Musik Jogja Dulu Hingga Kini: Istimewa, Beragam, dan Srawung
Memperbincangkan geliat musik di wilayah Jogja sejak dulu hingga kini rasanya mustahil untuk diceritakan dalam hanya satu buah artikel. Jika diminta untuk mendeskripsikan segala sesuatu yang berhubungan dengan musik di Jogja hanya dalam tiga kata, maka tiga kata teratas yang terlintas di benak saya yakni ‘istimewa’, ‘beragam’, dan ‘srawung’.
Perlu diingat, temuan-temuan dari berbagai sumber yang saya coba tulis di bawah ini hanya sebagai gambaran sekaligus pengantar singkat sebelum berbicara hal-hal yang lebih spesifik tentang kabar skena musik Jogja hari ini di artikel-artikel selanjutnya.
Sebagai seorang perantau yang datang dari kota kecil di ujung pesisir selatan pulau Jawa, bisa tinggal di Jogja selama lebih dari satu dekade merupakan suatu privilege bagi saya. Dari segi geografis saja, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah termasuk istimewa karena berbatasan dengan Samudera Indonesia di sebelah Selatan, gunung Merapi di sebelah Utara, Sungai Progo di sebelah barat, dan Sungai Opak di sebelah timur.
Perlu diingat, temuan-temuan dari berbagai sumber yang saya coba tulis di bawah ini hanya sebagai gambaran sekaligus pengantar singkat sebelum berbicara hal-hal yang lebih spesifik tentang kabar skena musik Jogja hari ini di artikel-artikel selanjutnya
Bayangkan saja, jika sedang penat dan butuh tempat “healing”, ada begitu banyak opsi yang bisa dipilih oleh warga yang tinggal di wilayah DIY. Mulai dari opsi destinasi bernuansa alam seperti gunung, sungai, dan pantai, hingga destinasi berbau budaya seperti candi dan museum, semuanya masih bisa ditempuh dalam jangkauan yang tidak terlalu jauh.
Jogja juga dikenal punya banyak julukan. Mulai dari kota gudeg, kota pelajar, kota wisata, kota seni dan budaya, kota seniman, kota komunitas, hingga julukan “Indonesia mini” kerap disematkan pada wilayah ini. Berkat keberadaan muda-mudi lintas daerah ini, perkembangan kultur seni di Jogja pun makin istimewa sekaligus beragam. Tak heran jika banyak seniman dari berbagai bidang yang lahir di wilayah ini, mulai dari perupa, aktor/aktris, penari, hingga musisi.
Keistimewaan dan diversitas musik-musik di Jogja sebenarnya sudah dapat kita temukan sejak dulu. Namun, akibat kurangnya “kesempatan” yang kerap dialami oleh musisi di Jogja era 80-90an, banyak nama yang cukup tenggelam di bawah radar. Rolland jadi nama pertama yang layak disebut. Band yang lahir pada 1984 ini pernah beraksi di panggung rock ibu kota dalam festival heavy metal yang diadakan oleh majalah Vista di Jakarta pada tahun 1986. Rolland kerap disebut sebagai pemicu band-band Jogja lain untuk bertempur di ajang nasional.
Keistimewaan dan diversitas musik-musik di Jogja sebenarnya sudah dapat kita temukan sejak dulu. Namun, akibat kurangnya “kesempatan” yang kerap dialami oleh musisi di Jogja era 80-90an, banyak nama yang cukup tenggelam di bawah radar. Band, Rolland jadi nama pertama yang layak disebut
Pada awal 90an, ketika musik rock dalam negeri didominasi oleh musisi jebolan label dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya, ternyata ada band-band dari Jogja yang sempat menorehkan namanya di ajang Festival Rock se-Indonesia yang digelar oleh promotor Log Zhelebour. Sebut saja Partha Putri, grup band cewek berstatus mahasiswi yang pernah menembus sebagai finalis Festival Rock se-Indonesia V pada tahun 1989 dan juga band Cassanova yang berhasil menggondol Juara II Festival Rock se-Indonesia VII pada tahun 1993. Selain itu, band Yogya Rock Power, Zone 11, CCB, Ambisi, dan Thoraq juga pernah aktif jadi bagian dari dinamika musik rock di Jogja era 80an.
Aliran thrash metal dan death metal Jogja menemukan masa keemasannya di rentang waktu tahun 1990-1994. Sebut saja band Traxtor, Reaktor, Cremation, Speed Ranger, dan Depranter yang awalnya hanya proyek band iseng dari sekumpulan pelajar SMP tetapi berhasil menjuarai Thrash Metal Competition tahun 1992. Geliat musik hip hop di Jogja juga mulai terasa pada awal 90an dengan kontribusi unik G-Tribe yang mengusung lirik berbahasa Jawa di album Pesta Rap 1 rilisan Musica Studios tahun 1995.
Di sisi lain, alm. Djaduk Ferianto, Butet Kartaredjasa, dan Purwanto turut menambah keragaman musik di Jogja pada tahun 1995 dengan mendirikan kelompok seni Kua Etnika. Kelompok ini melakukan penggalian musik etnik yang diolah dengan sentuhan modern. Jika menelusuri lebih jauh lagi soal perkembangan musik kontemporer, sang legenda alm. Sapto Raharjo juga telah membuat sebuah movementdengan pendekatan eksperimental yang populer lewat gamelannya sejak awal 90an.
Di sisi lain, alm. Djaduk Ferianto, Butet Kartaredjasa, dan Purwanto turut menambah keragaman musik di Jogja pada tahun 1995 dengan mendirikan kelompok seni Kua Etnika
Memasuki era pertengahan 90an hingga awal 2000-an, gaung “Jogja Invasion” makin kencang menembus industri musik nusantara. Jika Jakarta punya Gang Potlot, Jogja punya Gang Alamanda sebagai tempat lahirnya banyak musisi. Banyak band yang merekam demonya di Studio Alamanda sebelum coba-coba menembus label rekaman di Jakarta. Band jebolan Gang Alamanda di antaranya Sheila On 7, The Rain, Es Nanas, Jikustik, Newdays, LaQuena, dan Endank Soekamti.
Pergerakan musik sidestream dan jalur non-label mayor di Jogja kala itu juga sayang untuk dilewatkan. Banyak band yang berjuang dengan semangat DIY (Do It Yourself). Mereka yang berangkat dari sekolah, kampus, komunitas, maupun kolektif berusaha sekeras mungkin untuk bisa memproduksi musik sendiri. Saya yakin kita kerap mendengar atau bahkan mengalami sendiri situasi ketika semakin kepepet keadaan seseorang, maka bakal semakin kreatif pula upaya yang dapat dilakukan orang itu. Sebagai contoh, rilisan debut album Shaggydog pada tahun 1998 berhasil terjual sampai 20.000 kopi dengan usaha independen mereka sendiri kala itu tanpa dukungan yang bersifat mayor.
Memasuki era pertengahan 90an hingga awal 2000-an, gaung “Jogja Invasion” makin kencang menembus industri musik nusantara. Jika Jakarta punya Gang Potlot, Jogja punya Gang Alamanda sebagai tempat lahirnya banyak musisi
Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi, rasanya batas-batas ke-underground-an itu mulai memudar. Akibat pergeseran platform dengar dari analog ke digital, setiap pencipta karya akhirnya dapat memiliki kesempatan yang sama dalam memproduksi karya dan berlaga di arena yang sama dalam mempublikasikan karyanya untuk sampai ke pendengar.
Sekitar 2009-2014, tahun-tahun awal kedatangan saya di Jogja yang saat itu masih sangat awam dengan skena musik di sini, tiba-tiba saya merasa girang saat menemukan beberapa proyek musik yang juga lahir di Jogja berikut ini lewat radio dan platform Soundcloud, di antaranya Aurette and The Polska Seeking Carnival (AATPSC), Olski, Answer Sheet, Frau, Risky Summerbee and The Honeythief (RSTH), dan The Monophones. Rasanya seperti menemukan harta karun di tengah gempuran musik-musik yang sering muncul di acara TV kala itu.
Keistimewaan dan diversitas di skena musik Jogja tak hanya datang dari pelaku proyek musik saja, tetapi juga datang dari berbagai komunitas, kolektif, hingga tempat-tempat tongkrongan yang berani menyediakan ruang-ruang pertunjukan musik dalam skala kecil secara mandiri dengan segala keterbatasannya, mulai dari sewa tempat, alat, hingga media promosi lewat media sosial. Di gigs kecil-kecilan itulah biasanya regenerasi pelaku musik kerap ditemukan. Dari ruang-ruang itu juga akhirnya saya bisa mengenal dan merasakan secara langsung betapa kentalnya budaya ‘srawung’ di skena musik Jogja, baik antara penggiat maupun penikmat, semua saling support.
Di gigs kecil-kecilan itulah biasanya regenerasi pelaku musik kerap ditemukan. Dari ruang-ruang itu juga akhirnya saya bisa mengenal dan merasakan secara langsung betapa kentalnya budaya ‘srawung’ di skena musik Jogja, baik antara penggiat maupun penikmat, semua saling support
Srawung merupakan sebuah istilah Jawa yang mengandung arti kumpul atau pertemuan yang dilakukan lebih dari satu orang atau kelompok. Dalam tradisi masyarakat pedesaan, istilah ‘srawung’ sudah akrab di telinga mereka karena hal itu merupakan media untuk saling bercerita tentang realitas kehidupan. Srawung juga diartikan sebagai kontak sosial, di mana satu sama lain bertemu, saling sapa dan ngobrol bareng dengan waktu yang tidak sebentar dalam suasana keakraban di dalamnya. Tidak hanya itu, ‘srawung’ dimaknai sebagai pertemuan antara satu dengan yang lain hingga muncul rasa, belajar, dan mencari inspirasi dari orang lain, sehingga semua hal akan dibicarakan di situ, dari hal-hal remeh, perbincangan soal hobi, isu-isu aktual di Indonesia, hingga bahasan serius macam program-program kegiatan tentang lingkungan hidup maupun aksi sosial kemanusiaan.
Salah satu contoh gigs yang sempat hits di kalangan muda-mudi “indie” pada masanya yaitu ‘Lelagu’, sebuah acara musik akustik dan seni rupa di Kedai Kebun Forum yang telah berlangsung sejak Mei 2013. Hampir tiap bulannya, mereka menantang band-band Jogja berbagai aliran dari pop, folk, rock, hingga punk dan eksperimental untuk menampilkan lagu-lagunya dalam format akustik. Lelagu juga jadi wadah eksplorasi seniman-seniman muda yang menyajikan seni visual dalam logika pertunjukan. Sayangnya, Lelagu hanya bertahan hingga tahun 2016.
Syukurlah makin tahun ekosistem antar musisi, komunitas, kolektif, dan penikmat musik di Jogja bisa dibilang makin dinamis. Sebelum pandemi melanda, hampir setiap akhir pekan bisa dipastikan ada acara-acara berbau seni di Jogja, mulai dari pertunjukan musik, pameran seni rupa, pentas teater, screening film, dan masih banyak lagi.
Contoh kolektif yang sering bikin gigs, sebut saja YK Booking, Kongsi Jahat Syndicate, Terror Weekend, Sekutu Imajiner, Ruang Gulma. Ada juga komunitas yang rutin bikin acara mingguan hingga bulanan. Contohnya, Komunitas Jazz Jogja dengan Jazz Mben Senen-nya, Jogja Blues Forum dengan Blues On Friday-nya, dan masih banyak lagi
Penyedia wadah-wadah untuk para talenta baru menampilkan karyanya makin banyak. Contoh kolektif yang sering bikin gigs, sebut saja YK Booking, Kongsi Jahat Syndicate, Terror Weekend, Sekutu Imajiner, Ruang Gulma. Ada juga komunitas-komunitas yang rutin bikin acara, mulai dari agenda mingguan hingga bulanan. Contohnya, Komunitas Jazz Jogja dengan Jazz Mben Senen-nya, Jogja Blues Forum dengan Blues On Friday-nya, dan masih banyak lagi. Jogja juga punya warung kopi tongkrongan yang rutin menyediakan ruang untuk regenerasi pelaku musik, contohnya Journey Coffee & Records dengan Laidback Journey-nya dan MOL Event & Space dengan Hearing Session Debarbar-nya.
Meski kawan-kawan pegiat gigs organizer independen ini sempat terdampak, namun sejak pertengahan tahun 2022 hingga kini mereka perlahan kembali rutin mengadakan event. Pasca pandemi, tidak hanya banyak nama musisi atau band baru yang akan kita temukan, tetapi juga nama komunitas, kolektif, dan festival baru.
Proyek musik yang lahir dan bertumbuh di Jogja yang dirasa cukup mencuri perhatian muda-mudi masa kini, antara lain The Melting Minds, LOR, The Kick, The Bunbury, Nood Kink, Circle Fox, Sunlotus. Itu belum semua, masih banyak lagi kawan-kawan musisi lainnya yang belum saya sebutkan. Kolektif dan komunitas baru yang kerap bikin gigs independen juga makin banyak bermunculan, sebut saja Kolektif 37, Kultura Space, Out Of Step, Bertumbuh, Big City Noise Club, Cangkang, Karang Noise, Club Lembah, Klub Hura-Hura, dan masih banyak lagi.
Belum lagi soal festival musik. Belakangan, ada festival musik baru juga di Jogja yang layak mendapat perhatian lebih, namanya Cherrypop Festival. Line up festival ini didominasi oleh proyek-proyek musik asal Jogja. Sungguh suatu konsep yang segar dan sayang untuk dilewatkan. Semoga perkembangan geliat musik di Jogja ini makin jadi istimewa, makin beragam, dan saya harap akan makin srawung satu sama lain.
Penulis: Hanni Prameswari E. Sehari-hari bekerja sebagai Quality Assurance di Stairway Games dan bantu ngadmin di media @musikjogja. Suka berburu rilisan fisik, nonton gigs, dan bikin playlist di platform musik digital terdekat. Instagram @hannimitsurugi Twitter @hannimitsurugi
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …