Normatif – Seharusnya / Sepantasnya
Untuk band yang baru berdiri, saya salut dengan Normatif. Mereka adalah kumpulan musisi yang sadar bahwa nge-band memerlukan tingkat keseriusan dan kecintaan yang tinggi terhadap apa yang mereka yakini.
Jika tidak, mereka tidak mungkin seyakin itu bisa membuat semua elemen yang mendukung band ini. Contohnya, jika kita lihat Instagram mereka, dipenuhi dengan feed-feed menarik yang menggambarkan band ini.
Dari musik, tanpa basa-basi, berbekal 3 single yang terlebih dulu dirilis, mereka langsung tancap gas merilis Seharusnya / Sepantasnya, sebuah full album yang punya cover yang tajam secara konsep. Dirilis baik di digital maupun rilisan fisik berupa cakram padat, sebuah langkah yang serius untuk band baru.
Belum ditambah peluncuran album ini yang dilakukan dengan konsep yang matang. Perpaduan musik dengan unsur penari latar dengan koreografi yang apik yang digelar di tempat yang prestise seperti Teater Salihara, bukan sebuah langkah ceroboh buat band yang baru mencoba-coba untuk eksis.
Meski demikian seberapa besar musik mereka bisa masuk ke pendengaran dan sanubari pendengarnya? Ini yang lantas menjadi tantangannya. Secara subyektif, saya harus menilai bahwa diluar produksi yang dieksekusi dengan baik dengan penempatan frekuensi dari bebunyian yang terukur, namun secara musik debut album Seharusnya / Sepantasnya belum terlalu banyak menggambarkan ciri khas band ini.
Dalam delapan nomor yang disajikan di sini, memang nampak ada upaya untuk memunculkan sebuah ekspresi rock yang tegas, namun saya menyayangkan bahwa gagasan mereka hampir terlalu mirip dengan apa yang pernah dimainkan .Feast. Beberapa elemen seperti notasi, ritem, bagan lagu, sampai penggalan lirik dan teknik bernyanyi. Coba tengkok lagu seperti “Jesika”, “Seruan Yang Sama”, “Berbeda tapi Sama” dan “Peristiwa Hutan Kota”
Jika tutup mata saja, 90 % album ini malah lebih terdengar seperti rekaman .Feast yang hilang. Saya justru mengapresiasi track-track filler seperti “Ombang Ambing” sebuah nomor downtempo yang punya ekspresi unik. Atau “Menuju Utopia” dengan lirik yang kuat disampaikan dengan puisi. Juga di “Seharusnya / Sepantasnya” yang punya elemen yang berbeda dengan lagu-lagu lainnya. Notasi melodi yang khas di awal dengan beat santai ditambah layer-layer gitar, meledak di reff sesaat dan sisanya dilanjutkan dengan puisi-puisi penuh letupan amarah. Lebih dramatik.
Mungkin jika “Seharusnya / Sepantasnya” bisa ditempatnya di track pertama ketimbang terakhir dan lagu-lagu selanjutnya mungkin bisa punya pola yang sama dengan lagu ini, tentunya ke depan di single-single atau bahkan album selanjutnya, Normatif bisa menemukan karakter musiknya sendiri. Seutuhnya.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Dirty Racer Buktikan Cinta Sejati Itu Ada Lewat Single Vespa Merah
Setelah merilis single “Percaya” dan “Untitled” pada 2015, unit pop punk asal Lampung, Dirty Racer kembali dengan yang terbaru dalam tajuk “Vespa Merah” (08/11). Dirty Racer adalah Galang Rambu Anarki (vokal, bas) …
Circle Path Memaknai Candaan Jadi Hal yang Serius di Single Teranyar
Setelah merilis single “Down In The Dumps” tahun lalu, Circle Path melanjutkan perjalanan mereka lewat peluncuran single anyar “Take This As A Joke” hari Senin (11/11). Pengerjaan single ini dilakukan secara independen dan mereka …