dari penikmat musik Indonesia setelah Wok The Rock meminta saya untuk mengumpulkan beberapa lagu Rabu ke dalam sebuah album yang khusus untuk dirilis di netlabelnya, Yes No Wave. Pada titik tersebut, petualangan kami baru dimulai. Tawaran-tawaran untuk merilis Renjana dalam berbagai format fisik mulai berdatangan. Mas Gufi dari Kongsi Jahat Syndicate (EO musik independen legendaris di Yogyakarta) juga ikut mendorong Rabu untuk merilis album Renjana dalam format CD dan mempromosikannya dengan tur 7 kota (Jakarta, Bandung, Malang, Surabaya, Solo, Semarang, dan Yogyakarta). Tur tersebut kami beri nama Rabu Renjana Tur 2014. Tentu saja, awalnya kami kaget dan tidak langsung bisa menerima semua usulan dan tawaran tersebut. Lagi-lagi, saya ragu, “Apakah pantas?”.
Ide pengemasan CD Renjana dengan besek (anyaman bambu) saya usulkan untuk memperkuat citra album. Sebenarnya ide ini sudah tersimpan dari tahun sebelumnya untuk rilisan band saya yang lain, namun ternyata rezeki untuk mewujudkannya datang di Rabu. Filosofi besek adalah perwujudan rasa syukur yang diadopsi dari besek nasi berkat yang dibawa pulang setelah acara doa dan syukuran. Ratusan besek dengan ukuran custom untuk album Renjana kami pesan di Pasar Beringharjo.
Kami sangat kewalahan membawanya pulang memakai sepeda motor ke tempat pengemasan CD. Bayangkan saja, 500 besek kami bawa sekali jalan. Tentu saja ngos-ngosan bukan main. Saya yang nyetir sepeda motor dan Tempe di belakang membawa ratusan besek tersebut di kiri dan kanan. Beratnya minta ampun. Maklum, waktu itu belum ada ojek online.
Ide gimmick besek ini sedikit banyak saya dapat dari kegilaan teman-teman yang waktu itu lebih duluan mengemas rilisan album dengan unik. Ada dua yang sangat menarik perhatian saya. Zoo (yang sekarang berganti nama menjadi Wusa) merilis album Prasasti dengan kemasan batu granit pada tahun 2012 dan To Die merilis album Guponoise dengan kemasan kandang merpati pada awal 2014. Gila ya?
Album ini nyaris saya tinggalkan selamanya. Saya hampir move on selamanya. Walaupun di tahun 2014, Renjana sempat mendapat ulasan-ulasan yang cukup positif di beberapa media, salah satunya masuk dalam daftar album terbaik tahun 2014 versi majalah Rolling Stone Indonesia. Jujur, itu adalah salah satu pengalaman yang surreal bagi saya. Pencapaian-pencapaian tersebut membuat saya tetap tidak yakin untuk meneruskan perjalanan Rabu. Semua kalah oleh krisis seperempat baya yang saya alami. Saya merasakan ada writer’s block. Ada ekspresi artistik yang saya pribadi kurang puas dalam menuliskan materi-materi baru. Saya juga minder membaca ulang lirik-lirik saya. Setiap kali saya mendengarkan ulang Renjana, dalam hati berkata, “Aduh, kok dulu aku bikinnya kayak gini sih”. Ditambah lagi, saya dan Tempe terpisah jarak ratusan kilometer karena Tempe sudah pindah ke luar kota untuk bekerja. Maka kami pun memilih untuk hiatus saat itu. Sempat terpikir perjalanan Rabu memang sudah selesai.
Tahun 2023, saya bersama teman-teman Rabu yang kini berjumlah 5 orang mulai berpikir akan dirayakan dengan apa album Renjana ini? Akan dirayakan atau tidak?. Karena setahun kemudian, Renjana tepat berumur 10 tahun. Ada keinginan dan keraguan yang menjadi satu. Karena ya sudah, masing-masing sudah sibuk dan mungkin kalau tidak sempat dirayakan, kami akan fokus pada materi baru saja. Kemudian, panitia penyelenggara festival Cherrypop 2024 datang untuk menawarkan perayaan satu dekade album Renjana. Saya tidak menyangka bakal datang tawaran tersebut. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Rabu menjadi salah satu lineup yang tampil di Cherrypop 2024 dengan set spesial. Kami diminta menampilkan setlist Renjana dengan format duo Rabu sama percis seperti apa yang kami lakukan 10 tahun sebelumnya. Kami cosplay menjadi Rabu 10 tahun yang lalu. Untung saja anggota Rabu yang lain tidak ngambek.
Walaupun setiap saat, selalu saja muncul rasa menyesal yang disertai ingin merevisi album tersebut, apa yang sudah terjadi, terjadilah. It is what it is. Mungkin seperti menerima kesalahan-kesalahan kita di masa lalu dan perlahan mulai memaafkannya. Perlahan mulai memperbaikinya dengan menjadi pribadi yang lebih baik. Bukankah perjuangan untuk memperbaiki diri itu berjalan terus menerus sepanjang hidup?
Setelah cukup dewasa untuk memahami perjalanan ini, saya akhirnya menyadari, album ini sangat penting karena menjadi titik keberangkatan kekaryaan Rabu. Dari album inilah, saya pertama kali belajar menulis lirik dan membuat lagu yang lebih terstruktur. Dari album inilah saya bereksperimentasi mengawinkan nada-nada kesedihan yang saya gemari dengan lick gitar Tempe. Hasilnya ganjil, namun menghasilkan warna tersendiri bagi Rabu. Album ini juga berhasil mempertemukan kami dengan teman-teman yang saling menginspirasi satu sama lain. Renjana menjadi pintu yang membuka banyak pintu yang lain. Menjadi satu titik kemungkinan yang melahirkan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Di titik ini, saya sudah tidak ragu lagi, “Album ini memang sudah sepantasnya dirayakan!”.
10 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ternyata satu dekade album Renjana memberi ruang introspeksi yang sangat dalam bagi saya. Merayakan Renjana sama saja dengan merayakan takluknya keraguan dan keterbatasan yang ada. Saya percaya bahwa karya yang baik adalah karya yang dilahirkan. Lebih baik mengetahui karya kita mati daripada kita tidak tahu karya kita bakal ke mana karena kita terlalu takut untuk melahirkannya.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Daftar Label Musik Independen dari Berbagai Kota di Indonesia 2024
Berbicara tentang label musik tentu bukan hal yang asing lagi bagi siapa pun yang berkecimpung di industri ini. Mengingat kembali band-band yang lekat dengan label raksasa sebagai naungan, sebut saja Dewa 19 saat awal …
Wawancara Eksklusif Kossy Ng dan Dimas Ario Spotify: Edukasi Stream dan Musik Berbayar Masih Jadi Tantangan Besar
Saat menentukan apa saja yang ingin diangkat untuk KaleidosPOP 2024, tim redaksi Pophariini langsung berpikir soal keberadaan platform streaming musik yang menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan perjalanan band dan musisi di era ini. …