Para Puan di Kancah Musik Bogor Hari Ini
Kehadiran perempuan di sirkuit musik lokal Bogor bukanlah hal yang asing dan baru. Perempuan terbiasa mengisi berbagai lini di dalam ekosistem musik yang telah terbangun dari awal era 90an ini. Mulai dari zine maker, media, organizer, sampai dengan musisi. Semuanya bersinergi, tanpa batasan gender, terlibat dan melibatkan diri di berbagai kolektif dan ruang, menghidupkan denyut kreatif dari kota dengan indeks toleransi terbaik ke-3 versi Setara Institute ini.
Titan Parama Arta pentolan toko rekaman mandiri, Eternal Store, mengungkapkan bahwa kehadiran perempuan di scene musik lokal Bogor sudah dimulai dari akhir era 90an. “Waktu itu ada band namanya Ex-School, mereka mainin hardcore/rap metal a la Downset, setelahnya kemudian muncul Skiny Dolls dan Defence Mind”, tutur Titan.
Dua band terakhir yang disebut Titan merupakan grup seminal yang karyanya memiliki pengaruh besar bagi perkembangan musik di Bogor hingga saat ini. Memasuki milenium ketiga, nama-nama seperti Error, Milky Way, Peek The Pee Wee Pee, Elora, My First Wet Dreams, Losing Friends, Take One Step, Elda And The Triggers, Psychotic Angels, The Luxitania, hingga Sympathy For The Lady mulai muncul dan meramaikan Bogor. Kesemuanya memiliki benang merah sama, memiliki personil perempuan.
Titan Parama Arta pentolan toko rekaman mandiri, Eternal Store, mengungkapkan bahwa kehadiran perempuan di scene musik lokal Bogor sudah dimulai dari akhir era 90an
Riska Risma, vokalis dari band metalcore Psychotic Angels menuturkan, kondisi scene musik Bogor di era pertengahan 2000an sangat ramai dengan berbagai macam pilihan panggung, mulai dari gig mandiri berskala studio hingga pensi bersponsor besar. “Banyak ruang tahun itu untuk berkreasi. Karena organizer, band, sama tren dateng ke acara lagi gencar-gencarnya banget,” tukas perempuan yang akrab disapa Cumi tersebut.
Band Riska, Psychotic Angels, merupakan langganan acara. Memainkan musik metalcore yang saat itu tengah naik daun, Psychotic Angels menjadi anomali di Bogor karena semua personilnya merupakan perempuan. “Awalnya gue sering ikut temen yang ngeband dan mostly cowok semua. Sampai tercetus lah ide kenapa gak bikin band cewek semua ya. Kayaknya belum banyak waktu itu,” tutur Riska. Setelah melalui berbagai tahap yang cukup panjang dalam mencari personil dengan ketertarikan musikal yang sama, Riska akhirnya berhasil membentuk Psychotic Angels, salah satu band dengan jam terbang tinggi di Bogor pada masanya. “Niatan kita cewek-cewek juga bisa juga kok bawain musik keras,” tambah Riska.
Perjalanan Riska bersama Psychotic Angels bukan tanpa hambatan, banyak hal-hal tidak nyaman yang harus ditelan oleh Riska dan teman-temannya. Yang paling parah, mereka pernah mendapatkan stigma sebagai grup musik yang hanya menjual identitas perempuan belaka. “Pengalaman gue waktu itu ya jadinya seperti gak terlihat, padahal yang udah kita capai tuh lumayan banyak, masih banyak orang yang melihat gue dan temen-temen cuma sekumpulan cewek-cewek yang main band aja. Itu yang sangat yang disayangkan, padahal kita punya hak dan posisi yang sama,” cetusnya kembali.
Memasuki milenium ketiga, nama-nama seperti Error, Milky Way, Peek The Pee Wee Pee, Elora, My First Wet Dreams, Losing Friends, Take One Step, Elda And The Triggers, Psychotic Angels, The Luxitania, hingga Sympathy For The Lady mulai muncul dan meramaikan Bogor
Kini, satu dekade lebih setelah Riska mendapatkan stigma tidak menyenangkan terkait perempuan di kancah musik, apakah hal tersebut masih terjadi dan berulang? Dhi Adjeng Widyasti, bassist dari grup indierock Rrag yang kini namanya tengah moncer mengungkapkan bahwa keberadaan perempuan di kancah musik Bogor saat ini banyak mendapatkan dukungan dan perlakuan yang sama, “Gue beruntung ada di tempat yang isinya orang-orang baik, mau perempuan atau laki-laki, semuanya mendukung penuh”, tuturnya.
Senada dengan Ajeng, Rila dari grup folk Ambarila, beranggapan bahwa musisi perempuan di Bogor saat ini mendapatkan apresiasi yang sama dengan musisi laki-laki, “Gue tidak pernah merasa perempuan sebagai pemanis saja, musisi-musisi perempuan yang gue kenal di Bogor tuh kebanyakan ya frontman, mereka yang initiate bandnya dan mereka juga yang aktif di skena,” tambahnya. Pernyataan Rila kemudian diperkuat oleh argumen dari Ayu, vokalis grup avant-pop Sousade. Menurut Ayu, saat ini musisi perempuan bisa lebih mudah menunjukan potensi dan mengekspresikan dirinya. “Dulu, awal gue berkecimpung (di musik) tahun 2010an sebisa mungkin harus mirip entah dari style nyanyi, stage act, atau dress up dengan musisi wanita yang terkenal di era itu untuk bisa diterima. Bukan menunjukan warna asli kita, terkukung dengan standar yang orang lain buat,” tegasnya. Ayu kemudian menambahkan bahwa dulu ia harus berupaya sangat keras agar bakat dan karyanya bisa diapresiasi seperti seharusnya.
Kini, saat perhatian terhadap kancah musik Bogor tengah kencang-kencangnya, keberadaan musisi perempuan di dalamnya sudah sepatutnya mendapatkan lampu sorot yang sama. Saya berusaha merangkum nama-nama yang kencang wara-wiri membersamai unit musik mereka. Dari indierock hingga rocksteady, dari bassist sampai dengan vokalis. Semua nama yang memiliki peran penting dengan karakter khas masing-masing. Dari lampu sorot warna-warni di panggung ber-rigging, hingga ruang studio sempit berlampu kuning. Para puan yang menjadi bagian dari sejarah zaman.
Kini, saat perhatian terhadap kancah musik Bogor tengah kencang-kencangnya, keberadaan musisi perempuan di dalamnya sudah sepatutnya mendapatkan lampu sorot yang sama
Vania Pramatatya
Nama Vania Pramatatya lebih dikenal sebagai vokalis/gitaris dari grup punk rock The Luxitania, tak cukup dengan The Luxitania, Vania kini membentuk proyek musik baru bernama Vaniland yang merupakan perpanjangan dari proyek solo yang melibatkan rekan bermusik lamanya. Vania sendiri telah cukup lama bersinggungan dengan scene musik di Bogor, ia sempat tergabung di all-female garage rock band bernama Sympathy For The Lady pada medio 2000an.
Dhi Adjeng Widyasti
Perempuan yang akrab disapa Ajeng ini merupakan bassist/vokalis dari grup indierock Rrrag. Bersama Rrag, Ajeng telah menelurkan satu buah mini album, satu maxi-single, dan dua buah nomor tunggal. Warna vokalnya yang khas dan sangat bernuansa 90an merupakan salah satu daya tarik dari suguhan musik guitar-rock yang dimainkan oleh grup yang digadang menjadi salah satu yang akan bersinar di tahun 2024 ini. Bagi Ajeng, perempuan di dalam scene musik memiliki daya juang yang tidak main-main, “Musik tidak akan pernah lari dari perempuan,” tukasnya ketika ditanya mengenai keterlibatan perempuan di dalam scene musik lokal.
Ayu Mutia Zahra
Berawal dari kebiasaan sang Ayah yang sering memutar repertoar Jazz mulai dari Dave Koz hingga Karimata ketika dirinya masih kecil, Ayu Mutia Zahra mulai menambatkan hatinya lebih dalam pada musik yang membersamainya sedari belia. Saat ini Ayu tergabung di dalam unit Jazz/Avant-Pop Sousade sebagai vokalis utama serta membantu proyek duo pop matematika Hevva sebagai vokal latar.
Intan Descenika Lim
Meski tidak menetap di Bogor, para penikmat musik mandiri di Bogor telah cukup lama mengenal Intan sebagai bagian dari scene musiknya. Mengisi posisi sebagai gitaris merangkap vokal latar di grup indie rock/dance-pop revival Mery Celeste sejak tahun 2013, dan telah merilis satu buah album penuh pada tahun 2020 lalu. Pasca hiatusnya Mery Celeste, jejak Intan kini bisa ditelusuri di tiap panggung dari The Jansen, sebagai gitaris/vokalis tambahan mengisi pos kosong yang ditinggal oleh Nina.
Dhiva & Desta
Dhiva dan Desta merupakan penggawa muda dari grup hardcore Defective yang mencuri perhatian saya di gelaran Raincity Hardcore Fest Vol.5 Desember tahun lalu. Bersama Defective keduanya memainkan gaya musik beatdown yang thrashy dan berhulu ledak tinggi pemicu moshpit, semuanya dipadu dengan stage act yang liar dan penuh energi. A must see!
Rila Kristanti Utomo
Richard Clayderman dan Matt Monro menjadi pembuka Rila berkenalan dengan musik. Sempat aktif di paduan suara gereja, Rila kemudian bertemu dengan Ambara Handy melalui perantara Cito drummer Payung Teduh. Keduanya lantas membentuk salah satu unit folk-pop terbaik yang dimiliki Bogor, Ambarila. Rila piawai memainkan emosi dengan tarikan vokal yang teduh dan berkelindan dengan alunan guitalele Amba.
Aulia
Aulia merupakan personil dari grup rocksteady/ska/early reggae asal Bogor, The Madagaskar. Pembawaannya yang luwes dan karakter vokalnya yang cenderung nge-pop berpadu utuh dengan musik ska dan early reggae yang disuguhkan oleh The Madagaskar. Kualitas produksi rekamanThe Madagaskar yang terpuji juga menambah syahdu pengalaman mendengarkan lagu milik mereka.
Helvi Eriyanti
Helvi merupakan salah satu musisi perempuan asal Bogor dengan kemampuan yang terbilang mumpuni. Penampilannya di tiap panggung sangat atraktif dan entertaining. Ia begitu lincah menyasar tiap-tiap sudut panggung dengan tetap disiplin menjaga dentum tempo dan alur musik yang ia mainkan. Helvi saat ini tergabung di dua band berbeda yaitu Antartick dan Billkiss. Sehari-hari, Helvi berprofesi sebagai seorang Guru.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Armand Maulana – Sarwa Renjana (EP)
Dengan EP berdosis pop dan unsur catchy sekuat ini, saya jadi berpikir, mungkinkah Armand Maulana berpotensi menjadi the next king of pop Indonesia?
Juicy Luicy – Nonfiksi
Lewat Nonfiksi, Juicy Luicy semakin mengukuhkan diri sebagai band pengusung lagu patah hati dengan formula pop R&B yang jitu dan ultra-catchy. Pertanyaannya: sampai kapan mereka akan menjual kisah patah hati kasihan dan rasa inferioritas …