No Mic, No Stage, Just Sal Priadi

May 11, 2022
Sal Priadi

Sebuah tulisan yang diunggah Sal Priadi di tanggal 23 Maret silam tahun ini menjadi pemicu dari tulisan dan wawancara-wawancara asyik saya bersama penyanyi asal Malang ini. Beliau baru saja merilis Markers and Such, sebuah maxi single terbaru yang diapresiasi dengan baik oleh fansnya.

Sebuah keputusan yang terlintas secara mendadak, bisa jadi baru terjadi pada hari di mana ia mem-posting tulisan tersebut. Bersama Angga, orang manajemennya, ia ingin pergi ke kota Yogyakarta, dengan membawa gitar dengan harapan ingin ketemu orang (dalam hal ini pendengarnya), ia mau bernyanyi di sana. Saat menulis, Sal belum memikirkan lokasi. Itu mengapa ia menulis bisa di taman-taman, tempat kopi, balai RW dan lainnya.

Di tulisannya tersebut, Sal juga menunjukkan sesuatu yang penting yang menjadi bahan dari percakapan kami. Ia meminta pendengarnya untuk bernyanyi kencang-kencang bersama-sama karena Sal tidak akan menyolok gitarnya, termasuk suaranya ke pengeras suara (yang ditulis sebagai mesin-mesin yang bisa membuat semuanya terdengar lebih keras).

Unggahan Sal Priadi tentang rencana panggung dadakan

Lalu semuanya pun bergulir. Lewat unggahan demi unggahan di Instagram, Sal memberikan cerita-cerita yang asyik di balik kunjungannya yang ternyata tak hanya di Yogyakarta, tapi juga di kota-kota lainnya: Semarang, Bandung dan Jakarta.

Bagimana serunya penonton yang datang di sebuah kebun pribadi di Jogja, rumah kopi di Semarang dan Bandung, serta ditutup di Lapangan Banteng, Jakarta. Saking ramainya penonton yang datang, sebuah meja harus dipasang di tengah-tengah agar sang penyanyi bisa terlihat jelas. Tak hanya diam, pendengar diajak berjalan-jalan di samping idolanya membuat sebuah parade yang besar. Di Jakarta, suasana terasa lebih meriah, beberapa teman-teman musisi datang untuk memberikan dukungan, Teddy Adhitya dan Kunto Aji.

“..bawa gitar, cari tempat terbuka, undang temen-temen pendengar untuk datang dan kita nyanyi sama-sama.”

‘Panggung Dadakan’, mungkin ini istilah yang bisa saya ambil untuk aktivitas yang dilakukan Sal Priadi. Sebuah panggung yang akhirnya menjadi sebuah tur pendek yang dibuat tanpa perencanaan, tanpa ada campur tangan pihak besar, EO. Sebuah panggung dan tur dadakan yang meniadakan panggung fisik, rigging yang megah, lampu-lampu, instrumen-instrumen yang ramai serta soundystem yang besar. Yang ada hanya Sal Priadi dan gitar, membawa musik dan cerita-cerita seru di empat kota.

Apa yang kemudian dilakukan Sal Priadi dan ‘panggung dadakan’-nya ini adalah gambaran sejati dari musisi, terkhusus musisi independen atau ‘bawah tanah’, kebanyakan band punk dan lainnya ketika melakukan touring di era 80-an Umumnya mereka berpegian dengan van, membawa semua milik mereka di situ, termasuk instrumen dan amplifier mereka ke sirkuit-sirkuit kecil dari bar, klab bahkan ruang tamu yang disulap jadi gig bawah tanah.

Sal Priadi di Jogja / dok. pribadi

Rangkaian tur dan panggung yang jauh dari pertimbangan yang matang, yang dibutuhkan hanya mengemas semua barang ke mobil dan mulai berjalan. Itu mengapa jika kita melihat foto-foto dan mendengar rekaman panggung-panggung ‘bawah tanah’, semua terdengar tidak menyenangkan, sound yang busuk dan tempat yang jauh dari kenyamanan. Dalam hal ini, secara tidak langsung, Sal Priadi mengadopsi semangat ini.

Saya kemudian bertanya kepada Sal Priadi tentang bagaimana gagasan ini terbentuk dan cerita-cerita seru yang menyertai panggung dan tur dadakan ini.


Apa gagasan di balik panggung dadakan yang ciamik ini? 

Secara sederhana ingin ketemu aja sama pendengar setelah dua tahun pandemi, terlalu ribet kalau harus menyusun showcase atau apa, tur dll, jadi aku putuskan untuk melakukan dengan cara yang sederhana dan cepat yaitu bawa gitar, cari tempat terbuka, undang temen-temen pendengar untuk datang dan kita nyanyi sama-sama. Itu sebenarnya yang mendasari.

Pastinya sekalian promosi single juga ya

Urusannya promosi single ya jadi kebetulan berusan rilis single, ya jadi di pertemuan-pertemuan kami lagunya kubawa dan perkenalkan kepada teman-teman.

Apa dasar pemilihan kota-kota tersebut?

Dasar pemilihan kotanya adalah sesuai dengan keinginan hati saja, termasuk urutan-urutan kotanya. Misalnya, kenapa kemudian Jogja duluan karena sebelum ada ide ini aku berencana ke sana untuk ‘nganterin adikku. Tapi ternyata adikku ada urusan lain, akhirnya dia jadi nggak jadi berangkat, tapi aku tetap merasa harus ke Jogja. Jadi hal yang mendasarinya ya itu, ditambah dengan pada masa-masa ini aku sedang sangat jatuh cinta sekali dengan Jogja, ketemu lingkungan pertemanan yang tepat dari sana, belakangan ke  Jogja kotanya banyak ngasih aku inspirasi. Jadi hal-hal itu membuat akhirnya Jogja jadi kota pertama itu.

“Kita bahkan nggak tahu mau nginap di mana dan main di mana.”

Keputusan ke Semarang aku ambil dari atas bentor (becak motor). Di perjalanan cari sarapan soto setelah malamnya kita manggung, kita tanya dimana lagi nih sehabis itu. Nah, waktu di atas motor aku pikir ke Solo terlalu dekat, waktu di Jogja banyak yang datang dari Solo. Akhirnya kita putuskan ke Semarang, hanya 3 jam dari Jogja. Awalnya kita nggak tahu naik apa, pikirnya naik bus tapi riweuh karena cuma 2 orang. Akhirnya kita nyewa mobil. Kita bahkan nggak tahu mau nginap di mana dan main di mana di Semarang. Pada akhirnya, dalam perjalanan ke Semarang, kita mengumpulkan semua hal yang kita butuhkan: Penginapan, tepat manggung, dsb.

Bandung juga sama begitu juga di Jakarta. Nah, Jakarta sebetulnya nggak ada rencana manggung, awalnya mau buka bersama, tapi karena banyak yang nanyain, akhirnya kita bikin juga di sana.

Mengapa tak ada mikrofon, tak ada panggung dan soundsystem?

Pada dasarnya aku memang nggak menjanjikan show, yang aku janjikan adalah: Aku ada di sana, kebetulan aku bawa gitar, kamu bisa cerita, aku bisa cerita, daripada kita cerita-cerita aja, aku sisipkan lagu dengan gitarku. Jadi memang nggak ada persiapan untuk soundsystem, dll apalagi panggung, sesederhana itu saja.

Sejauh yang dijalani, apa kesan yang dirasakan?

Ada banyak hal yang aku temukan dari perjalanan ini, tapi yang paling utama adalah kembali mengingatkan kalau hal yang paling utama yang mendasar dari seorang musisi adalah memberikan ruang untuk pendengarnya merasakan sesuatu lewat karyanya.

Aku disadarkan bahwa yang utama itu adalah lagunya, itu yang mau aku omongin, bukan bagaimana lighting panggung, bukan sound yang dahsyat, visual yang mewah di atas panggung, itu semua hanyalah faktor pendukung. Yang utama hanya lagunya dan bagaimana lagu itu bisa ngasih ruang buat perasaannya pendengar.

Yang utama hanya lagunya dan bagaimana lagu itu bisa ngasih ruang buat perasaannya pendengar.

Selama ini aku atau kita sibuk memikirkan itu semua. Ya, itu nggak salah. Dengan adanya faktor yang bagus, lighting, panggung, baju yang bagus, semua mendukung kita mempresentasikan karya, namun dengan manggung kemarin itu membuktikan bahwasannya yang utama itu adalah lagu, hanya kehadiranmu dan lagu yang kamu tulis, nggak ada lainnya.

Bagaimana respon fans dan adakah hambatan yang ada di balik panggung ini?

Kesanku aku bahagia, bahagia yang nggak hanya bisa ketemu pendengar tapi juga orang-orang yang bergerak di skena musik dari kota-kota yang kudatangi, itu menyenangkan.

Selama ini kita datang ke kota itu kan yang ngundang EO, dateng lalu manggung. Terus kalau panggung ramai, kita merasa bahwa kita punya koneksi dengan kotanya. Dengan pendengar, tapi belum tentu juga kita diterima dan kenal sama orang-orang yang menjalankan skena musik di kita itu. Misalnya di Bandung kita dibantu oleh temen-temen SIR (Syarikat Idola Remaja) yang bantu cari tempat, jadi punya koneksi yang khusus dengan anak-anak skena lokal, attachment-nya semakin besar.

Hambatannya paling utama adalah soal keamanan. Karena aku cuma berdua sama Angga, dibantu beberapa teman di skena lokal, tapi juga nggak banyak hanya 3-4 orang. Kita jadi mikirin semuanya, muter-muter cari lokasi, ‘mikirin gimana masuk dan keluarnya penonton, jadi ya hambatannya nggak ada tenaga yang banyak untuk undangan yang antusiasnya banyak, sementara yang bikin hanya enam orang, tapi ya alhamdulilah bisa terlewati.

Apa rencana panggung dadakan ini selanjutnya? Akan dilanjutkan ke kota lain kan, atau yang paling gila mungkin, bisa di tap in ke festival besar? Siapa tahu

Kalau ‘ngeliat dari manggung dadakan kemarin kayak di Jakarta, aku bisa ngajakin beberapa temen ikutan ngerasain panggung ini, seru juga kalau aku ajakin semakin banyak temen untuk bisa bikin ini bareng-bareng. Kepikiran seru juga kalo rundown dan kepanitiaannya dibuat di atas panggung, semuanya yang datang udah siap jadi panitia.

Lebih gila lagi kita bisa bikin festival yang bahkan perencanaannya dibuat di hari-H,  karena itu mungkin lho. Kemarin itu mungkin, yang kita lakukan dengan semua hal yang mendadak, dimana kerjasama pendengar untuk bikin acara kondusif, itu gila banget.

“.., dengan manggung kemarin itu membuktikan bahwasannya yang utama itu adalah lagu, hanya kehadiranmu dan lagu yang kamu tulis, nggak ada lainnya.”

Nah aku rasa mungkin, kalo kita bisa bikin sesuatu yang lebih gila dari pada ini. Misalnya bazaar. Kita hanya nyediain semacam site plan untuk bazaar dan musiknya. Tapi ya panggungnya dari meja, nggak ada sekatnya. Penonton tidak dipungut bayaran tapi boleh ngasih sesuatu atau hadiah buat yang main, kaya yang aku rasain kemarin, acaranya gratis tiba-tiba ada yang dateng bahwa coklat, bunga, makanan, dll.

Semua hal itu mungkin banget. Karena lagi-lagi yang selalu ku kedepankan dan aku impian adalah aku dan pendengarku bisa melakukan sesuatu bersama-sama, jadi bukan sekadar basa-basi antara idol dan pendengarnya, jadi bener-bener bisa real melakukan sesuatu bersama-sama.

 

*Markers and Such, maxi single berisi tiga lagu terbaru Sal Priadi sudah tersedia di layanan streaming musik. 


 

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.
2 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Andita Fitria
Andita Fitria
2 years ago

Aaahhh selalu keren kamu, Mas Sal! Ga ada kata selain “Terima Kasih” dari kami para pendengarmu ❤️

Dea Malinda
Dea Malinda
2 years ago

Beruntungnya aku bisa hadir di acara Mas Sal kemarin di Lapangan Banteng, Jakarta. Aku gak nyangka bisa sedekat itu sama Mas Sal. Mas Sal gak hanya menyuguhkan “lagunya” tapi “nyawa lagunya”. Gak kepikiran sebelumnya kalau acaranya bakal seseru itu. Selain disuguhkan pertunjukan-pertunjukan apik dari lagu dan cerita-cerita Mas Sal. Mas Sal juga ngajak teman-teman seniman lainnya yang gak kalah keren. Dari awal sampai akhir acara selalu mikir, “gila ini beneran gratis”. Mas Sal bener-bener ngebuka ruang kedekatan antara dia dan penggemarnya, aku bener-bener terharu. Dan yang paling diingat dari acara kemarin, kita gak hanya diajak nyanyi dan bercerita sama Mas Sal, tapi kita juga diajak lari-lari bareng dilapangan hehe, capekk bangett tapi seru bangetttttttttttttt. Aku gak tau apa yang ada di pikiran Mas Sal yang sangat random saat itu, tapi itu benar-benar sepadan buat aku. Walaupun kemarin tidak ada pengeras suara, tapi suara kami semua tidak kalah kencang. Terbukti saat itu di Lapangan Banteng kebetulan ada acara besar juga, terdapat panggung besar dan pengeras suara (yang seperti biasa ada dangdutan di setiap hajatan), tapi malah suara kami yang paling kencang. Seru sekali saat itu, semoga teman-teman di kota lain bisa mendapatkan kesempatan yaa, semoga saja. Oh iya semoga Mas Sal baca ya hehe, terimakasih Mas Sal sudah baik hati sekali mau bertemu kami dengan cuma-cuma, gak salah Mas Sal banyak yang sayang. Sukses terus Mas Salllll <3

Eksplor konten lain Pophariini

Fraksi Penemu Sepeda Bercerita tentang Hobi di Single Gocapan

Setelah merilis single “Olahgaya” 2023 lalu, Fraksi Penemu Sepeda asal Bogor resmi meluncurkan karya terbaru berupa single dalam tajuk “Gocapan” hari Rabu (23/10). Lagu ini menceritakan serunya pengalaman bersepeda sambil mencari sarapan pagi.   …

Beltigs Asal Bandung Menandai Kemunculan Lewat Single Pelican Cove

Bandung kembali melahirkan band baru yang menamakan diri mereka Beltigs. Band ini menandai kemunculan mereka dengan menghadirkan single perdana “Pelican Cove” hari Kamis (07/11).     Beltigs beranggotakan Naufal ‘Domon’ Azhari (gitar), Ferdy Destrian …