Mengurai Massa: Tantangan Baru Konser Musik
Untuk pertama kali dalam hidupnya Heni pada Sabtu (4/2) lalu menonton konser band Indonesia di konser tunggal “Pesta Rakyat Dewa 19: 30 Tahun Berkarya” yang digelar di Jakarta International Stadium (JIS). Namun di konser musik itu pula ia memutuskan untuk tidak lagi menonton konser jika masih bertempat di stadion berkapasitas 82 ribu penonton yang baru diresmikan pada Juli tahun lalu.
“Saya takut dengan situasi kerumunannya. Desak-desakan waktu antri masuk sudah lumayan parah dan mengingatkan sama kejadian di Itaewon. Sempat pingin kabur saja waktu itu,” kata Heni.
Sore itu Heni datang bersama kawannya. Ia tiba di JI Expo Kemayoran, salah satu kantong parkir yang disediakan penyelenggara konser, pukul 4 sore. Setelah mengantri hampir dua jam, ia lalu menuju JIS dengan layanan shuttle yang disediakan sebagai sarana mobilitas penonton. Dalam perkiraannya perjalanan sejauh lima kilometer itu hanya sedikit tersendat, imbas 75 ribu kepala yang berkumpul di waktu dan tempat yang sama.
Tapi perkiraan cuma perkiraan. Heni baru benar-benar menjejakkan kaki di JIS pukul 8 malam. Artinya empat jam ia butuhkan hanya menukarkan tiket hingga sampai venue. Tidak mau hal yang sama terulang lagi, Heni memutuskan pulang lebih cepat sebelum konser selesai meski masih ada sekitar dua atau tiga lagu lagi. Ia naik ojek online sampai wilayah Salemba yang sekiranya mudah untuk mendapat taksi sampai ke rumahnya di Pondok Rangon. “Ongkosnya langsung tembak tanpa aplikasi. Biaya transportasinya malah lebih mahal dari harga tiket konsernya.”
Fajar Yulianto setidaknya lebih beruntung. Ia sudah memperkirakan parkir di JI Expo akan lebih padat karena menjadi tempat penukaran tiket. “Saya parkir di Ancol. Dari sana lebih dekat ke JIS daripada dari JI Expo,” kata Fajar. Tak perlu menunggu lama ia sudah mendapat shuttle menuju JIS. Pun pengunjung belum cukup banyak hingga ia tidak perlu berdesakan seperti Heni. Bedanya, Fajar harus naik delapan lantai untuk menuju tribun teratas JIS sebagai area pemegang tiket silver. Apesnya lagi, di lantai teratas JIS itu ia nyaris tak mendengar suara dari panggung. ”Saya nggak bisa dengar apa-apa karena sound tidak tembus sampai atas. Entah kenapa speaker dan giant screen di JIS malah tidak dinyalakan,” sungut Fajar.
JIS diproyeksikan sebagai stadion multi-fungsi. Tidak hanya untuk menggelar pertandingan sepakbola, stadion yang berada di total lahan seluas 66 hektare ini dirancang sebagai ruang publik yang dapat menampung aktivitas lain seperti konser musik, pameran, dan sebagainya
Sudah keburu dongkol, Fajar memutuskan pulang lebih dulu supaya tidak keluar bersamaan dengan puluhan ribu penonton lain. Ia perlu satu jam kembali ke Ancol. “Yang bikin macet itu parkir liar di sisi jalan. Bahkan sampai ada Alphard harus diangkat bareng-bareng karena parkirnya menghalangi jalan,” kata Fajar. Seperti Heni, Fajar juga enggan untuk kembali ke JIS jika akses transportasinya masih tak dibenahi. “JIS masih tidak layak untuk event sebesar itu,” kata Fajar.
Di bawah pengelolaan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah Pemprov DKI Jakarta, JIS diproyeksikan sebagai stadion multi-fungsi. Tidak hanya untuk menggelar pertandingan sepakbola, stadion yang berada di total lahan seluas 66 hektare ini dirancang sebagai ruang publik yang dapat menampung aktivitas lain seperti konser musik, pameran, dan sebagainya. Dilansir dari situs Jakarta Smart City, akses menuju JIS akan dilayani tiga jalur transportasi publik yakni Transjakarta, KRL Commuterline, serta LRT sebagai upaya menjadikan JIS sebagai kawasan Transit Oriented Development (TOD). Namun dari tiga moda transportasi itu, baru Transjakarta yang sudah beroperasi. Sedangkan dua moda lainnya, sesuai penjelasan di situs Jakarta Smart City, masih dalam tahap kajian dan perencanaan.
Sarana transportasi publik yang masih minim, akses jalan dan fasilitas pendukungnya yang terbatas, kantong parkir yang hanya ada dua lokasi, serta ketiadaan rekayasa lalu lintas selama acara akhirnya tidak sanggup menampung mobilitas puluhan ribu manusia menuju dan dari JIS. Cerita JIS seakan menambah catatan klasik proyek-proyek infrastruktur pemerintah: datang tiba-tiba dengan aspek keterjangkauan yang baru dipikirkan kemudian. “Venue-nya memang sudah proper. Tapi akses untuk volume penonton yang sedemikian besar seperti konser kemarin itu ibaratnya seperti masuk ke lubang jarum, kata Ketua Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), Dino Hamid.
Menurut Dino, ada tiga titik yang harus menjadi perhatian dalam penyelenggaraan konser. “Ring pertama itu transportasi ke venue dan lingkungan sekitar. Ring dua itu venue-nya sendiri. Dan ring tiga itu produksi acaranya. Nah konser Dewa di JIS kemarin itu problemnya ada di ring satunya,” kata Dino. Selain akses transportasi, persoalan mobilitas bubaran konser Dewa kemarin adalah lingkungan sekitar JIS. “JIS itu seperti masuk dalam wilayah pemukiman. Bisa dibayangkan puluhan ribu orang masuk ke pemukiman pasti ada bottleneck,” kata Dino.
“Venue-nya memang sudah proper. Tapi akses untuk volume penonton yang sedemikian besar seperti konser kemarin itu ibaratnya seperti masuk ke lubang jarum, kata Ketua Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), Dino Hamid
Lebih jauh, bubaran konser Dewa di JIS kemarin semakin mempertegas minimnya venue yang layak untuk konser berskala besar bahkan di wilayah di Ibu Kota dan sekitar yang infrastrukturnya lebih maju daripada wilayah lain. “Kalau untuk kapasitas di atas 50 ribu orang memang masih Stadion Utama Gelora Bung Karno. Ada di tengah kota, kantong parkir banyak, dan terintegrasi dengan fasilitas umum seperti hotel dan mall jadi kerumunan tidak tersentral di satu titik,” kata Dino. Beberapa venue lain yang memenuhi aspek keterjangkauan serta fasilitas pendukung, menurut Dino, antara lain JI Expo Kemayoran , kawasan Taman Impian Jaya Ancol, dan Indonesia Convention Exhibition (ICE) di Tangerang Selatan. “Venue-venue ini memang didesain untuk destinasi Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition,” kata Dino
Di Bandung, ceritanya sedikit berbeda. “Secara letak venue di Bandung itu cukup strategis cuma aksesnya itu susah. Jalanan Bandung kan kecil ditambah tiap weekend jadi tujuan wisatawan. Ya makin tambah macet kalau ada konser,” ujar Yogisvara Jatmika, warga Bandung. Saat pulang dari Now Playing Fest 2022 harus menghabiskan waktu sampai dua jam dari lokasi konser di lapangan Brigif Cimahi ke jalan raya yang hanya berjarak dua kilometer. “Jalannya emang kecil, pas buat dua mobil aja. Terus sekelilingnya komplek perumahan tentara,” ujarnya.
Warisan tata kota zaman kolonial membuat ruang-ruang publik seperti stadion, gedung olahraga, atau lapangan untuk venue konser berskala besar ada di wilayah yang relatif mudah dijangkau. Sebut saja GOR Saparua, Sabuga, Stadion Siliwangi, atau Lapangan Gasibu yang ada di pusat kota. Keberadaan instalasi militer juga memberikan pilihan venue untuk penyelenggaraan konser musik, seperti lapangan Secapa di Hegarmanah, lapangan Pusenif, sampai lapangan Brigif yang ada di Cimahi. Hal ini juga tidak lepas dari sejarah Bandung yang dirancang sebagai salah satu pusat militer pemerintah Hindia Belanda. Namun aspek kelayakannya jadi perkara lain. “Di Kota Bandung kalau untuk konser skala besar bisa dibilang venue yang ada ya tidak layak lagi. Jadi kalau untuk pertunjukan musik yang penontonnya masif sekarang bergeser ke wilayah sekitar seperti Cimahi,” jelas Idhar Resmadi, dosen Fakultas Industri Kreatif Telkom University.
Ia menjelaskan, venue-venue yang ada di Kota Bandung sejauh ini lebih layak untuk menggelar pertunjukan skala kecil hingga menengah seperti bar dan café juga bangunan-bangunan bekas area pergudangan seperti Laswi Heritage. “Dengan kondisi seperti ini penyelenggara pertunjukan musik seharusnya membuat semacam studi kelayakan untuk menentukan venue pertunjukan,” kata Idhar.
“Kalau kasus di JIS, penyediaan akses jalan dan transportasi memang ada di pemerintah. Tapi dengan kondisi demikian ya promotor atau EO juga jangan serakah,” kata Idhar
Menurut Idhar, lanskap industri pertunjukan dibangun dari empat elemen. Pertama dari pertunjukannya itu sendiri, kedua dari fasilitas pendukung pertunjukan dari aspek produksi sampai lokasi acara, ketiga akses, dan keempat kelembagaan. “Kelembagaan ini terakit pembagian tanggung jawab masing-masing pihak yang terlibat dalam bisnis pertunjukan,” ujarnya. Dalam hal penyelenggaraan konser di venue yang dikelola olah pemerintah, seperti konser Dewa di JIS misalnya, aspek kelembagaan ini dapat mengurai porsi tanggung jawab masing-masing pihak. “Kalau kasus di JIS, penyediaan akses jalan dan transportasi memang ada di pemerintah. Tapi dengan kondisi demikian ya promotor atau EO juga jangan serakah,” kata Idhar. Menurutnya, beberapa pertimbangan seperti fasilitas, akses, serta ketersediaan transportasi umum seharusnya dikaji terlebih dahulu oleh penyelenggara. Pun dengan pemerintah sebagai pihak yang berwenang dalam mengeluarkan izin. “Kalau kasus di Bandung ya harusnya ada clustering untuk mengklasifikasikan venue. Dari tingkat kecil, sedang, sampai besar,”paparnya.
Setelah pandemi menunjukkan tanda-tanda berakhir, pasar showbiz menunjukkan pertumbuhan pesat. “Festival besar dulu bisa kita hitung tapi sekarang hampir tiap minggu ada festival. Sayangnya belum didukung fasilitas yang secara kuantitas dan kualitas layak,” ujar Dino Hamid. Di lain sisi, mewujudkan venue yang layak untuk menampung kebutuhan untuk pertunjukan musik dan dalam lingkup yang lebih luas juga aktivitas publik lainnya bukan perkara gampang.
Salah satunya faktor ketersediaan lahan yang semakin terbatas. “Untuk menyediakan lahan sebesar itu tantangannya cukup besar dengan kondisi yang semakin padat,” kata Dino. Ia menjelaskan, pilihannya adalah wilayah-wilayah sub-urban yang luas lahannya masih memungkinkan. “Tentu harus mempertimbangkan potensi wilayah tersebut apakah akan berkembang sejauh mana,”ujarnya. Jelas ini memerlukan waktu yang tidak sebentar, sementara pasar terus bertumbuh. Lalu bagaimana pelaku pertunjukan musik bersiasat?
Idhar Resmadi mengungkapkan prioritas utama pertunjukan musik adalah pada konsumen. “Orientasinya ada pada keamanan, kenyamanan, dan kemudahan buat konsumen. Dari tiga itu yang paling penting aman buat penonton dulu,” ujarnya. Peristiwa “Sabtu Kelabu” yang mengakibatkan 11 orang meninggal dunia di Gedung Asia Africa Cultural Center (AACC) saat konser band cadas Beside pada tahun 2008 silam seharusnya jadi pelajaran penting agar tak lagi terulang. “Konser Beside itu lokasinya di tengah kota, fasilitas juga memadai, tapi pengunjungnya membeludak. Harusnya prioritas keamanan penonton jadi patokan strategi buat pengembangan industrinya,” kata Idhar. “Kalau sound jelek mungkin masih bisa dimaklumi, tapi kalau sampai nyawa hilang bagaimana?”
Senada dengan Idhar, Dino juga mengungkapkan pentingnya memprioritaskan penonton. “Penonton kita, audiens kita itu ya customer kita,” ungkapnya. Ia menjelaskan aspek crowd management menunjukkan sejauh mana kualitas dan kapabilitas penyelenggara pertunjukan musik. “Kehadiran dan kepulangan penonton itu harus diperhatikan,” ungkapnya. Pada bulan September 2022 lalu, Dino menggelar konser kelompok musik Korea di JIS. “Skalanya memang lebih kecil dari konser Dewa kemarin, hanya sembilan ribu penonton,” terangnya. Dari perhitungan Dino, fans K-Pop mayoritas datang ke JIS dengan menggunakan kendaraan umum sehingga ia harus mengatur rundown konser agar selesai jauh sebelum kendaraan umum berhenti beroperasi. “. Kalau kita nggak mikirin hal itu nanti mereka pulang nggak ada kendaraan bisa ada potensi chaos. Itu hal kecil tapi krusial,” ujar Dino.
Setelah nyatis luluh lantak dihajar pandemi, saat speaker mulai menyalak dan lampu mulai terang, tragedi di lapangan sepakbola seperti sebuah tanda bahaya yang kembali menyala. Masih pula ditambah dengan berbagai cerita kericuhan dan kegagalan pertunjukan musik dengan berbagai sebab. Namun semua itu pelan-pelan berhasil dilewati. Panggung-panggung pertunjukan musik kembali menemukan momentumnya. Momentum yang harus dijaga bersama agar speaker tetap bisa menyalak di level paling kencang dan lampu panggung menyala di titik paling terang.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
5 Kolaborasi yang Wajib Disimak di Jazz Goes to Campus 2024
Jazz Goes to Campus akan digelar hari Minggu (17/11) di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Tahun 2024 merupakan pergelaran ke-47 festival tahunan ini. View this post on Instagram A post …
Antara Musik, Visual, dan Sekitarnya (oleh: Sari, Rio, John, Mela, Ricky, Saleh WSATCC)
White Shoes & The Couples Company (WSATCC) dibentuk pada 2002 di kampus Institut Kesenian Jakarta di wilayah Cikini, Jakarta Pusat. Sari, Rio, Saleh menempuh studi di jurusan Seni Rupa dan Desain, sedangkan Ricky, Mela, …