Musik dan Kearifan Lokal terhadap Disrupsi Kecerdasan Buatan

Oct 5, 2023

Eksistensi kecerdasan buatan (Artificial intelligence atau AI) tak terelakkan. AI menjadi salah satu tantangan besar yang harus dihadapi di semua sektor kehidupan manusia di era kiwari, tak terkecuali di dunia musik, terutama musisi. Pembuat kebijakan perlu segera merancang strategi dan melakukan tindakan riil untuk menyikapi keberadaan AI agar tidak muncul potensi masalah yang berbahaya.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kecerdasan buatan (AI) dideskripsikan sebagai program komputer dalam meniru kecerdasan manusia, seperti mengambil keputusan, menyediakan dasar penalaran, dan karakteristik yang umumnya dimiliki oleh manusia.

Di dalam pengembangan AI, kita mengenal satu bidang yang bernama machine learning (pembelajaran mesin). Machine learning memberi komputer kemampuan untuk belajar sendiri tanpa diprogram oleh manusia. Machine learning memiliki beberapa metode di antaranya supervised learning, unsupervised learning, reinforcement learning, deep learning (yang di dalamnya ada metode yang dikenal dengan generative AI), serta knowledge graph.

Terkait musik, ada baiknya kita fokus membahas mengenai deep learning dan generative AI, karena metode inilah yang melakukan disrupsi dan menjungkirbalikkan praktik berkesenian serta menggemparkan dunia saat ini.

Terkait seni terutama musik, ada baiknya kita fokus membahas mengenai deep learning dan generative AI, karena metode inilah yang melakukan disrupsi dan menjungkirbalikkan praktik berkesenian serta menggemparkan dunia saat ini.

Deep learning adalah metode AI yang mengajarkan komputer untuk memproses data dengan cara yang terinspirasi oleh otak manusia. Deep learning dapat mengenali pola yang kompleks dalam gambar, teks, suara, dan data lainnya untuk menghasilkan prediksi yang akurat.

Generative AI (AI generatif) adalah bagian dari metode deep learning yang sanggup menghasilkan konten-konten baru seperti gambar, video, musik, atau teks, berdasarkan pola dan contoh yang diberikan selama fase pelatihan. Model AI inilah yang saat ini sedang mengguncang dunia melalui program seperti ChatGPT dan Dall-E yang dibuat oleh perusahaan OpenAI.

Generative AI (AI generatif) adalah bagian dari metode deep learning yang sanggup menghasilkan konten-konten baru seperti gambar, video, musik, atau teks, berdasarkan pola dan contoh yang diberikan selama fase pelatihan.

 

Dataset dan Masalah generative AI

Mengutip KBBI sekali lagi, data adalah informasi dalam bentuk yang dapat diproses oleh komputer, seperti representasi digital dari teks, angka, gambar grafis, atau suara. Generative AI mampu menghasilkan gambar dari objek yang tidak ada, atau menghasilkan komposisi musik baru dengan melakukan analisis dan memahami pola melalui data pelatihan untuk kemudian meniru, mengambil, bahkan menggabungkan gaya dan karakteristik dari satu atau berbagai seniman.

Hal inilah yang kemudian menjadi masalah karena karya-karya yang “dihasilkan” generative AI tidak memedulikan kaidah-kaidah kemanusiaan yang berlaku.

Masalah-masalah tersebut di antaranya adalah tidak adanya kontrol. Model AI Generatif mungkin menghasilkan output yang tidak terduga atau tidak diinginkan, sehingga sulit untuk mengontrol konten yang dihasilkan. Selain itu model AI Generatif dapat mempertahankan bias dan prasangka yang ada dalam data pelatihan–bias ini tergantung pada paradigma manusia yang melatihnya–serta rentan menghasilkan output diskriminatif atau berbahaya.

Hal inilah yang kemudian menjadi masalah karena karya-karya yang “dihasilkan” generative AI tidak memedulikan kaidah-kaidah kemanusiaan yang berlaku.

Kemudian masalah etika. Penggunaan AI generatif menimbulkan kekhawatiran terkait etika karena rentan memberikan informasi yang menyesatkan seperti deep fakes, dan berpotensi digunakan untuk hal-hal yang tidak diinginkan. Keberadaan AI di dunia musik juga mengobrak-abrik aturan tentang hak kekayaan intelektual, ini karena AI generatif dapat melanggar hak kekayaan intelektual saat menghasilkan konten yang menjiplak atau mereplikasi materi berhak cipta.

Masalah lainnya adalah ihwal Ketidaktransparanan. Cara kerja model AI generatif yang menyimulasi otak manusia (neural networks) sangat kompleks dan sulit untuk diatur parameternya, menyebabkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas.

 

Kearifan Lokal

Tradisi Mekare-Kare (Perang Pandan) merupakan ritus tahunan yang berlangsung setiap Sasih Kelima dalam kalender tradisional desa adat Tenganan Pegringsingan di Bali (atau di bulan Juni-Juli dalam kalender masehi). Pada tradisi perang pandan ini, musik berupa iringan gamelan bale ganjur khas desa Tenganan Pegringsingan hadir sebagai determinan spiritual. (Aryandari, 2009).

Keberadaan AI di dunia musik juga mengobrak-abrik aturan tentang hak kekayaan intelektual, ini karena AI generatif dapat melanggar hak kekayaan intelektual saat menghasilkan konten yang menjiplak atau mereplikasi materi berhak cipta.

Ada maupun tidak ada turis baik domestik atau mancanegara yang hadir, tradisi mekare-kare tetap secara konsisten diadakan karena ini merupakan kearifan lokal masyarakat adat Tenganan yang sudah berlangsung turun temurun selama berabad-abad.

Gamelan bale ganjur sendiri merupakan sebuah perangkat musik yang dianggap sakral. Biasanya di luar upacara mekare-kare, instrumen-instrumen gamelan bale ganjur disimpan di sebuah tempat bernama banjar pande. Set gamelan ini tidak boleh dimainkan–atau bahkan dipegang–oleh sembarang orang. Hanya para pengrawit khusus yang boleh merawat, kemudian memainkan gamelan ini saat upacara perang pandan berlangsung.

Gamelan bale ganjur dan upacara mekare-kare di Bali hanya salah satu contoh. Tentunya masih banyak musik dan kearifan lokal lainnya di berbagai daerah di seluruh penjuru nusantara yang memiliki nilai kesakralan khusus bagi masyarakat pemiliknya. Kecerdasan buatan dan bias serta prasangka dalam metode AI generatifnya dikhawatirkan akan menghilangkan kearifan lokal ini, karena AI hanya berpikir dengan logika yang disuntikkan padanya, dan tidak memiliki “rasa” atau emosi tentang adanya kearifan lokal. 

Selain itu, masalah lainnya adalah manusia–atau sekelompok manusia–yang melakukan pengaturan, pelatihan, serta menganalisis data tidak memiliki sensitivitas budaya dan tradisi lokal. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang dengan latar belakang teknis serta memiliki nilai-nilai (value) yang berbeda, sehingga mereka tidak paham mengenai kebijakan dan kearifan lokal serta abai akan perspektif kultural.

Di sini peran pemerintah atau pembuat kebijakan sangat vital. Mereka harus membuat strategi agar musik atau kearifan lokal tidak tergerus atau rusak karena bias dan prasangka AI.

 

UU Pemajuan Kebudayaan

Pembuat kebijakan sebenarnya sudah memiliki perangkat untuk melindungi dan mengembangkan kearifan lokal, yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. UU Pemajuan Kebudayaan mengakui dan menghargai keragaman budaya Indonesia, menempatkan masyarakat sebagai pemilik dan penggerak kebudayaan, serta menempatkan kebudayaan sebagai haluan pembangunan nasional.

UU Pemajuan Kebudayaan menggariskan empat langkah strategis dalam memajukan kebudayaan: perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan.

Empat langkah strategis tersebut sebenarnya sudah bisa menjadi payung hukum bagi pengambil kebijakan dalam menyikapi disrupsi yang ditimbulkan kecerdasan buatan. Alih-alih mematikan kearifan lokal, AI seyogianya dapat dimanfaatkan untuk melindungi, mengembangkan, memanfaatkan, dan membina keberadaan budaya dan tradisi kita.

Contohnya adalah bagaimana AI bisa digunakan untuk generate (menciptakan) sebuah karya musik yang menggunakan instrumen Nusantara. AI berperan mengkomposisi bangunan musiknya. Namun, ihwal kearifan lokal yang termaktub di dalamnya tak boleh dilupakan, dilepaskan, dan dihilangkan.

Kehadiran AI bukanlah ancaman. Justru AI akan menjadi piranti yang sangat penting dalam melestarikan (preserving) dan mengembangkan (developing) kebudayaan dan kearifan lokal khas Nusantara.

Dengan melihat dan meninjau kembali tradisi budaya kita, ada potensi untuk menyikapi disrupsi AI berasaskan etika Nusantara. Manusia Indonesia harus mawas diri dan sadar mengenai budaya ini. Maka, kita bisa menyikapi disrupsi teknologi dengan batas-batas tertentu sesuai norma tradisi yang ada.

 

Penulis: Iman Fattah – Komite musik, Dewan kesenian Jakarta.

Rekan penulis: Aris Setyawan – Etnomusikolog, penulis lepas dan peneliti musik.

Ilustrasi: Fahrul Hidayat.




Penulis
Iman Fattah
CEO and founder of Alun. Komite musik, Dewan kesenian Jakarta.

Eksplor konten lain Pophariini

Fraksi Penemu Sepeda Bercerita tentang Hobi di Single Gocapan

Setelah merilis single “Olahgaya” 2023 lalu, Fraksi Penemu Sepeda asal Bogor resmi meluncurkan karya terbaru berupa single dalam tajuk “Gocapan” hari Rabu (23/10). Lagu ini menceritakan serunya pengalaman bersepeda sambil mencari sarapan pagi.   …

Beltigs Asal Bandung Menandai Kemunculan Lewat Single Pelican Cove

Bandung kembali melahirkan band baru yang menamakan diri mereka Beltigs. Band ini menandai kemunculan mereka dengan menghadirkan single perdana “Pelican Cove” hari Kamis (07/11).     Beltigs beranggotakan Naufal ‘Domon’ Azhari (gitar), Ferdy Destrian …