Menelusuri Progresi Kancah Musik Independen Tangerang Raya

Feb 4, 2024
Tangerang

Sedikit flashback ke sekitar tahun 2013, saya dipertemukan dengan sekelompok pemuda dengan preferensi musik yang pada saat itu jarang saya jumpai di Tangerang, Berawal dari keputusan nongkrong di sepetak kios kecil yang lebih cocok jadi toko aksesoris hp. Tangerang Rock And Blues (TRB), komunitas jamming bebas dan sarana bertukar lagu dan film bajakan. Kios itu mereka sebut “sarang penyamun” atau samun. Bukan coffeeshop, tidak jual apa-apa, kerjaannya cuma asik-asikan dan melakukan hal bodoh seperti membuat barbeque jagung bakar dengan copotan pagar besi sambil gitaran menyanyikan ground control to major tom.

Dindingnya dicat merah menyala dihiasi gambar stensil Mick Jagger, Jimi Hendrix, dan Jim Morrison. Letaknya persis di pinggir jalan arah ke bandara Soekarno-Hatta dekat perempatan lampu merah. Sepanjang jalannya dihiasi pemandangan truk tanah lalu lalang yang tidak habis-habis. Setiap malam minggu kios itu membuka lebar-lebar rolling door-nya dari sore hingga minggu pagi, menjadi ajang adu desibel antara suara ampli 4×12 inci yang dimainkan sekumpulan mas-mas yang rentang umurnya beragam.

Jamming musik blues outside mletoy-letoy sambil mumbling Inggris srengseng menjadi hal yang menghibur di setiap minggunya. Mereka termasuk saya datang untuk nongkrong dan haha-hehe. Tak begitu peduli, siapa yang memegang instrumen. Namun ada hawa bersenang-senang yang kuat di tempat itu. Sejenak lupa akan tugas kuliah, kerjaan yang menumpuk, dan kadang bikin lupa nama sendiri. Anak-anak TRB hampir semuanya punya band, warna musiknya pun beragam, Walau tak banyak artefak musik yang terdokumentasi dengan baik yang mewakili masa-masa itu.

Sematan ‘kota satelit’ selalu lekat pada Tangerang. Masuk akal, mengingat dinamika ekonomi Jakarta salah satunya ditopang oleh banyak pekerja yang berdomisili Tangerang.

Adapun yang saya ingat pernah menjadi antek-antek2 TRB adalah anak-anak dari The Cat Police, Hordy Jones, Fly To Get Her, Achmad and The Roll 1966 dan banyak sekali wajah-wajah baru yang setiap minggunya silih berganti. Namun seringkali jika ada kesempatan mengisi acara-acara, entah itu mengisi jam session di mall-mall alsut ataupun ruko-ruko di bilangan Gading Serpong . Mereka akan jamming secara bergantian dan memainkan lagu-lagu standarnya seperti Roadhouse Blues, Still Got The Blues. (Waktu itu seingat saya  belum ada Akibat Pergaulan Blues) dan beberapa lagu blues 12 bar. Blues is boring!!!, teriak manusia gondrong yang sedang menonton blues.

Perayaan TRB Anniversary

TRB pada masa itu adalah angin segar dan mungkin satu-satunya ruang komunal inklusif yang memicu peleburan spektrum musik di Tangerang Kota. Di ujung masa aktifnya, membuat acara anniversary-nya yang pertama (dan terakhir) di Semanggi Center Cikokol, mendatangkan komunitas dan band dari luar dan dalam kota. Dan di keburaman acara itu pula pertama kalinya saya mengisi vokal di The Cat Police. 

Walaupun keberadaannya tak berlangsung lama, suasana berkolektifnya pun terasa sangat guyub dalam merespon keadaan di sekeliling. Di mana keterbatasan ruang berekspresi dan dana senang-senang, membuat para scenester berusaha mencari cara alternatif untuk membuat gigs-gigs mandiri. Rasa guyub yang saya rasakan di TRB ternyata hanya berpindah tempat dan tersebar di penjuru Tangerang. Djogja Studio, Sandwich Attack, Kedai Kinetik, dan Semanggi Center di tahun 2017 hingga 2019 adalah venue yang selalu jadi pilihan yang paling mungkin untuk membuat gigs-gigs skala kecil bernuansa intim yang selalu dihinggapi oleh band baru yang masih segar, serta menjadi ruang showcase yang cukup hangat bagi band tur yang singgah ke kota ini. 

Beberapa kali saat saya mendapat kesempatan bertandang ke Pamulang, saya pun terpukau dengan adanya tempat-tempat tak lazim yang menjadi gelanggang gigs bau kaki seperti Garasi.14 yang menyulap garasi rumah pak RT menjadi garage show yang benar-benar garage secara harfiah. Namun jika saat ini kalian sedang suntuk dan butuh pencerahan, coba pergi ke Pasarkita Pamulang dan silahkan nongkrong dengan manusia-manusia di depan toko fingerboard. Dipastikan mereka siap sedia menemani kalian dari jam 7 hingga selesai.

Belum lagi banyak pendatang untuk tinggal, kerja, maupun mengambil studi di kampus-kampus bahkan musisi-musisi populer yang pada akhirnya menetap di wilayah selatan Tangerang seputar BSD, Bintaro dan Pamulang.

Lanskap Kota dan Sumber Daya Hibrida

Sematan ‘kota satelit’ selalu lekat pada Tangerang. Masuk akal, mengingat dinamika ekonomi Jakarta salah satunya ditopang oleh banyak pekerja yang berdomisili Tangerang. Belum lagi percepatan pembangunan di wilayah Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang yang semakin intens memancing banyak pendatang untuk tinggal, kerja, maupun mengambil studi di kampus-kampus futuristik daerah Gading Serpong dan sekitarnya. Bahkan tak terhitung musisi-musisi populer senior yang pada akhirnya menetap di wilayah selatan Tangerang seputar BSD, Bintaro dan Pamulang. 

Wilayah kota, kabupaten, dan Tangsel masing-masing memiliki karakter berbeda yang dipengaruhi dari banyak aspek tata kota, kebijakan, orang-orangnya, dan terlebih musiknya. Jarak antar wilayah dan ledakan urbanisasi di tiga bagian kota ini lalu mendorong fenomena pencampuran identitas bagi keberagaman musik di penjuru Tangerang. 

Setidaknya dari 2016 saya merasakan wajah-wajah baru berbagai latar berfusi dengan pegiat lama yang sudah lebih dulu mondar-mandir di acara.  Beredar dan melingkar melalui kelompok kolektif maupun yang sudah berbentuk event organizer yang kian bermunculan, kampus-kampus dan tongkrongan yang tersebar di ruang-ruang sempit kota turut menjadi inkubator dari berbagai band dan rilisan yang mulai melantai di gelaran luar kota, baik gigs-gigs skala mikro maupun festival besar. 

Bisa dibilang tahun 2017 adalah tahun di mana banyak entitas dimulai dan meramaikan Kota Tangerang, mulai dari kolektif hingga media alternatif. Tidak sedikit yang mati, tapi ada juga yang bertahan hingga hari ini. Salah satunya adalah Record Store Day dan Cassette Store Day Tangerang yang diadakan sejak 2017.

Sebagai contoh, The Regards, band ska/rocksteady mutakhir Tangerang yang muncul 2019 silam, yang kemudian seringkali menjadi bahan skanking dan singalong di berbagai acara di dalam maupun luar kota. Musiknya terasa hangat dan sangat dekat dengan cerita-cerita lucu maupun keluh kesah kelas proletar. Waktu perilisan mereka selalu bertepatan dengan hari buruh, seolah menjadi selebrasi dan hiburan kecil bagi mereka yang berputar pada poros roda industri yang semakin lama semakin cepat. Personilnya merupakan campur aduk dari berbagai band di Tangerang, baru saja main di Java Jazz Festival 2023 kemarin setelah sebelumnya merilis EP ‘Probation Vol.1’ dan ‘Vol.2’, berbarengan dengan Mad-madmen (Tangerang Selatan), Clever Moose (Pamulang), hingga Bunga Citra Lestari. 

Sokin Boys / foto: enamdua

Saat menghadiri beberapa acara mandiri di medio 2017-2019 yang seringkali menjadi titik peleburan manusia pun, dapat dilihat percampuran pegiat berdomisili berbeda dari berbagai kalangan yang turut serta datang. Entah itu untuk menonton, melapak, menjadi panitia, ataupun menjadi line-up acara. Di tahun-tahun itu rasa-rasanya adalah tahun-tahun emas bagi scene Tangerang, banyak peleburan dari berbagai disiplin seni turut serta meramaikan dan saling melengkapi satu sama lain. Seperti sekena-sekena di kota lain dimana coffee shop, gerobak kopi, angkringan jawa, usaha FnB teman dan tempat-tempat publik menjadi hub kreatif dadakan yang tak jarang melahirkan banyak proyek musik maupun pameran seni rupa dan street art.

Jika mengamati ekosistem yang terbangun secara organik di Kota Tangerang, para aktornya pun merupakan perpaduan dari banyak wilayah. Orang-orang Tangerang Kota, Kabupaten, dan beberapa wajah Tangerang Selatan. Belakangan, saya juga mendapati beberapa manusia dari Pamulang dan sekitarnya yang terkenal menjadi padepokan anak produksi karena manpower-nya yang lengkap, turut terlibat dalam urusan belakang layar band-band Tangerang dari segi managerial, produksi, hingga urusan bisnisnya.

Jalan rusak di putaran Karawaci-Legok, barisan pabrik dari Balaraja sampai Telesonik, jokes intra tongkrongan dan nasi jagal yang kelak menjadi bumbu dari musik-musik yang bermunculan di kawasan ini dalam waktu beberapa tahun ke belakang. Coba tengok katalog yang ditawarkan Roaches Records,  walau tidak mewakili semua keriuhan musik di Tangerang, setidaknya label ultra swadaya bermaskot kecoa ini berhasil menjadi etalase yang mengawetkan beberapa prototipe musik lintas genre di Tangerang Kota pada putaran 2017-2023. Dirty Ass, Hong!, Tabrak Lari, Zabogart, Nooks, Magnolia Celebration, RRRrrr!, Rekklus, Waxtape, Hordy Jones, Waxtape, Sunnyday, Take, Sleks, Malam Jum’at, Pandemonium, hingga musik elektronik dari Kumaru, beberapa diantaranya merilis debut album ataupun EP lewat label ini. Roaches pun diinisiasi oleh Gerry (Dirty Ass, Hong!, DeadEnd, dll) dan kawan-kawannya yang juga terlibat dalam kolektif elang terbang.

Tak Bosan untuk Teriak dan Marah-Marah

Eksistensi musik-musik ‘keras’ di Tangerang sejak dulu tak pernah sepi. Kultur punk, metal, hardcore kerap memenuhi GOR, pensi, dan venue berbentuk apapun yang tiba-tiba muncul dan tenggelam.

Di ranah Pop Punk/Melodic Punk Album ikonik ‘A New Chapter Has Begun’ oleh Rejected Kids seringkali menghiasi masa-masa SMA beberapa orang yang saya kenal di tongkrongan skateboard, band ini juga mempunya kultur yang lekat dengan anak-anak skateboard yang juga ditandai dengan satu nomor berjudul ‘Flip Stigma’. Metal pun mempunyai sejarah panjang dan rumit yang bisa dijadikan ensiklopedia sendiri. Dari info yang saya dapatkan, ada satu label metal dari Tangerang yang telah merilis banyak band dalam dan luar negeri, namanya Disembowel Records. Lalu saya menghubungi Dhani (Sepatuara, Les Truval) untuk memilih setidaknya 3 band metal kesukaannya, lalu tersebutlah nama-nama lama Anu Eta (black metal), Mati Suri (black metal), dan JD Al-Daer (hardcore). Lalu yang lebih baru ada Visceral Cadaverment, Regreth,  Hollykillers, dan GAGAK.

Sama halnya dengan scene underground reggae, dimana saya pernah terlibat di band yang seingat saya nama terakhirnya adalah ‘Tropical Breeze’. dengan setlist berisi nomor-nomor klasik dari Bob Marley hanya karena saya baru beli harmonika dan iseng tiup-tiup di tongkrongan.

Di liga punk swadaya ada Dirty Ass, trio garage punk berdomisili Legok dan sekitarnya yang sebelumnya telah mengantongi 3 album (‘Irama Penendang Bokong’ 2016, ‘Seliar Binatang’ 2018, ‘Distopia’ 2020) baru saja merilis EP anyarnya berjudul ultra bangor dan slebor: ‘Setubuhi Dirimu Sendiri’ (Slovenly Records) dalam bentuk vinyl. Berisi lima nomor lagu yang semakin terdengar kasar namun matang, gebukan drum yang memburu, suara VOX continental yang terdengar tajam dari Dio Dama (Durant Club, ex The Cat Police) berpadu dengan sound gitar raw agresif mencabik-cabik, dan tak lupa memberi medali emas  epada vokal cempreng-galak oleh Gerry yang seolah pita suaranya terbuat dari senar satu, dicolok ke ampli kecil, dan bergetar di ruangan 6×6 meter yang redam. Musiknya benar-benar jazz bebas yang kebablasan. Rasanya cocok sekali jika lagu-lagu Dirty Ass ikut nangkring mengisi soundtrack film-film anak sekolah bandel seperti Catatan Akhir Sekolah.

Tak jauh berbeda sablengnya, ada kuartet Hardcore Punk Hong! dengan lugas membawa bahasa umpatan lokal pada judulnya. “Geblek”, “Bangor”, “Harak”, dan “Blegedemen”.  Mereka dengan sengaja memasukkan elemen kearifan lokal karena merasa itu keren. “Bahasa Indonesia itu keren dan memang gue konsepkan pemilihan katanya. Karena sedari awal HONG! ingin membawa kearifan lokal Tangerang. Jadinya yah seperti yang ada di lagu semua,” tutur Gerry HONG! dalam interview-nya di knurd.club. 

 

 

Lalu ada Tabraklari, fastcore bengkok yang menginfusi musik agresif dengan ketukan cepat dan durasi lagu yang juga tak kalah cepat dengan komedi  kearifan lokal ala pasar kemis yang sedang sibuk-sibuknya tur kesana kemari, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang menjadi korban kebosanan di era pandemi.

 

Walau ketiga band ini memiliki ciri pembeda satu sama lain namun mereka punya kesamaan, selain telah tampil di Gigs Stage Synchronize Festival (2022-2023), eksistensi mereka terasa mewakili watak dari kultur musik Tangerang yang padat dan agresif dan berhasil membawa semangat itu ke level yang lebih tinggi lagi. Mereka tak bosan untuk teriak dan marah-marah sambil merespon tentang kehidupan di pinggiran kota urban dengan tempo cepat dan distorsi pemicu adrenalin. 

Disusul band-band bagus dengan corak berbeda yang merilis materi segar yang patut kalian simak: toast, FLAH, Klandestin, Holotropic Poppins, Hellens, Zirbad, Les Truval, Toscasoda, dan Woodcore.

 

 

2017 Bagi Tangerang Kota

Bisa dibilang tahun 2017 adalah tahun di mana banyak entitas dimulai dan meramaikan Kota Tangerang, mulai dari kolektif hingga media alternatif. Tidak sedikit yang mati, tapi ada juga yang bertahan hingga hari ini. Salah satunya adalah Record Store Day dan Cassette Store Day Tangerang yang diadakan sejak 2017. Dengan semangat kolektif yang selalu dipegang oleh para pegiat dan pelaku dari kancah musik independen Tangerang, mereka mengatasnamakan Setara menaungi 2 acara ini secara konsisten hingga tahun 2023 lalu. Meski lokasi acara yang di situ-situ saja, antara Sandwich Attack atau Kedai Kinetik, tapi dua acara ini selalu menjadi perayaan bagi orang-orang yang menyukai rilisan fisik, merchandise, atau sekadar untuk berkumpul bersama teman-teman. Sayangnya, Record Store Day maupun Cassette Store Day sempat tidak dijalankan selama 2 tahun (2020-2021) karena faktor pandemi.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Serikat Tangerang Raya (@seta.ra)

Semua tahu dan sadar jika pandemi yang mulai di tahun 2020 berpengaruh terhadap banyak lini termasuk musik. Namun ada satu kolektif yang masih menancapkan gasnya di kota Tangerang, yakni Elang Terbang Kolektif (ETK). Seperti mottonya, “Make Tangerang Fun & Barokah Again”, kolektif ini merupakan kelompok yang sangat konsisten menjadi portal dengan menyelenggarakan gigs yang menghadirkan berbagai line-up ajaib mulai dari dalam kota, luar kota, hingga lintas negara.

 

 

Dua tajuk utama mereka, Salahudah! gigs sebagai titik start band import yang sedang tur, mengingat lokasi bandara Soekarno-Hatta yang memungkinkan untuk menculik band-band untuk main,  dan dipasangkan dengan band lokal sebelum melanjutkan tur nya ke kota lain. Sementara ada Berhura-Hura! tajuk gigs yang kerap menampilkan laga kandang ini telah menginjak volume yang ke-61 saat tulisan ini dibuat. 

 

Cara ETK mengorganisir gigs yang dihelatnya pun terbilang cukup rapi,  bahkan terdapat laporan transparansi dana setiap gigs selesai digelar, sesuai slogan: Barokah, Amanah, Sakinah, Salahudah! anak punk ini lebih transparan dari masa depan kalian! selain Elang Terbang ada juga beberapa kolektif  yang masih aktif maupun tidak, ada Undertaker Familia, kolektif hardcore di Tangerang Selatan, Pokta Collective, Kolekase (RIP), Ruang Rebus (Boiler Room cabang Gading Serpong), lalu ada Tanam Bunyi yang menjadi wadah melingkar bagi pecinta musik-musik berbau eksperimental dan tidak konvensional, Berawal dari Noise bombing di taman-taman tanpa tempat parkir di sepanjang jalan veteran. Yang juga telah menginisiasi berbagai kegiatan sonikal sejak 2018 dan segudang nama-nama lain yang dapat kalian lengkapi di kolom komentar.

Mungkin saya tidak akan menyanggupi jika harus menulis semua tetek-bengek yang tarkandung pada kota ini, namun semoga serpihan ingatan ini dapat menjadi gambaran kecil tentang Kota Tangerang dari segi perkembangan kultur musiknya. Wilayah yang menjadi rumah dan juga taman bermain buat saya dan anak-anak yang paling masuk akal untuk ditempuh secara jarak, area, dan kolektif yang ada. Yang jelas, etos swakriya alias do it yourself selalu menjadi ginjal dalam berjalannya musik-musikan Tangerang dari dulu hingga sekarang. Teriak-teriak, marah-marah, bercengkrama, dan selebrasi. Elemen-elemen yang menopang keberlangsungan dinamika musik di Tangerang mulai dari band, label, record store, venue, tim produksi, event organizer, sampai studio rekaman, saling menjadi singkup dan melengkapi satu sama lain. Dan mereka-mereka ini adalah satelit bagi kota ini sendiri. Apakah sudah cukup? Silahkan dijawab sendiri, atau dijawab oleh regenerasi di Kota ini.

 


 

Penulis
Zaki Lazuardian
Lahir 8 Januari 1996, suka mengamati apapun, jadi biduan di The Cat Police sejak 2013, suka musik, suka reggae juga, pernah jadi bagian di Irama Nusantara.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Vinyl The Jansen Keluaran 4490 Records dan Demajors, Ini Dia Perbedaan Keduanya

The Jansen merilis album ketiga Banal Semakin Binal dalam format vinyl hari Jumat (26/04) via jalur distribusi demajors. Beberapa hari sebelumnya, band lebih dulu merilis dalam format yang sama melalui 4490 Records, sebuah label …

Inis Rilis Album Mini Berbahasa Indonesia Pertama

Berjarak hampir 2 tahun dari perilisan single “D.A.D”, Inis akhirnya kembali dengan materi anyar berupa album mini berjudul Rumah & Seisinya yang dilepas hari Jumat (19/04). Album berisi 3 lagu ini merupakan karya perdana …