“Musik Religi: Dulu dan Kini” oleh Armand Maulana
Sudah sejak saya kecil, musik-musik religi Bimbo bisa dikatakan identik dengan bulan Ramadhan. Di radio, televisi (waktu itu baru ada TVRI), dan pusat perbelanjaan (dulu disebut shopping center, bukan mal), lagu-lagu Bimbo berkumandang sebulan penuh selama bulan puasa.
Kenangan tentang lagu religi Bimbo yang begitu melekat membuat GIGI, di awal tahun 2000-an, terpikir untuk membuat sebuah album religi. Pada saat itu Thomas, Hendy, dan saya, yang beragama Islam, bertanya pada Budjana, yang kebetulan beragama Hindu, “Apakah tertarik jika kita membuat album religi bernafaskan Islam?” Jawaban Budjana: Tidak masalah! Karena katanya, waktu awal membentuk GIGI pun, kita semua tidak mempermasalahkan agama masing-masing personil.
Lewat sejumlah proses yang terbilang lancar, lahirlah album religi pertama kami yaitu Raihlah Kemenangan (2004). Sesuai rencana awal, kami memang tidak akan menciptakan lagu, melainkan lebih memilih untuk mengaransemen ulang lagu-lagu legendaris seperti “Tuhan”, “Akhirnya”, dan “Ketika Tangan dan Kaki Berkata”.
Kenangan tentang lagu religi Bimbo yang begitu melekat membuat GIGI, di awal tahun 2000-an, terpikir untuk membuat sebuah album religi.
Saya teringat kejadian lucu saat jumpa pers terkait peluncuran album tersebut. Ada salah satu wartawan bertanya, “Apakah sudah meminta izin dari MUI untuk merilis lagu-lagu religi semacam ini?”.
Sebelum kami menjawab, ternyata ada wartawan lainnya yang menanggapi, “Untuk apa lapor-lapor MUI, memangnya ini tilawatil Qur’an? Ini kan lagu pop yang mengagungkan nama Tuhan”. Kami hanya tersenyum karena kami pikir, jawaban wartawan tersebut sudah mewakili respons kami.
Kesuksesan album religi GIGI sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari ide tur Ngabuburit. Pada masa itu, sebenarnya pertunjukkan musik di kerumunan tidak diperbolehkan pada bulan Ramadhan. Saya ingat pernah ada musik ngabuburit di GOR Saparua, Bandung, tapi itu pun hanya sehari. Kami pikir, kenapa tidak mencoba mengadakannya sebulan penuh?
Saat jumpa pers terkait peluncuran album tersebut. Ada salah satu wartawan bertanya, “Apakah sudah meminta izin dari MUI untuk merilis lagu-lagu religi semacam ini?”
Tentu saja ini ide yang agak “gila”. Namun berkat dukungan sponsor kami dan juga konsep yang terbilang kuat, polisi dan Pemda setempat ternyata memberi izin dan hingga hari ini, konser musik di bulan Ramadhan menjadi diperbolehkan. Sepanjang bulan Ramadhan, GIGI bisa tur ke 24 kota dan bahkan dalam beberapa tur bisa melonjak hingga 35 kota karena sehari kami bisa main hingga dua kali.
Konsep tur Ngabuburit, yang bisa berjalan hingga tiga belas tahun, pada dasarnya sederhana, tapi waktu itu cukup orisinil: GIGI akan membukanya dengan penampilan sekitar tiga lagu, lalu seorang Ustad akan masuk memberikan ceramah, kemudian GIGI akan tampil lagi dengan dua lagu, setelah itu Ustad kembali ceramah dengan personil GIGI tetap di dalamnya untuk berdialog dan berinteraksi.
Penonton umumnya senang dengan konsep ini dan tidak jarang mereka bertanya hal-hal yang menurut kami lucu. Misalnya, “Kang Armand ganteng deh, sudah punya istri belum?” Padahal sudah kami ingatkan, untuk bertanya hal-hal yang berhubungan dengan agama atau semangat Ramadhan saja.
Kesuksesan album religi GIGI sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari ide tur Ngabuburit yang bisa berjalan hingga 13 tahun. Pada dasarnya sederhana, tapi waktu itu cukup orisinil.
Menariknya lagi, istilah ngabuburit ini sebenarnya adalah istilah dalam bahasa Sunda yang diartikan secara sederhana sebagai “menghabiskan waktu sambil menunggu waktu berbuka puasa”. Pada tahun ketiga tur Ngabuburit, di Semarang, kami menemukan spanduk bertuliskan kira-kira: “Ngabuburit bareng band A di mal B”. Artinya, istilah ngabuburit mulai digunakan oleh wilayah yang tidak berbahasa Sunda.
Drumer kami, Hendy, yang merupakan orang Kalimantan, juga bercerita bahwa kata ngabuburit juga sudah digunakan di daerahnya. Bisa diartikan, tur GIGI yang berjalan hingga 13 tahun tersebut juga mempunyai dampak kultural, salah satunya membuat istilah ngabuburit menjadi me-nasional.
Bisa diartikan, tur GIGI yang berjalan hingga 13 tahun tersebut juga mempunyai dampak kultural, salah satunya membuat istilah ngabuburit menjadi me-nasional.
Apakah GIGI adalah pelopor booming-nya musik-musik pop religi? Kami tidak bisa mengatakan demikian, karena album kami pun banyak dipengaruhi oleh lagu-lagu legendaris yang telah populer sebelumnya. Namun kami akui, bahwa setelah tur Ngabuburit tahun ketiga, mulai bermunculan album-album pop religi dari band seperti Ungu atau Wali, yang tentunya juga meraup kesuksesan tersendiri. Aransemennya pun mulai beragam. Lagu-lagu religi tersebut bisa diaransemen dengan gaya rock (seperti yang kami juga lakukan) dan bahkan beberapa di antaranya dengan gaya metal.
GIGI sendiri, saat mengaransemen lagu-lagu religi itu dengan gaya rock yang cukup keras, sama sekali tidak mendapat pertentangan serius. Para ustad di berbagai pesantren yang kami kunjungi rata-rata berterima kasih atas penampilan kami, yang membuat para santri semakin bersemangat mendengarkan lantunan lagu religi sebagai penambah spirit keagamaan mereka.
Apakah GIGI pelopor booming-nya musik pop religi? Kami tidak bisa mengatakan demikian. Namun kami akui, bahwa setelah tur Ngabuburit tahun ketiga, mulai bermunculan album-album pop religi dari band seperti Ungu atau Wali.
Penampilan kami di tur Ngabuburit, terus terang, tidak pernah dibuat “lembut” agar suasana Ramadhan menjadi terkesan syahdu. Interpretasi kami tetap dengan gaya GIGI: bahwa tidak ada salahnya membuat musik religi menjadi keras, agar orang-orang merasakan kegembiraan Ramadhan dan kian menghayatinya sebagai sebuah “kemenangan”.
Musik Religi Kini
Musik pop religi ini menurut saya mengalami penurunan karena peralihan dari bentuk rekaman konvensional fisik ke digital, terlebih lagi streaming. Pada saat zaman kaset misalnya, label bisa mengonsentrasikan pemutarannya di radio, televisi ataupun mal. Bisa jadi selama sebulan penuh, hampir seluruh media massa elektronik memutar lagu yang itu saja. Namun di masa streaming sekarang ini, orang memilih lagunya sendiri. Promosi satu bulan, di masa digital, tidaklah cukup. Untuk satu single saja, bisa jadi rentang promonya mencapai delapan bulan!
Terlebih lagi di masa pandemi, tepatnya dalam dua tahun belakangan ini, tur-tur yang mengundang kerumunan tentu sangat dibatasi dan bahkan tidak diperbolehkan. Di bulan Ramadhan, atau bahkan saat lebaran, kita diminta untuk berdiam di rumah, sehingga musik-musik yang kita dengarkan pun tidak perlu mengikuti apa yang diputar di ruang publik yang biasanya memainkan playlist religi. Bisa dibilang, agak sulit, di masa digital seperti sekarang ini, ketika selera musik sudah bisa menyentuh ke wilayah yang sangat privat dan individual, musik pop religi bisa booming seperti dulu. Hampir tidak mungkin.
Armand Maulana, adalah penyanyi/penulis lagu grup GIGI.
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …