Musisi Baru Harus Baca Ini: Dilema Memilih Manajer Band, Orang Dekat Atau Luar?
Ada sebuah adegan dalam film drama/komedi/petualangan Amerika Serikat tentang jurnalisme musik berjudul, Almost Famous (2000). Kondisinya, band yang menjadi perhatian utama dalam film ini disambangi oleh orang yang ingin menjadi manajer band mereka. Datang dengan arogan, orang tersebut menjabarkan dengan gaya parlente beribu keuntungan yang akan didapat kalau band tersebut memilih jasanya sebagai manajer. Tak lupa, ia mendikte kekurangan yang manajer terkini mereka miliki.
Tontonan lainnya adalah dokumenter Motley Crue, The Dirt (2019). Di sana juga ditunjukan sisi profesionalitas, gaul, serta multi talenta dalam diri seorang manajer musik yang harus disegani dalam industri ini. Sangat merangsang pertanyaan: mengapa manajer dalam dua film ini diwakilkan oleh sosok yang profesional, multi talenta, dan tidak sembarangan? Sementara itu pemandangan musisi yang dimanajeri oleh teman sepermainan hingga anggota keluarga sendiri, masih dapat kita saksikan di belantika musik Indonesia. Keduanya tentu datang umumnya tanpa latar belakang pendidikan dan kerja yang mendukung jabatan tersebut.
Manajerial band adalah seputar peningkatan taraf hidup dan keadilan bagi para musisi.
Tak mau terus dihantui pertanyaan ini, saya menyasar Tania Anggarda Paramita, penemu dan kepala TAP Projects, sekaligus manajer Nadin Amizah. Juga Satria Ramadhan, nama kawakan untuk urusan per-manajerial-an ini serta Ilham Fahrie, Music Director Jak Fm sekaligus bagian dari Gelombang Maju Jaya, dan Bobby Irfan, pawang dari satuan Pop Turbo kebanggan Jakarta, Hursa sekaligus rekan Ilham di Gelombang Maju Jaya.
“Sesuai dengan titelnya, manajer ya me-manage“ Kesimpulan gamblang tersebut disebut oleh Tania Anggarda setelah sebelumnya ia menceritakan sosok mendiang Glenn Fredly dan nilai-nilai yang almarhum perjuangkan semasa hidupnya. Seputar peningkatan taraf hidup dan keadilan bagi para musisi. Dalam kasus ini, Tania Anggarda selaku kepala dari TAP Projects membawa spirit ini kedalam urusan manajerial. Bagaimana ia berharap dan berevolusi dengan menciptakan ekosistem yang akan terus menghasilkan manajer-manajer baru untuk mengurus nama-nama baru yang terus bermunculan.
“Gue pengen orang tau, gue lagi ngerjain band, namanya Hursa. Ilham lagi bantuin artis, di situ kan sebenernya udah diluar mental manajerial, tapi human aja, passion lo, lo ceritain.” Jawab Bobby saat ditanya soal seberapa sering menyebut profesi sebagai manajer musik saat ditanya perihal lini pekerjaan yang ia geluti. “Mengatur tugasnya.” Jawaban sederhana tersebut jelas jadi kesepakatan yang sahih saat perbincangan beredar kepada apa sejatinya tugas dari seorang manajer. “Mengatur, mengumpulkan orang yang sekira mungkin dapat bekerjasama, palugada, memikirkan next akan bikin apa, campaignnya seperti apa, tergantung dari apa yang terjadi di industry sekarang ini.” Jawab Ilham menambahkan pendapat pribadinya mengenai tugas seorang manajer.
“Manajer band indie mah kerjanya serabutan!” Lepas Satria Ramadhan dengan tawa yang membuat saya ikut terkekeh. Seolah-olah mengerjakan tugas yang dikerjakan oleh satu tim besar dari major label adalah analogi yang saya celetukan dan disambut dengan anggukan setuju oleh pria yang mencicipi posisi fotografer dari Ballads Of The Cliché, merengsek naik menjadi seorang roadman, lalu menempati posisi pamungkas, memanajeri band tersebut.
“Gue kayaknya selalu jadi outsider untuk semua band yang gue manajerin. Gak ada yang keluargaan sama gue. Haha.” Melihat skala pertemanan internasional, referensi musik yang bernas, sampai pergerakannya dalam skena musik independent negeri ini, merekrut Satria Ramadhan sebagai seorang manajer jelas jadi opsi mudah yang tak perlu dipertimbangkan repot-repot.
Tania pun sama. Ia datang dengan membawa pengalaman kerja dan pendidikan yang jelas-jelas mengarah ke hal ini. Uniknya, manajer Nadin sebelumnya, adalah orang yang secara harfiah mempertaruhkan hidupnya untuk Nadin. Intan Gurnita, ibu Nadin sendiri. “Pada saat itu Nadin senang berkarya, diawalin dari cover-cover di Instagram, terus dia ada tawaran nyanyi, pada saat itu dia gak tahu industri musik seperti apa. Otomatis bundanya yang emang in-charge untuk itu. Sebenarnya yang paling terdekat aja sih sebenarnya. Ketika sekarang aku pun masuk menjadi seorang business manager-nya Nadin, bundanya tetap in-charge.” Penjelasan tersebut ia lontarkan terkait pertanyaan dibalik pemilihan ibu untuk menjadi manajer bagi awal perjalanan karir bermusik Nadin Amizah. Mengedepankan alasan bahwasanya Nadin adalah seorang family person, pemilihan tersebut jadi sangat masuk di akal. Menambahkan, ternyata masih tersisa goresan pena sang bunda di tiap tindakan yang diluncurkan oleh labelnya, Sorai.
Bobby Irfan benar-benar mengimplementasikan istilah manajer adalah fans nomor satu. Sejatinya, ia adalah fans dari band yang ia urus sekarang, Hursa. Lain pula kalau kasus yang dimiliki oleh Music Director Jak Fm, apabila mengesampingkan profesinya, ia sejatinya menjadi manajer musik untuk kawan sepermainannya sendiri. Beruntung pekerjaannya sebagai MD memberikan jembatan profesionalitas sekaligus alasan logis untuk bisnis ketika menjadikannya seorang manajer musik.
Bobby Irfan benar-benar mengimplementasikan istilah manajer adalah fans nomor satu. Sejatinya, ia adalah fans dari band yang ia urus sekarang, Hursa.
Apabila Satria Ramadhan menduduki jabatan manajer Sore akibat proses rekrutmen langsung oleh para personil, Bobby mendapatkan posisinya sebagai manajer Hursa setelah terlibat dalam obrolan dengan mereka. Di tempat lain, Ilham menerima tawaran menjadi seorang manajer musik sesederhana dengan niatan membantu kawan.
Obrolan selanjutnya lebih menarik, pakem terkait tindak tanduk seorang manajer dalam menjalankan mandatnya. “Manajer sama artis itu kan harus kawin ya. Kalau lo punya pacar pertama, nah manajer itu pacar kedua. Bagaimana pun kita harus tahu apa yang disuka penyanyinya, apa yang gak disuka, karena itu bergantung banget gimana kita dealing with client.” Analogi yang Tania Anggarda gunakan untuk membahas hal ini cukup menarik.
Mengutip kata-kata Bobby yang diselingi dengan tawa renyah, “Yang kita pegang ini manusia,” menjadikan alasan untuk mencari pakem terkait hal ini cukup sulit. Bobby sendiri mengaku pernah beberapa kali berkesempatan untuk menyumbangkan hal-hal vital dalam perjalanan bermusik Hursa. Judul lagu contohnya, saran darinya terkait judul yang tepat untuk digunakan menjadi bukti yang menjelaskan. Beda lagi dengan Ilham, ia mengaku selalu berkecimpung dalam tiap kesempatan workshop. Jikalau untuk Satria Ramadhan, terlepas dari kontribusi terkait proses kreatif, manajer selalu punya hak untuk memberikan saran dan alasan untuk mengambil tindakan. Tentunya dibarengi dengan alasan pendukung mengapa sikap tersebut diambil. Nyatanya, baik outsider maupun orang dekat, ketika menjadi seorang manajer musik, title tersebut sudah ditinggalkan. Manajer telah menjadi orang dekat dari musisi tersebut. Anggota keluarga terbaru apabila boleh disebutkan demikian.
Problematika pelayangan pilihan kepada orang terdekat atau pihak luar dalam menjadi manajer dalam karir bermusik juga melipir pada satu benda yang bisa menciptakan kebahagiaan, gelisah, hingga peperangan. Uang. Saat ditanya perihal bagaimana bisa mendapatkan pendapatan dari menjadi manajer band. Satria Ramadhan memberikan sebaris tawa renyah yang menggelitik. “Manajer band indie itu harus pikirin worst scenario, yaitu gak dapet apa-apa.” Maksudnya, untuk menjadi pihak luar yang terdorong dan terpilih untuk menjadi manajer bagi sebuah band. Kebanggan terlibat dalam proses produksi, ikut serta dalam perjalanan band tersebut, hingga rasa puas yang didapat untuk kejayaan non material, adalah bayaran yang didapatkan. Perlakuan Ilham Fahrie dalam melayani temannya justru sedikit berbeda namun logis. Dalam menjadi seorang manajer, honor ia dapatkan dalam pengkotak-kotakan suatu projek. Walaupun berurusan dengan teman dekat, tetap ada hubungan profesional yang dijaga.
Menjadi seorang manajer musik adalah peran yang menentukan masa depan sebuah komplotan atau perjalanan tunggal musisi tersebut.
Lantas bagaimana seorang outsider bisa masuk dan menjadi manajer untuk sebuah band? “Kalau gue pribadi, gue harus suka dulu sama musiknya.” Banyak pendekatan dan faktor yang mendasari keputusan seseorang untuk menjadi manajer musik. Bagi Bobby, selera jadi penentu yang punya hak prerogatif. Mendasari perkenalannya sebagai penikmat dari musik Hursa, Bobby menganggap Hursa layak mendapatkan tempat dibalik kesibukannya semenjak empat orang personil didalamnya mampu membayar ekspektasi Bobby terhadap penampilan live mereka dan membuatnya merogoh kocek untuk mengoleksi merchandise yang mereka keluarkan. Tak jauh dengan Satria Ramadhan yang dalam beberapa kejadian menunjukan bahwa ia berawal dari posisi fans bagi band tersebut. Jawaban diplomatis nan syahdu terhempas dari mulut seorang Tania Anggarda, “Memang sudah jodoh dan dari semesta aja sih.”
Lepas dari sana, ada satu pernyataan dari Bobby Irfan yang memberi saya lebih banyak ruang pertanyaan untuk mampu mendikte peran sejati dari seorang manajer musik. “Gue gak bisa main musik nih, tapi gue bisa jadi calon pendengar lo.” Menyatakan kalau salah satu tugasnya adalah menjadi pendengar sekaligus pemberi testimonial perdana untuk sebuah karya. Beda tempat beda peran rasanya menjadi hal yang tepat. Menjadi seorang manajer musik atau memiliki manajer dalam projek bermusik adalah peran yang menentukan masa depan sebuah komplotan atau perjalanan tunggal musisi tersebut. Kembali ke pernyataan yang Bobby sampaikan, perlunya ada tanggapan dari lingkaran luar menjadi nilai yang mahal nan berharga dan tentunya perlu untuk didengar oleh penghasil karya, dalam kasus ini, sang musisi. Hal ini bisa jadi salah satu poin plus untuk memilih manajer dari lingkaran luar pertemanan dan kekeluargaan. Lebih mudah untuk berterus terang. Mungkin.
Lebih dalam, kami tak lupa membahas peran manajer sebagai tempat berkonsultasi para talenta mengenai kehidupan personal mereka. Harus ada pengetahuan mengenai hal-hal yang dialami oleh orang-orang ini. Masalah yang sedang mereka hadapi, fase hidup yang mereka jalani, hingga beberapa detail yang mungkin menyulitkan dan menghambat dalam proses berkarya. Bagaimanapun juga, apabila hal tersebut sampai merecoki proses berkarya dan memakan tempat yang terlalu dalam hingga menyisakan banyak borok berupa kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan, kehadiran manajer akan turut serta dalam perbincangan. Manajer memiliki makna yang lebih luas lagi karena hal ini. Menjadi pendengar yang baik atau bahkan membantu memberikan solusi menjadi peran yang ada di bahu seorang manajer musik.
Ada anekdot dalam mencari manajer, carilah orang yang cerdas namun bodoh sekaligus.
“Sebenarnya itu pilihan. Aku dekat sama keluarga talent aku. Bahkan kemarin lebaran aku lebaran di sana (rumah Nadin), gak lebaran di rumah aku sendiri. Karena gak boleh mudik, kan? Itu sebenarnya pilihan, karena gak semua manajer mau seperti itu. Percintaan, jadwal kuliah, dan lain-lain. Jalan ke mana dan jadwalnya gue harus tau. Permasalahan percintaan gue sangat terbuka kalau talent gue cerita sama gue, tapi tidak memaksa.” Ujar Tania saat membahas bagaimana seorang outsider melakukan peran dan privilase yang dipunyai oleh orang-orang terdekat. Seperti yang bisa kita lihat, secara automatis, seorang outsider pun akan menjadi orang terdekat bak keluarga dari musisi yang diurus.
Jadi apa formula untuk memilih seorang manajer musik yang baik? Jawabannya akan banyak sekali, ini menjadi kajian filosofis yang tak akan usai. Siapapun bisa memberikan versinya masing-masing yang lagi-lagi dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang menerpa. Tapi setelah menjadi seorang manajer, terlihat bahwa bagaimana hubungan itu bermula menjadi kian kabur. Sosok dari luar yang awalnya sama sekali nihil hubungan lama-lama akan menjadi salah satu nama yang akan muncul di kepala saat masalah pribadi melanda.
Orang terdekat pun akan melakukan beragam cara untuk belajar dan menggunakan kemampuannya untuk menjadi seorang manajer yang berkenan. Ada anekdot dalam mencari manajer band, carilah orang yang cerdas namun bodoh sekaligus. Cerdas karena mampu mencari cara dan memiliki kemampuan untuk menjual musisi yang diurus. Sementara itu, bodoh dalam artian percaya dengan musik bagaimanapun yang musisi tersebut rilis dan selalu menjualnya. Tambahan lagi, cukup bodoh sampai mau peduli dengan masalah percintaan, kepenatan personal, hingga suasana hati musisi yang diurus. Mengutip kata-kata Tania Anggarda, “Semua orang bisa jadi manajer musik!”
____
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Bising Kota Kuliner Jogja: Petualangan Selera, Lanjut Gosipin Skena Bersama Indra Menus
Rekomendasi kuliner di Jogja ditemani penjelajah kuliner yakni Martinus Indra Hermawan atau yang sering dikenal dengan nama panggilan Indra Menus
Setelah 2 Tahun, Dere Akhirnya Rilis Single Baru Berjudul Biru
Selang dua tahun dari kelahiran album penuh perdana Rubik, Dere akhirnya kembali menghasilkan karya terbaru dalam tajuk “Biru” yang dilepas hari Kamis (31/10). Single “Biru” menggambarkan pertemuan antara cinta dan ragu dengan …