‘Nusantara Forever!’: Kehidupan Generasi Muda Setelah Pandemi Covid-19

Apr 10, 2020

Secara samar kita bisa masih bisa ingat, betapa optimisnya narasi terhadap laju teknologi sebelum Covid-19 tiba di Indonesia. ‘Revolusi Industri 4.0’ merupakan sebuah mantra yang dilontarkan di hampir setiap kampus dan forum generasi muda. Narasi dunia digital yang dicetuskan oleh Klaus Schwab pada World Economic Forum itu dengan cepat merembas di setiap ranah kehidupan anak muda. Generasi muda pun mulai berani membayangkan masa depan dengan visi imajiner; hoverboard terbang seperti yang digunakan Marty Mcfly dalam film Back to the Future, hingga mobil listrik seperti yang diproduksi Tesla, tanpa kemudi dan tidak akan tersesat ketika mencari sebuah alamat.

 

Narasi Teknologi Sebelum Covid-19

Kata kunci lain yang sering sekali kita dengar sebelum pandemi Covid-19 adalah Artificial Intelligence (AI) dan Singularity. Dua kata tersebut pada tahun 90-an masih merupakan bagian dari film fiksi The Terminator yang disutradarai oleh James Cameron. Sedangkan kini, artificial intelligence merupakan konsumsi sehari-hari generasi muda. Mesin pencari web Google memiliki kemampuan AI untuk mengetahui apa saja yang hendak dicari oleh seorang anak muda bahkan sebelum ia selesai mengetik apa yang hendak ia cari.

Singularity adalah kondisi dimana artificial superintelligence akan mengubah berbagai tatanan kehidupan di masa depan, bahkan melampaui kecerdasan manusia itu sendiri. Salah satu contoh yang diberikan oleh futuris ternama Ray Kruzweil tentang singularity adalah kemampuan AI untuk menciptakan mahakarya seni. Sebuah software di masa yang akan datang akan sanggup untuk melampaui kemampuan manusia dalam menulis puisi maupun menciptakan bait lagu.

episode kehidupan seperti apa yang akan dialami oleh generasi muda Indonesia setelah masa pandemi?

 

Sebelum pandemi Covid-19 melanda, Ray Kruzweil juga bertutur melalui buku ‘The Singularity is Near’ bahwa dunia tengah mengalami percepatan teknologi yang eksponensial. Apa yang dimaksud oleh Kruzweil dengan ‘eksponensial’, adalah jarak waktu antara inovasi teknologi yang satu dengan yang lainnya akan semakin dekat. Sebagai contoh, terdapat rentang 13 tahun dan 60 lebih iOS antara iPhone generasi pertama dengan iPhone 11 Pro. Di masa percepatan teknologi yang eksponensial hanya butuh beberapa bulan saja untuk mencapai kecanggihan iPhone terkini.

 

Puncak Kreativitas

Sebelum pandemi Covid-19 tiba, ekonomi kreatif tengah menjadi visi karir bagi mayoritas anak muda. Generasi muda menjadi saksi sejarah akan akhir episode karya-karya yang padat kreativitas di ranah kultur populer. Diantaranya, akhir dari fase pertama jagad Marvel Cinematic Universe, Saga Star Wars, hingga seri kolosal Game of Thrones. Ekonomi kreatif sedang cerah-cerahnya, festival musik berhamburan di berbagai belahan dunia. Aspirasi para remaja dunia juga bahkan Indonesia adalah untuk bisa berziarah ke Padang Colorado menyaksikan pagelaran musik Coachella.

Para kreator muda bermunculan dengan cepat dan masif. Pada ranah musik, seorang musisi muda dapat secara instan melejit menjadi seorang idola dengan bermodalkan kreasi satu lagu yang viral. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi di dekade 80 maupun 90an. Berdasarkan penuturan seorang penulis musik/musisi, Harlan Boer, dahulu dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk menjadi seorang bintang. Sebab, dulu ada tahap-tahap yang harus dilalui, mulai dari ‘mengulik’ lagu genre tertentu, menjadi cover band yang diakui, bermain di beberapa festival, hingga pada akhirnya merekam album.

John Hawkins penulis buku ‘The Creative Economy: How People Create Money From Ideas’ menuturkan bahwa kreativitas merupakan komoditas utama di abad ke 21. Sebab, pada abad ke 21 semua kebutuhan hidup manusia di berbagai lini sudah terpenuhi. Kreativitas merupakan kebutuhan baru yang akan diburu serta dinilai dengan harga tinggi oleh manusia. Senada dengan tulisan Hawkins, kini lahir jutaan konten kreator di Indonesia yang tengah berlomba untuk mengkreasikan posting paling menghibur dan viral. Profit ekonomi adalah salah satu motivasi utamanya.

 

Efek Pandemi Covid-19

Tiga minggu setelah masa darurat kesehatan, serta anjuran untuk bekerja di rumah (work from home) serta (learn from home) generasi muda tidak lagi mendengar narasi-narasi hebat tentang revolusi industri, singularity, maupun kreativitas untuk kemakmuran ekonomi. Berbagai festival dan konser musik baik di skala nasional maupun global dibatalkan untuk mencegah meluasnya jumlah orang yang terjangkit Covid-19. Hanya ada satu narasi yang mengemuka pada saat pandemi Covid-19, yaitu narasi kemanusiaan.

Durasi pandemi Covid-19 yang kemungkinan besar akan mencapai hitungan bulan, akan selamanya mengubah generasi muda di Indonesia. Remaja akan lebih dekat dengan orang tua masing-masing karena pembatasan ruang gerak serta himbauan untuk menjauhi keramaian. Transfer pengetahuan, pengalaman, dan perasaan dari orang tua ke anak pasti akan terjadi selama masa-masa karantina di rumah. Berbagai berita duka yang terdengar sayup dari menara mesjid serta suara ambulans yang lalu lalang selama masa pandemi akan menghidupkan sisi empatis generasi muda serta menumbuhkan apresiasi terhadap kehidupan itu sendiri.

 

Episode Baru

Seluruh generasi muda dari seluruh pelosok Indonesia yakin bahwa kita akan melampaui masa-masa kelam pandemi Covid-19 ini. Namun, episode kehidupan seperti apa yang akan dialami oleh generasi muda Indonesia setelah masa pandemi? Pertama, anak muda akan mengalami satu fase transisi sebelum semua menjadi normal kembali. Fase yang menyerupai kondisi generasi muda setelah perang dunia ke II. Kurt Lewin seorang tokoh psikologi menjelaskan proses yang dialami oleh generasi muda di Jerman setelah perang dunia melalui teori perubahan. Dalam teori perubahan terdapat tiga fase, yaitu unfreezing, change dan refreezing.

Hanya ada satu narasi yang mengemuka pada saat pandemi Covid-19, yaitu narasi kemanusiaan.

Unfreezing, proses mencairkan kembali ketegangan dan kecemasan setelah lamanya masa pandemi, physical distancing, dan karantina di rumah. Anak muda yang satu dengan yang lainnya mungkin tidak akan langsung saling berpelukan, bercanda tawa, dan nongkrong bersama setelah pandemi ini usai. Akan tetapi, akan ada masa dimana mereka masih melawan rasa cemas dan khawatir yang bersarang di dalam diri mereka. Muncul sebuah upaya baru untuk saling mengerti perasaan dan pikiran satu dengan yang lainnya secara lebih mendalam. Pada masa unfreezing tersebut anak muda akan memaknai ulang kata ‘persahabatan’ yang selama ini mengalami pendangkalan melalui media sosial.

Change, akan terdapat perubahan radikal dari nilai-nilai yang selama ini menjadi narasi besar dalam dunia anak muda. Sebab, generasi muda mungkin tidak lagi mengidamkan imaji masa depan yang canggih seperti pada film back to the future. Generasi muda, juga akan lebih menghayati makna heroisme secara lebih mendalam dibandingkan dengan film-film superhero yang selama ini dikonsumsi. Generasi muda akan lebih banyak berbicara tentang kemanusiaan, preservasi lingkungan hidup, dan gagasan-gagasan baru tentang masa depan yang lebih seimbang bagi manusia.

Dua opsi positif tersebut adalah pemberdayaan warga (citizen empowerment) dan solidaritas global (global solidarity)

Refreezing, kreativitas akan digunakan oleh anak muda bukan sebatas hiburan belaka, namun sebagai media untuk mempropagandakan nilai-nilai universal. Akan muncul sebuah tren baru dalam dunia musik anak muda, yaitu kemunculan narasi-narasi kemanusiaan. Lantas, berbagai narasi kemanusiaan tersebut akan mengarahkan generasi muda kembali kepada buku serta literasi. Kondisi ini akan menguatkan berbagai gerakan kreativitas independen serta ruang kolektif yang tengah berkembang di Indonesia. Sekolah-sekolah alternatif dan non-formal akan semakin bermunculan untuk menguatkan kehidupan anak muda. Indonesia akan menyaksikan kehidupan anak muda yang mengalami ‘turning point’, sebuah peristiwa bersejarah, yaitu generasi muda yang kembali ke akarnya.

 

Wakanda Forever!

Seorang cendekia pada abad ke 21, Yuval Noah Harari menulis sebuah artikel bertajuk ‘The World After Corona virus’pada bulan Maret 2020 ini. Pada artikel tersebut Yuval menekankan bahwa terdapat dua opsi positif bagi manusia selepas pandemi global ini. Dua opsi positif tersebut adalah pemberdayaan warga (citizen empowerment) dan solidaritas global (global solidarity). Bila generasi muda di Indonesia memilih untuk melakukan ‘turning point’ kembali ke akarnya. Maka generasi muda akan terlibat dalam dua opsi positif tersebut. Pertama, pemberdayaan warga muda melalui gotong royong komunitas membantu masyarakat untuk lebih mandiri. Sebagai contoh, kita akan melihat lebih banyak ruang kota yang tidak terolah digunakan untuk berkebun untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat, serta pemanfaatan ruang publik sebagai lokasi untuk kelas-kelas gratis, yang dihidupkan oleh relawan-relawan muda demi memenuhi edukasi rakyat.

di hutan, kebun, laut, dan bukit lah hidup berbagai benih obat bagi pandemi ini serta pandemi berikutnya

Sebelum terjadinya opsi kedua, yaitu solidaritas global sebagaimana dikemukakan Yuval Noah Harari, pada konteks nasional akan muncul kesadaran baru berupa imagined youth solidarity. Imagined youth solidarity atau solidaritas imajiner anak muda akan menjadi pengikat generasi muda Indonesia yang satu dengan yang lainnya lintas daerah. Solidaritas imajiner ini akan meniscayakan terjadinya tukar informasi anak muda di kota dengan anak muda yang tinggal di desa, gunung, pesisir, hingga hutan. Solidaritas imajiner pernah muncul pada masa revolusi kemerdekaan untuk mengusir kolonial melalui komunitas-komunitas muda seperti Jong Java, Jong Celebes, hingga Jong Sumatera Bond. Kedepan solidaritas tersebut akan muncul kembali untuk membangun peradaban Indonesia yang lebih seimbang. Yaitu, keseimbangan pembangunan teknologi serta infrastruktur dengan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, seperti kesehatan dan pendidikan.

Generasi yang kembali ke akar, akan mengembalikan masyarakat Indonesia lebih dekat dengan alam. Sebab, di hutan, kebun, laut, dan bukit lah hidup berbagai benih obat bagi pandemi ini serta pandemi berikutnya. Peleburan sains, kearifan lokal, dan pelestarian lingkungan hidup akan menjadi ciri peradaban yang dibangun oleh generasi muda Indonesia di masa depan. Karir dan jurusan pendidikan tinggi pada bidang-bidang lingkungan hidup akan mengalami peningkatan tajam. Imajinasi mengenai Indonesia baru, tak lagi didominasi visi masa depan yang serba canggih. Namun, Imajinasi akan peradaban yang seimbang antara budaya, alam dan teknologi sebagaimana gambaran peradaban Wakanda pada film superhero Marvel, Black Panther. Semoga kita bisa melalui masa-masa sulit ini bersama-sama, untuk melihat terwujudnya peradaban Indonesia yang akan dibangun oleh generasi muda, ‘Nusantara Forever!’

Penulis
Dr. Muhammad Faisal
1 Comment
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Referensi Artikel : Pophariini.com […]

Eksplor konten lain Pophariini

Fraksi Penemu Sepeda Bercerita tentang Hobi di Single Gocapan

Setelah merilis single “Olahgaya” 2023 lalu, Fraksi Penemu Sepeda asal Bogor resmi meluncurkan karya terbaru berupa single dalam tajuk “Gocapan” hari Rabu (23/10). Lagu ini menceritakan serunya pengalaman bersepeda sambil mencari sarapan pagi.   …

Beltigs Asal Bandung Menandai Kemunculan Lewat Single Pelican Cove

Bandung kembali melahirkan band baru yang menamakan diri mereka Beltigs. Band ini menandai kemunculan mereka dengan menghadirkan single perdana “Pelican Cove” hari Kamis (07/11).     Beltigs beranggotakan Naufal ‘Domon’ Azhari (gitar), Ferdy Destrian …