Mengunjungi Bali: Skena Musik Terbaik Negeri Di 2021
Ada yang istimewa apabila jarum pendek jam masih bertengger di angka empat, matahari belum tampak, tapi semangat sudah membusung. Akan mengunjungi skena Bali adalah alasannya. Kuartal keempat tahun kerbau logam ini punya beberapa kabar baik yang patut dirayakan. Berderet kabar perihal Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang mengundur menciptakan asa. Dalam konteks musik, apa lagi kalau bukan menjemput salah satu dari sekian banyak lubang penghasilan musisi yang masih jadi primadona negeri ini : pertunjukan!
Dalam periode 20-27 November 2021 saja, sudah ada tiga gig yang bisa dikantongi sebelum mendarat di pulau ini. Perkemahan Sabtu – Minggu hasil fermentasi dari label rekaman Berita Angkasa contohnya. Selepas pendaratan yang mulus dari sang pengemudi di kokpit, Bali ada di pijakan. Kesan pertama? Sepi. Kosong. Mungkin karena ini hari Senin. Seolah membantu tulisan ini, Heri Subagyo, seorang pengemudi moda transportasi dalam jaringan di sini bertutur tentang Bali yang ‘mati’. Hemat saya, sekaligus menakar kelakar Rudolf Dethu dalam tulisannya tentang skena Bali, di tiap jengkal kaki pulau ini, di situ pula ada tempat hiburan dan wahana pelaksanaan pertunjukan. Kematian satu tempat tertutupi hingar-bingar tempat lain. Di sini letak perbedaannya. Sesederhana membuka peta, ambil sampel titik teramai Ibukota. Selatan dan Pusat. Jumlah sarana hiburannya tak ada yang sedempet dan berangkulan bak Bali.
Memvalidasi keingintahuan yang sudah cukup memuncak ini, figur representatif atau putera daerah Bali, harus ditemui. Rudolf Dethu, namanya adalah satu dari sekian hal di Bali yang mendunia seperti debur ombaknya yang necis dan kulinernya yang memanjakan lidah dengan pemeran pendukung yang punya tugas mempertajam indera perasa. Ditemui di Rumah Sanur, markasnya, Bli Dethu, panggilan banyak orang padanya tampil konstan gagah dengan baju dinasnya. Kemeja yang digulung hingga lengan dan membuka dua kancing teratasnya.
Obrolan yang terjadi di Rumah Sanur di penghujung 2021 yang labil memuat banyak hal. Malam makin kelam saat jarum pendek jam bertengger di angka delapan. Menandakan telah tiba waktunya untuk Bli Dethu menghampiri tempat lain. Antida Music di Denpasar Timur jadi destinasi. Senyawa sedang melangsungkan konser intim mereka di sana. Sekilas tentang pelaksanaannya, cukup luwes dan sederhana. Parkir kendaraan dialihkan di lapangan seberang, seolah telah disiapkan. Tiket masuk seyogyanya, digunakan sepenuhnya untuk membiayai biaya produksi, ada kios merchandise, permainan visual, dan jiwa-jiwa yang terbarukan. Semuanya tambah maksimum setelah menyaksikan ibadah malam yang dikomandoi oleh Senyawa. Khusyuk.
Belakang panggung dan ramah-tamah yang terjadi di dalamnya yang menjadikan malam ini semakin hangat. Dari awal hingga acara berakhir, obrolan terus terbuka bagai keran yang mengalir, ada anak-anak dari Rollfast yang ada dalam lingkaran seru diskusi hangat bersama Bli Dethu, ditambah Nova Ruth yang datang tepat beberapa waktu sebelum Senyawa berkoar. Lenggang kisahnya tentang apa-apa saja yang terjadi di Arka Kinari, terlampau menarik untuk tak disimak. Skena Bali tak kalah soal inovasi, selalu ada pasar yang rela membayar untuk itu.
Pernyataan tadi divalidasi oleh salah satu dari sekian banyak band menjanjikan pulau ini : Modjorido. Rudolf Dethu mendeskripsikan band ini sebagai band yang sedang tenar di seantero Bali. Ekspektasi tinggi pantas disusun untuk melihat bagaimana perwujudan dari putera daerah yang sedang masyur namanya ini.
Mengenai skena Bali, ujar mereka, semua hal ada pasarnya. Ada pasar untuk penikmat musik dengan genre apapun. Menghindari persikutan dan perebutan pasar, celetukan saya yang mereka amini. Skena kota ini juga merebak dan mekar karena ulah para turis asing. Para pendatang. Fakta yang dijabarkan oleh para punggawa Modjorido, 80% pendengar mereka adalah warga negara asing. Pekerjaan rumah jadi sedikit beda dari yang umumnya terjadi : Menerobos pasar lokal, menyeimbangkan persentase. Ya, Modjorido akui, di Bali, pasar internasional tak sebegitu mustahilnya tergapai.
Pun saat kami berkabung untuk membahas satu momentum paling menyedihkan dalam kehidupan generasi manusia abad 21 : Pandemi Covid-19, Modjorido punya cerita unik dari tanah para dewa-dewi ini. Di saat klub dan bar menutup pintu toko, di saat gegap gempita acara sekelebat musnah, dan asa terasa punah, Bali punya caranya sendiri untuk tetap dijadikan rumah. Bar, tempat mereka biasanya mencari nafkah, digantikan oleh acara dan pesta privat yang diadakan para bule. Circle Rusia dan Jerman adalah salah dua dari beberapa lingkaran pertemanan yang paling mengidolakan musik mereka, katanya.
Masih diawasi gerak-geriknya oleh Pohon Tua Creatorium, Rico Mahesi, ketua departemen vokal band ini mengaku sangat beruntung. Secara terpisah, Rudolf Dethu menjelaskan sudah memang tiba waktunya untuk nama-nama muda menaiki tangga regenerasi dan menambah daftar wajah representasi Pohon Tua Creatorium selain nama-nama kaliber bak Navicula atau The Hydrant. Modjorido sendiri mengaku lebih dari terhormat apabila mereka mampu berupaya untuk menjadi bagian dari perjalanan panjang nan legendaris Pohon Tua Creatorium. Ekosistem berkarya yang mereka hormati dan banggakan.
Tak menyia-nyiakan kesempatan, mereka semangat menceritakan seberapa serius Pohon Tua Creatorium dan jajarannya dalam mendidik, memberikan masukan terkait berbagai aspek, hingga membantu mengurusi produksi mereka. Ya, untuk urusan produksi pun mereka dibantu. Sebuah ekosistem yang menyenangkan dan gotong royong. Pantas apabila skena kota ini bergerak menuju terang yang sama.
Menutup obrolan kami sore itu, sebelum aspal jalanan dari Seminyak menuju Gianyar harus ditempuh untuk menyaksikan pertunjukan dari sebuah band asal Jakarta yang diisi oleh duo penyiar dan satu band lokal yang kepalang ramah, Modjorido menyatakan satu lagi alasan kenapa pergerakan musikal di kota ini nyaris tetap selamat di tengah pandemi. Birokrasi yang santai. Ujar mereka. Mengingat fakta bahwa pulau ini hidup dari pariwisata. Mempersulit kegiatan berwisata adalah menjemput ajal. Tidak ada yang mau mati bukan? Satu mati semua mati apabila menyoal industri pariwisata.
Ya, survey langsung ke lokasi, deskripsi Rudolf Dethu terhadap tempat kediamannya yang sebegitu tersohor, ternyata tak sepenuhnya hiperbola. Di Bali, fenomena live music bar telah ada sejak awal 80an. Membuat fenomena ini jadi budaya umum, terlebih di daerah Sanur dan Kuta yang jadi sarang turis. Mencari pertunjukan musik? Datangi saja bar atau kafe terdekat. Mengenai musik yang dibawakan, Rudolf Dethu dalam tulisannya menjabarkan adanya perubahan arus dari hanya tembang Top 40 menjadi karya pribadi. Modjorido sendiri mengamini dan menambahkan. Set list yang mereka susun biasanya adaptif. Kadang kalau memungkinkan akan sepenuhnya lagu sendiri, semisal ada hati penonton yang harus dimenangkan, akan dicampur dengan beberapa lagu selain milik mereka yang tentunya punya nilai yang sama denga napa yang band ini perjuangkan.
Menghampiri kota orang, membagikan momen di media sosial, sudah jadi perjudian yang pas apabila diakhiri dengan balasan pesan dari kawan yang memang bermukim di kota tersebut. James Sukadana lah tersangkanya. Vokalis band Manja yang sama sekali tidak manja. Mengirimkan pesan kepada saya yang bermaksud untuk memberikan undangan menonton pertunjukan Manja di Sababay Winery, Gianyar. Satu hal lagi yang harus saya validasi dari tulisan Rudolf Dethu, berlimpah ruang berekspresi di Bali, nyata adanya. Kurang lebih tujuh hari di sini, beberapa pertunjukan saya datangi, tak ada pengulangan kesamaan lokasi di sana. Gokil! Ya, kalaupun satu kawasan, tempat pertunjukannya berbeda. Apa artinya? Di tanah Bali, ruang berekspresi tak ada habisnya. Takjub! Semua berpertunjukan.
‘Wednesday At The Winery’, tajuk acara yang diinisiasi oleh Sababay tersebut mendatangkan Dead Bachelors dari Jakarta, rupanya. Eda, sapaan untuk Narendra Pawaka yang saya ajak bertukar kabar sore itu mengungkapkan kekagumannya pada kota ini. Bagaimana ia sangat menikmati dan tak sabar untuk menghibur para penonton di Bali dengan penampilannya bersama Mario Pratama, rekannya, malam itu.
Bertaburan nama, proses persaingan sehat kota ini sejatinya adalah lewat karya. Terlepas dari situasi yang ada, kekaguman saya tertuju pada bagaimana anak-anak dari Manja tetap tambil menggebrak sejak nada pertama. Talenta brilian dari Pohon Tua Creatorium ini memang mengingatkan saya kenapa mereka layak menyabet penghargaan dari Anugerah Musik Bali. Satu lagi faktor yang membuat kota ini super anomali. Perayaan dan penghargaan tiada henti. Membuat siapapun ngiler dan hendak berkarya dari sini.
Pertunjukan mereka tuntaskan dengan khas. Bergeser ke Dead Bachelors yang telah terbang dari Jakarta untuk berdendang di sini, mereka pun tak menyia-nyiakan kesempatan dan tancap gas dari trek awal. Cuaca Bali nampaknya belum terlalu mampu diadaptasikan oleh Eda. Terlihat dari sandangnya yang kuyup oleh keringat. Menambah satu lagi kekaguman saya terhadap The Hydrant dan teman-teman lain dari Bali yang selalu mengkonsepkan fesyen-nya sedemikian rupa dan tampil all out. Panasnya pulau ini bukan main, boi!
Skena Bali punya nyaris segalanya yang kita butuhkan untuk berkarya. Ada orang, ruang, dan jalan untuk setiap kebutuhan. Warga asing di kota ini pun telah membaur dan menjelma menjadi salah satu lagi donator dari tindak kesenian yang berlangsung di sini. Fondasi dan kekar akar solidaritas di sini pun siap membantu siapapun yang memulai karir dan mengedar. Mungkin kita terlalu sibuk membahas skena Bandung yang masalahnya hanya di generation gap, ina-inu skena Jakarta, sampai lupa pada satu skena yang beringas, berbahaya, kuat, dan lagi menyengat di negeri ini, skena musik Bali!
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …