Musik Eksperimental Indonesia: Akankah Bermuara?

Sep 4, 2020

Berbicara musik eksperimental di Indonesia, referensi yang mungkin dijadikan bahan acuan akan terpaku pada dua nama: Harry Roesli dan Guruh Gipsy. Tidak bisa dielakkan bahwa merekalah yang berani memulai untuk membikin sebuah karya musik dengan durasi panjang dan terbagi ke dalam beberapa sesi permainan dengan menggunakan instrumen musik berbeda dan bahkan tak lazim digunakan di lagu-lagu secara umum.

Selain itu, kedua nama ini adalah orang yang sangat berani melakukan hal yang tak lazim dilakukan musisi di era analog. Saat itu teknologi masih sangat terbatas sehingga hampir tidak mungkin kalau bisa membikin karya yang serba “wah”. Rasanya, kita harus berterimakasih kepada Harry Roesli dan Guruh Gipsy yang telah berjasa memberikan kita pengalaman baru dalam menikmati musik.

Tanggal 12 Maret kemarin, album masterpiece Harry Roesli berjudul Titik Api resmi dirilis ulang untuk pertama kali dalam bentuk piringan hitam 12 inci di bawah naungan Lamunai Records. Ini merupakan akhir dari trilogi album awal Harry Roesli (Philosophy Gang, Titik Api, dan Ken Arok) yang dirilis kembali dalam format piringan hitam oleh label yang sama pula. Trilogi album awal Harry Roesli yang rilis pada medio pertengahan era 70’an ini memang merupakan sebuah fenomena. Selain karena dirilis oleh label independen yang saat ini sudah tidak eksis lagi, ketiga album ini adalah cikal bakal dari perkembangan musik eksperimental di Indonesia yang sampai hari ini sulit (bahkan tidak bisa) ditemukan tandingannya. Tentunya, bagi para kolektor piringan hitam, sudah menjadi ‘kewajiban’ untuk memiliki album Titik Api dalam bentuk piringan hitam. Karena –mau tidak mau– ini akan kembali mengulang formula yang sama: rare and collectable items!

Sampul piringan hitam Harry Roesli Titik Hitam rilisan Lamunai records, 2020 / Foto: harryroesligang.bandcamp.com

Bagi saya, eksperimentasi yang dilakukan Harry Roesli maupun Guruh Gipsy boleh jadi lahir dan berkembang di saat yang tepat. Lahir di saat yang tepat karena saya yakin kedua nama ini paham betul apa yang seharusnya menjadi aset bangsa Indonesia, yaitu sebuah mahakarya yang terdengar sangat membawa entitas negara Indonesia: menggabungkan musik tradisional dengan musik modern. Terlepas dari sifat close-minded sebagian besar masyarakat Indonesia era 70’an yang hanya ingin termanjakan oleh lagu-lagu pop melayu, baik Harry Roesli maupun Guruh Gipsy punya cara tersendiri untuk memandang akan seperti apa masa depan Indonesia (coba dengarkan lirik Indonesia Maharddika dari Guruh Gipsy yang mencoba menggambarkan masa depan Indonesia yang cerah dan gemilang).

Harry Roesli dan Guruh Gipsy berani memulai sebuah Karya musik dengan durasi panjang dengan menggunakan instrumen musik berbeda dan bahkan tak lazim

Dan ternyata, kalimat masa depan Indonesia yang cerah dan gemilang itu nampaknya memang perlahan mulai terbukti adanya. Satu persatu bakat menakjubkan bermunculan, berkembang, dan mendapat apresiasi mengesankan. Dalam konteks musik eksperimental, mulai terlihat bibit-bibit baru yang siap untuk menggebrak Indonesia, bahkan dunia. Karenanya, hal ini berimbas kepada karya-karya seperti Harry Roesli dan Guruh Gipsy yang saat ini berkembang cukup pesat di kalangan anak muda. Banyak anak muda memuja-muja karya mereka dengan membeli rilisan fisiknya (kaset dan piringan hitam) yang semakin hari semakin susah dicari dan semakin diberi harga mahal. Meskipun di era awal perilisannya kurang mendapat sambutan yang kurang baik, tapi saya pikir karya Harry Roesli maupun Guruh Gipsy perlahan bisa survive di era industri 4.0 ini. Terutama dengan bantuan dari para anak muda kekinian (hipster).

Guruh Gypsy / gambar: dennysakrie63.wordpress.com

Di era sekarang, tumbuh beberapa band eksperimental dari berbagai daerah di Indonesia. Sebut saja Bottlesmoker dari Bandung, Gabber Modus Operandi dari Bali, atau Senyawa dari Yogyakarta. Terkecuali Bottlesmoker, Gabber Modus Operandi dan Senyawa lahir dan berkembang di daerah yang tidak terlalu padat penduduk dan menjadi tujuan sebagian besar warga metropolitan untuk sekedar refreshing ataupun berlibur. Dan di kedua daerah tersebut, seni masih bisa diapresiasi dan dihayati secara mendalam oleh para pelakunya. Jika ditelisik dari domisili mereka berasal, bukan hal yang mengagetkan memang sebagaimana yang saya jelaskan di kalimat sebelumnya. Tapi kalau ditelisik bagaimana mereka bisa mendapat apresiasi besar-besaran dan tempat istimewa oleh masyarakat luar negeri, itu baru hal mengejutkan.

Duo Senyawa / foto: gigsplay.com

Gabber Modus Operandi / foto: daily.bandcamp.comHal senada pun diamini Anggung dan Nobie, personil Bottlesmoker. Ditemui di studio Bottlesmoker di kawasan Jalan Tirtayasa 45, Bandung (1/9), duo yang baru saja mengadakan konser bertajuk Plantasia pada Agustus kemarin menjelaskan bahwa Bottlesmoker malah mendapatkan apresiasi cukup mendalam ketika bermain di Yogyakarta dibandingkan di kota asalnya sendiri. “Kita pertama kali manggung keluar kota tuh di Jogja. Ranah musik eksperimental tuh justru lebih banyak dikenalkan di sana (Yogyakarta) ke orang-orangnya dan scene-nya. Sampai sekarangpun Jogja udah hampir kaya rumah kedua, sih. Dari antusiasme audience aja, kalau sama media ditanya ‘Sebenarnya kalau penonton yang seru kalau di mana sih di Indonesia tuh?’, ‘Di Jogja’.” ungkap Nobie sembari tertawa. “Kalau di statistiknya ya setahun pasti lebih banyak di Jogja mainnya daripada di Bandung”, sambung Anggung. “Paling tinggi tuh 2019 kemarin, kita ke Jogja ada tujuh kali. Di Bandung cuma dua kali.” ungkap Nobie lagi.

Duo Bottlesmoker, Angkuy dan Nobie / Foto: bottlesmoker.bandcamp.com

Bottlesmoker kerap beberapa kali bertandang ke beberapa negara di Asia maupun Mancanegara seperti Singapore, China, Thailand, bahkan hingga menembus salah satu festival di United Kingdom sekalipun. Bulan April hingga Mei kemarin, rencananya Gabber Modus Operandi akan bertandang ke beberapa negara di Eropa seperti United Kingdom (London), Perancis, Belgia, dan Belanda, namun mau tidak mau harus tertunda karena pandemi COVID-19. Sedangkan Senyawa beberapa kali tampil di Eropa dan Australia. Mereka membawa “musik kuda lumping” yang sejatinya menjadi sajian hangat di kampung-kampung begitu mendunia. Membanggakan sekaligus menyedihkan, bukan?

Kita sudah seharusnya berbangga dengan musik asli Indonesia yang go-international, tapi kita juga harus merenung sekaligus bertanya pada hati nurani kita sendiri, sudahkah kita mengapresiasinya dengan baik? Suatu hal yang tentunya menyedihkan kalau musik eksperimental Indonesia lebih diapresiasi dan dikembangkan masyarakat luar negeri dibanding masyarakat kita sendiri.

Jadi, apakah musik eksperimental di Indonesia akan bermuara dengan mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia? Jawabnya tentu kembali lagi pada diri kita sendiri. Tapi, satu hal yang pasti, musik eksperimental mampu memberi ruang sekaligus pengalaman baru untuk kita dalam menikmati musik. Sepercik tamasya untuk kita refreshing dari musik yang begitu-begitu saja bahkan cenderung flat.

 

____

Penulis
Abie Ramadhan
Lulusan Ilmu Komunikasi, Pecandu black music, senang travelling dan main piano.

Eksplor konten lain Pophariini

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …

CARAKA Suarakan Berbagai Emosi di Album Terbaru NALURI

Unit pop asal Tegal, CARAKA resmi luncurkan album bertajuk NALURI (15/12). Melalui sesi wawancara yang berlangsung pada Senin (16/12), CARAKA membagikan perjalanan band dan hal yang melatarbelakangi rilisan terbarunya.     CARAKA merupakan band …