Nasionalisme Seorang Pelaut Handal Bernama Rich Brian
Brian Imanuel, dikenal dengan nama Rich Brian, kini telah menjadi seorang ‘pelaut’ handal. Album terbarunya, The Sailor, kian meroketkan namanya. Bukan lagi sebagai meme era “Dat $tick”, atau sosok sentimental seperti di “History”. Brian sekarang berdiri tegak di Times Square, merepresentasikan budaya Asia sejalan dengan visi labelnya, 88rising, dan tentunya membanggakan kampung halamannya, Indonesia.
Negara ini memang selalu sumringah ketika ada “putra anak bangsa” yang berhasil mengukir prestasi internasional. Ada rasa nasionalisme yang kembali mekar, harapan yang tumbuh merekah. Rasa-rasanya, momen ini patut dirayakan di tengah masa peringatan Hari Kemerdekaan yang masih terasa.
Namun kisah Brian tidaklah seperti Laskar Pelangi. Lain daripada itu, ia adalah seorang internet-geek sejak umur 10 tahun. Brian ‘terlatih’ menghabiskan berjam-jam harinya menyelami dunia maya, membuat konten-konten shitposting di media sosial, belajar kosakata slang Bahasa Inggris lewat channel Rubrick’s Cube, hingga menemukan ketertarikan terhadap hip-hop dari lagu “Thrift Shop” milik Macklemore. Keseharian tersebut didukung oleh keputusan orang tuanya yang mendaftarkan Brian dalam homeschooling, sehingga waktunya banyak dilewatkan di rumah.
Barangkali latar belakang itulah yang mendasari lirik-lirik ‘nyeleneh’ seperti “I don’t give a f*ck about a mothaf*ckin’ po. I’ma pull up with dat stick and hit yo’ mothaf*ckin’ do” pada “Dat $tick”. Frontal sekaligus menggelitik, politis sekaligus humoris. Barangkali Brian tidak berupaya menyuarakan pemberontakan, seperti semangat kulit hitam yang menjadi pelatuk terciptanya budaya hip-hop. Tetapi publik tetap terkejut melihat penampakan anak muda berkaus polo pink dengan tas pinggang, menuang minuman keras di tengah jalan aspal bersama teman-temannya. Tidak terkecuali rapper-rapper ternama seperti 21 Savage, Desiigner, hingga Ghostface.
Brian tidak menempuh jalur “konvensional”, seperti atlet olahraga atau kompetisi akademik untuk “mengharumkan nama bangsa”
Fenomena ini, pada akhirnya sampai juga ke telinga seorang pemuda bernama Sean Miyashiro, CEO dari 88rising.
“I thought his Twitter was genius, from the future, just crazy. And like, just the sh*t he was saying, like the memes he was making. But I didn’t know he rap or anything like that. I really didn’t, and he came up with Dat $tick like two weeks later,” kenang Sean dalam sebuah wawancara di media Bloomberg.
Kerjasama Brian dan 88rising membuahkan sederet singel, proyek kolaborasi, hingga album debut bertajuk Amen. Berkat album tersebut, Brian sempat mencicipi berada di puncak tangga lagu hip-hop iTunes. Semuanya direngkuh ketika usia Brian belum mencapai 18 tahun.
Tetapi Amen adalah masa di mana Brian masih senang berceloteh tentang tema-tema yang acak. Terasa jelas identitasnya sedang dibentuk. Baru di album keduanya, The Sailor, Brian mulai berani mengangkat tema sosial-kultural yang sangat dekat dengan budaya Asia, terutama negara asalnya, Indonesia. Tidak hanya dari segi tema, Brian juga bereksplorasi dengan memasukkan unsur-unsur boom-bap klasik yang dikemas secara modern, sentuhan emo-rap, bahkan psychedelic rock.
***
Seaneh apapun kita mendengar kisah seorang Brian Imanuel, ia adalah epitome generasi masa kini yang dibesarkan oleh internet. Dengan jarinya sendiri, ia mempelajari dan menginternalisasi pola pikir orang Amerika, lebih dari sekadar fasih berbahasa Inggris. Meski begitu, bukan berarti ia tidak mengalami culture shock ketika pertama kali datang ke Negari Paman Sam.
“It was when I first came to a Trader Joe’s and every single white person looked at me. That was like ‘oh, sh*t. I’m in a completely different country right now’,” tutur Brian dalam sebuah wawancara bersama Sean Evans.
Film pendek “Rich Brian Is The Sailor” ini melukiskan potongan-potongan perspektif Brian terhadap Indonesia – dari rasa rindu hingga ambisi.
Kegelisahan itu. Cerita mengenai imigran Asia yang datang ke Amerika itu yang ditumpahkan Brian pada lagu “Yellow” (Don’t fight the feeling ‘cause I’m yellow / will I make it who the hell knows? / you want my soul but we don’t sell those). Selang beberapa waktu kemudian, Brian seolah menjadi komandan perang, menceritakan perjalanan hidupnya sambil membakar semangat setiap anak muda Asia lewat single keduanya, “Kids”.
I’m makin’ songs that’ll probably outlive us for generations / Started off as the sailor, look at me, now I’m the captain / I won’t lie, this shit is fun / Tell these Asian kids they could do what they want / Might steal the mic at the GRAMMYs just to say we won.
Dua singel itulah yang membuat Brian mencuri lebih banyak perhatian. Terlebih ketika kita hidup di masa di mana narasi ‘representasi Asia’ sedang bermunculan di seluruh penjuru dunia. Dari tren K-Pop hingga film Crazy Rich Asians, dunia semakin akrab dengan fakta bahwa semua orang, apapun etnisnya, berhak untuk meraih hidup yang lebih baik. Brian mengerti itu, dan mencoba menyampaikannya lebih jauh lagi dengan penuh estetika lewat film pendek berjudul Rich Brian Is The Sailor yang dirilis di kanal YouTube 88rising. Film yang disutradarai oleh Sing J. Lee ini melukiskan potongan-potongan perspektif Brian terhadap Indonesia – dari rasa rindu hingga ambisi.
“Rich Brian was born to be rich with talents and balance / And the ability to face life challenges / Represent your artistic intelligence.” – RZA (Wu Tang Clan)
The Sailor juga menyimpan butir-butir berharga lainnya. Pada “Drive Safe”, Brian melantunkan melodi yang begitu sentimentil (I just called to tell you “Drive safe” / Will I see you in the mornin’? / ‘Cause I just wanna feel your touch / ‘Cause I don’t think I had enough). Nukilan tersebut dibalut dengan aransemen elegan yang ampuh menghimpun jiwa-jiwa penuh penyesalan. Lalu pada lagu “Rapapapa”, Brian berduet bersama RZA dan pentulan Wu Tang Clan itu menaburkan kata-kata pujian yang memotivasi: “Rich Brian was born to be rich with talents and balance / And the ability to face life challenges / Represent your artistic intelligence.”
***
Melihat tema-tema yang diangkat Brian dalam The Sailor, rasa-rasanya, pertemuan Brian dengan 88rising bagaikan takdir yang memang harus dipenuhi.
sudah saatnya Kita merekonstruksi pemahaman konsep ‘nasionalisme’ itu sendiri. SAAT ini jalan untuk menunjukkan kecintaan KITA terhadap sesuatu memiliki lebih banyak pilihan
Dalam sebuah wawancara di media VICE, Sean Miyashiro menjelaskan secara lebih personal tujuannya menjalankan 88rising. “I would just like go out with my friends in K-Town have barbecue like, like us Asian do sometimes and I would look around the table and it would be like all these different creators, and I was like ‘wow, there’s no place whether it be on the internet or anywhere as like a home, a hub to just basically celebrate all these amazing, dope Asian traders in the world.’”
Semangat itu, ternyata mewakili perasaan beberapa orang. “When I wake up every day, I get literally nine to ten very long emails, a lot of them from Asian-Americans or somebody in Indonesia or Vietnam, just saying how important this is to them,” imbuh Sean.
pada akhirnya, Brian tidak hanya membicarakan Indonesia. Lebih dari itu, ia turut terlibat dalam perubahan besar representasi Asia di mata dunia
Di sinilah musik Brian bersinergi. Adik dari Sonia Eryka ini tidak menempuh jalur “konvensional”, seperti atlet olahraga atau kompetisi akademik, untuk “mengharumkan nama bangsa”. Langkah Brian pun pernah menuai kontroversi, seperti penggunaan kata ‘Chigga’ sebagai moniker di awal karirnya, atau ketika lirik-liriknya tiba-tiba ‘dikecam’ oleh mantan Duta Besar Indonesia di Amerika. Namun Brian tetap melangkah dengan caranya sendiri. Menapaki tangga popularitas dengan gaya bebasnya dan rutenya sendiri.
Mungkin sudah saatnya kita merekonstruksi pemahaman terhadap konsep ‘nasionalisme’ itu sendiri. Bahwa di era informasi ini, jalan untuk menunjukkan kecintaan kita terhadap sesuatu memiliki lebih banyak pilihan. Toh, pada akhirnya, Brian tidak hanya membicarakan Indonesia. Lebih dari itu, ia turut terlibat dalam perubahan besar representasi Asia di mata dunia. Narasi mewah ini memang tidak untuk semua orang, tetapi setidaknya kita kini bisa lebih percaya, bahwa menemukan dan menjadi diri sendiri, bukan sebuah narasi yang mustahil.
Dalam pertunjukkan musik Head in The Clouds 2 di Los Angeles beberapa hari lalu, Brian bersama Niki, Joji, dan teman-teman 88rising menutup acara dengan meneriakkan “F*ck the ruleeeees”.
_____
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …