Oslo Ibrahim – Head Head Head

Sep 29, 2024

Kita mungkin lupa kalau Oslo Ibrahim yang dikenal sebagai kreator konten “Top 5” di TikTok adalah singer/songwriter yang piawai membuat lagu pop enak. Suaranya berkarakter, permainan solo gitarnya menawan. Namun dalam album terbarunya, Head Head Head, Ia masih kekurangan satu hal penting yang membuat musisi menonjol: identitas diri yang kuat.   

Dalam bio Instagram-nya yang memiliki follower 57 K, Oslo Ibrahim berkelakar menulis, “ternyata dia musisi”. Di TikTok dengan followers 459 K lebih, Ia lebih percaya diri menulis, “singer/songwriter”. Padahal di platform tersebut Oslo lebih dikenalkarena membuat konten-konten viral, “Top 5” yang menyindir gaya hidup anak muda. Ini mengapa Oslo berkelakar menulis bio Instagram-nya dengan nada bercanda. Sebagai kreator konten karakternya kuat dan menonjol, namun sayangnya keunikan itu tidak terwujud dalam musiknya.

Sebelumnya saya pernah menulis tentang potensi besar Oslo sebagai singer/songwriter/gitaris/produser saat merilis album mini perdana, The Lone Lovers (2019) yang menarik. Setelah album perdana, I Only Dance When I’m Sad, dengan tampilan dan statment fesyen barunya saya terjebak ekspektasi tinggi dengan album mini, Cantaloupe (2022). Lagi-lagi di album baru ini harapan saya benar-benar pupus. Kejeliannya mengangkat tema keseharian anak muda dalam konten “Top 5”  serta gaya fesyen nyentriknya sama sekali tidak selaras muncul dalam eksplorasi musiknya.

Dalam Head Head Head yang berisi delapan lagu bertempo medium,  problem yang sama seperti di album Cantaloupe kembali terjadi. Lagu-lagu nyaman bertaburan, tapi tidak meninggalkan kesan mendalam. Dari segi produksi pun, sound yang dihadirkan tidak konsisten dan terasa belang bontang. Cukup mengganggu pengalaman mendengarkan keseluruhan album ini.

Namun pengecualian untuk lagu yang diproduseri oleh Coki Bolmayer (NTRL) yang berjudul, “OSLO”. Dari komposisi musik, dan lirik, semuanya menunjukan identitas kuat Oslo Ibrahim. Meski pemilihan judul lagu menggunakan nama sendiri sudah pernah dilakukan lebih dulu oleh Nadin Amizah yang pernah merilis lagu berjudul sama dengan namanya, “Nadin Amizah” dalam album Untuk Dunia, Cinta dan Kotornya (2023).

Dari lagu-lagu enak yang kurang berkesan itu, dinamika album menjadi berbeda dengan kehadiran lagu nge-punk/rock, “Do I Care Too Much”. Namun sayangnya dalam arti negatif dan terlalu jomplang dibanding lagu lain, sehingga jadi hal yang paling mengganggu di album ini. Menyempurnakan ketidakkonsistenan Head Head Head.

Oslo menutup album dengan lagu penutup milik Dewi Sandra, “Tak Ingin Lagi”. Pemilihan lagu ini juga tak galah ganjil. Aransemennya terasa tumpang tindih, pemilihan lagunya juga dipertanyakan. Dari banyak pilihan lagu R&B Indonesia 90an, mengapa lagu ini?

Jika ingin menonjolkan kesan nyentrik, mengapa tidak sekalian memilih lagu R&B milik diva muda Agnes Monica? Terlebih, Yudis Widiatmoko, kolaborator Oslo yang juga penulis lagu “Tak Ingin Lagi” juga pernah menulis beberapa lagu Agnes Monica. Pilihan ini dirasa lebih cocok dengan kenyentrikan Oslo.

Meskipun begitu Oslo terdengar cocok menyanyikan lagu berbahasa Indonesia. Seperti yang pernah ia lakukan kala masih menyandang nama, Rio Riezky. Ini potensi yang agaknya tidak terlalu disadari olehnya. Terlebih hal itu tergambar jelas dalam lirik lagu “OSLO”. Lirik ini yang paling potensial darinya. Menggambarkan ekspektasi sosial, tekanan dan pencarian jati diri yang berujung pada tekad terus melangkah.

Saya juga menemukan beberapa video Youtube Oslo bernyanyi hanya dengan gitar akustik, dan di situ kehadirannya terasa lebih kuat dan utuh. Kekuatan sebagai singer/songwriter/gitaris terpancar kuat. Entah kenapa dalam album keduanya hal ia memilih bersembunyi dalam berlapis-lapis instrumen musik dengan lirik bahasa Inggris yang biasa saja.

Sangat disayangkan, Head Head Head tidak berhasil menampilkan identitas sosok Oslo Ibrahim yang kita kenal di media sosial.  Jika di media sosial sosoknya tampil nyentrik dengan konten cerdas dan kritis, dalam album ini, Oslo tampak kebingungan dan kehilangan arah.  

Album ini harusnya bisa jadi pembuktian bahwa Oslo adalah benar seorang musisi, seperti yang ia tuliskan dalam bio Instagram-nya. Namun, sayangnya, Head Head Head lebih terdengar seperti musisi yang kehilangan arah. Daripada ekspresi bermusik yang jujur dan jati diri seorang Oslo Ibrahim yang sesungguhnya. 

 


 

Penulis
Anto Arief
Suka membaca tentang musik dan subkultur anak muda. Pernah bermain gitar untuk Tulus nyaris sewindu, pernah juga bernyanyi/bermain gitar untuk 70sOC.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

We Are Neurotic Mempersembahkan Album Mini Terbaru Asian Palms

Trio disco dan jazz asal Jakarta, We Are Neurotic menutup tahun 2024 lewat perilisan album mini terbaru yang diberi nama Asian Palms (13/12) bersama C3DO Recordings sebagai label naungan.     Album Asian Palms …

Yella Sky Sound System Rayakan 1 Dekade Lewat Album Mini The Global Steppers

Unit dub kultur sound system asal Jakarta, Yella Sky Sound System merayakan satu dekade eksistensi lewat perilisan album mini terbaru bertajuk The Global Steppers (20/12). Dipimpin oleh produser sekaligus selektor Agent K, album mini …