Paul Partohap – LOVERs ATLAS

May 13, 2024

Siapa pulak lagi si Partohap, ni?

Orang satu ini, wak bucin picisan yang sukses bikin saya jadi bengak-bengok gara-gara sibuk menyimak album penuh keduanya, bertitel seperti judul bilik mesum di sebuah cabang beach club yang memajang pose cunihin Hotman Paris dan memutar lagu-lagu repertoar Megamix 100 Slow Jams Songs That Will Definitely Get You Laid. Alih-alih mendapat teman tidur, saya justru frigid. Kimbek nian! Kalau cara Partohap merayu cinta pada perempuan—okay, biar saya ganti tendensi kata ‘rayu’ dengan ‘bisik’. . . Kalau cara Partohap membisikkan cinta pada perempuan—dalam hal ini kepada istrinya sebagai telaga inspirasi bagi dirinya—adalah dengan menyanyikan korus gombal yang kering macam single “WANDERLUST”: (saya akan menerjemahkannya saja supaya lebih mengena) ‘Kita ‘kan memburu bulan, matahari dan semua bintang-bintang di atas/Denganmu, cintaku, aku merasa begitu dicintai/Aku tak perlu lagi mencari tahu/Sepanjang aku bersamamu, tak ada lagi ragu/Dengan dirimu di sampingku, tak ada yang tak bisa kita lakukan,’ jangan heran jika saraf sepasang merpati yang seharusnya deras meluap malah melayu anyep begitu mendengarnya. 

Pernyataan di atas bukan asal kecap belaka, tapi saya nekat membuktikannya. Dengan penuh kegelian saya coba membisikkannya ke seekor teman dekat perempuan, kali ini menggunakan versi asli Inggris-nya agar kesan kekatroan tereduksi. Saya melakukannya pada pukul 10 malam di bawah langit Uluwatu yang terbentang terang sipit bulan sabit, seusai menuangkan anggur Burgundy pertama ke gelasnya dan kami duduk saling bersentuhan menatap barisan kubah cenuram di sebuah malam romantis paling sederhana yang bisa dibeli seekor pria tukang bangun siang.   

This is a kool place, innit?” gumam saya seruput satu-tiga, membidik kedua matanya.

Dibalasnya dengan menyandarkan balik mata ke arah saya, lalu merajuk bisu.

Look. . . we will chase the moon, sun and all the stars above. . . with you, my love, I feel so loved. . . I don’t need to have it all figured out. . . as long as i’m with you, there’s no doubt,” kata saya tersenyum mengusap kulit punggungnya yang terbuka, “and with you by my side, there’s nothing we can’t do. . .” 

Cuih! Keset gombal! Batin saya meronta, saya lemarikan tatapan dari wajahnya, malu menahan mual seraya berusaha meredam sumbu tawa yang siap meledak. Dalam waktu bersamaan seketika sepasang taring milik teman dekat perempuan saya itu merenggangkan diri, menjauh ia dari gapaian saya dan mengetus.

“Duileh! Elo pasti rese, nih kalau udah ngeboti sambil minum. . .”

Bengak-bengok. Sedihnya, tidak ada seserpih boti pun ditelan malam itu. Saya merasa dilepehkan, tentu saja, tapi itu tidak terlalu penting. . . karena sekarang saya bisa memastikan bahwa lirik bikinan Paul Partohap ternyata tidak mampu diandalkan. Atau terlalu kasarkah bila saya sebut mandul akibat cheesy? Paling tidak untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata asmara. Saya tidak berminat menceritakan adegan lanjut dari romantisisasi malam kikuk di Uluwatu tadi, dan sejujurnya saya sudah menduganya semenjak mula membaca track list LOVERs ATLAS: “MADE 4 U”, “BESTFRiEND”, “BE YOU”, “WANDERLUST”, “HOME IS WHO YOU ARE”. Sophomore ini agak lebih mending, pasti karena pemakaian bahasa Inggris yang rada menyamarkan hambarnya judul-judul lagu di debut Partohap, Vorfreude (Arseri, 2022): “PDKT”, “Merindukanmu”, “Satu-Satunya”, atau “Bersamamu”. Sial, apa yang bisa diharapkan dari judul-judul lagu segaring itu? 

Tapi mari berbaik sangka, jangan-jangan ternyata hal itulah sasaran Partohap, bermain dangkal supaya gampang dicerna, seperti dikatakan oleh Ahmad Dhani, begawan syair lagu cinta terbaik yang pernah bangsa kita miliki, “orang Indonesia memang suka sama yang jelek-jelek.”

Persoalan lirik di sini terasa penting, karena sebagian besar musik bikinan Partohap di LOVERs ATLAS secara aransemen tak cukup impresif, kecuali jika kalian suka menghabiskan waktu membelai diri di bawah lagu-lagu menyek pembendung air mata para artis R&B ketinggalan zaman, yang saya yakin memenuhi isi playlist Partohap dan pasti dikhatamnya. Boyz II Men, Usher, Babyface, Blackstreet, Alicia Keys, R. Kelly, Maxwell, Justin Timberlake. Dari mereka gaya soul mendayu Partohap ditanamkan. Itu era ketika soul kulit hitam diturunkan derajatnya oleh industri musik kontemporer menjadi permen manis suplemen kerapuhan. 

Dan tentu saja banyak orang menyukainya, terutama hamba melankolis manusia Indonesia yang punya kecenderungan bermental cengeng, semakin tersayat semakin terwakililah kemalangan hidup mereka yang menyedihkan. Tak perlulah bersusah payah untuk bersyair puitis, cukup beri ayat gubahan Partohap di lagu “EMPTY NIGHTS”, maka bersesungguklah mereka, terantuk rembesan air mata pop perih berusaha menyelimuti kesedihan dengan kenangan akan prasasti indah cinta yang kini tergusur. Terenyuh mewek. Darah orang kita memang doyan menderita.

‘I thought we were meant to be/But babe now you are gone/I try to keep busy and I try to move on/Memories of us are hard to bear/And I can’t help but wish you were still here/Lost in this despair.’

Seupil komparasi, saya akan memenggal baris syair Glenn Fredly, Sang Don Flambo R&B dengan lagunya “Tega”, yang sebenarnya berkualitas 11-12 sama ceper dengan Partohap, namun mampu menyentil senila titik puitis:

‘Kau bunuh hatiku/Saat ‘ku bernafas untukmu/Kau kebanggaan aku/Yang tega menipuku.’

Atau, agak melancong jauh ala sepakan geledek Ritham Madubun saya sandingkan lirik dedengkot slow jams D’Angelo yang menulis “Me and Those Dreamin’ Eyes of Mine’’ tentang betapa luapnya cinta pada tumbukan mata pertama; sebagaimana cinta menggebu-gebu Partohap kepada istrinya. Perhatikan perbedaan kedalaman diksi gombal yang jauh lebih berserat seni serta berjamin klepek-klepek. Membandingkan keduanya memperlihatkan jelas jurang menganga di antara dua solis menyek-menyek ini, yang satu berkaliber Oscar Wilde, sedang Partohap masih berkubang di liga Tiktokers. 

‘When I first saw you baby I wanted to die/Me and those dreamin’ eyes of mine/Started to cry then I’dream/Wishin’ my fantasy would soon become reality/Cause every time I see you baby all I do is sigh/Cause you’re the most precious thing baby/That my dreamin’ eyes has ever seen/So I continue to dream/Me and those dreamin’ eyes of mine.’

Apakah membandingkan antara Partohap dengan D’Angelo dan Glenn Fredly adalah sebuah klasemen setara yang apple to apple? Jelas tidak, tapi kita bisa menghirup mana jenis apel yang anti prostat, mana apel yang terus harum, dan mana apel manis dari plastik. 

Kritikus karatan Robert Christgau bilang mayoritas lagu-lagu R&B terlalu sering mengedepankan polesan sound cantik dibanding belajar menulis lagu pop yang bagus. Semuanya punya hook serupa, tekstur lagunya, mood vokal, bahkan bagian ritmis instrumentalnya artikulatif, melembut bersama ‘idiosyncratic atmospheric,’ menuruti istilah Christgau. 

Sementara saya benci R&B, tentu saja. Saya suka soul dan funk, tapi saya benci apa yang didagangkan Motown selepas 1981. Setiap kali saya mendengar seseorang menyetel Keith Martin di saat sesi karaoke tolol atau di bar-bar biro jodoh, saya akan meludahkan reak ke dalam gelas bir sendiri dan menenggaknya tandas, lalu mengumurkan luberan busa yang tak mampu ditampung mulut hingga tumpah segar hingga merendam kerah leher, dan selayaknya seorang pug zu rabies saya tak bisa tinggal diam menggonggongkan ledekan wewek gombel, ‘BEEKOOSH OF YUOO. . . MA LIFE HAS SHAMED. . .’ 

R&B dari era 90-an adalah lelucon. Spesies terburuk dari pohon keturunan black music. Tapi jutaan orang menyukainya, ya pastilah, siapa yang tidak meleleh dimadu rayuan balada vibrato, akal bulus kerentanan emosi seekor paper heart. Beceklah kalian dibuatnya. Dibisik pelan, diembusnya nafas tenor oleh hasrat lembut yang memelodikan cintai kucing rasa cokelat. Oleh buai suara manis serupa kecupan tulus Santo Valentinus. Oleh raut wajah melas, kelopak merem melek akibat semaput romansa, dengan musik yang, tentu saja dibercaki kental jazz dan gospel pop talenta berlian para biduan-biduanita jebolan Ibadah Hari Minggu. Turut ditata di sana saksofon, horns, piano, organ, synthesizer, kibor, dram mesin, synclavier. 

Buat saya semua kemanisan R&B dari era 90-an adalah wabah diabetes. Machtig. Ingat, ketagihan gula dapat menyebabkan 1) pemutusan jantung sepihak 2) infeksi gangren 3) ginjal jebol, dan 4) susah konak.   

Itulah LOVERs ATLAS. Partohap menulisnya sendiri di sela pekerjaan utamanya sebagai dokter klinik dengan menggunakan gitar dari studio pribadi di rumahnya di Hamburg, Jerman. Terlepas dari otentisitas yang dimilikinya, Paul Partohap merupakan produk R&B lokal terkini hasil olahan Andre Hehanussa dan totok Glenn Fredly, kemungkinan besar juga RAN, Bayu Risa, GAC, Laze dan semua home band Top 40 dengan tiga penyanyi di garda vokal yang merasa diri mereka sekeren kombinasi Ello Tahitoe, Marcell ‘Puppen’ dan Yacko. Tapi jelas tidak sekeren Jamie Aditya. Itu level R&B yang berbeda. Ia mengembalikan fungsi gitar pada R&B, sebagai peletup funky shit DNA James Brown dan energi party Pharrel Williams. Apa yang disuguh Jamie Aditya sedikit menghibur krisis identitas yang dialami musik R&B lokal sejak Maliq & D’Essentials menyelamatkan diri dengan berkembang kolosal di Musik Pop (Organic, 2014). 

Di kala orang macam Frank Ocean dan Anderson .Paak berani mengevolusi rhythm & blues menjadi trip & trap, Partohap dan banyak sejawat lain masih terjebak dengan pasaran Craig David. “I GOT MINE” catchy tapi lapuk. “QUiCKSAND”, “MADE 4 U”, “HOME IS WHO YOU ARE” adalah BOYZ II MEN KW 9. Jika persetubuhan soul dan funk yang seksi dapat melahirkan slow jams, maka “WANDERLUST” dan “BE YOU” adalah dua semenjana pop yang menguap seketika temperamen bosan melanda; gitu-gitu aja dari dulu zaman Soulvibe 2010. “BESTFRiEND” mungkin seharusnya tidak perlu dimasukkan ke album sebelum Partohap mampu menemukan cara alternative menulis lagu R&B, sehingga tidak lagi tercipta “GOODLUCK” yang. . . sial, rasanya ingin cepat di-skip. Itu lagu balada lemas bukan lembut. “ALiEN” crunchy tapi jamak saja, satu-satunya elemen yang menggugah adalah koor di bagian koda lagu. Nilai-nilai barusan membuat semua topik hopeless romantic yang diusung Partohap jadi urung merekah, pun meski tampaknya ia tengah menggenapkan konsep lanjutan dari EP LOVERs PLAYBOOK (Arseri, 2022) ke LOVERs ATLAS, saya keburu ilfeel untuk mencari tahu lebih jauh. Karena pasti basi tak menarik.

Sepanjang waktu menulis resensi ini saya menyelingi kejenuhan LOVERs ATLAS dengan menggilir album-album klasik Marvin Gaye, Otis Redding, Isaac Hayes, Curtis Mayfield, Smokey Robinson. Jadi, mending Partohap coba cari produser musik beneran untuk menuntun penggarapan lagu-lagu baru berikutnya nanti. Cuma itu saran bijak yang bisa saya berikan setiap kali mengulas sebuah album musik yang kurang punya setrum. Cinta adalah pengorbanan buta. Kalau yang diandalkan vokal merdu belaka, mungkin sebaiknya R&B (baca: rusty & bored) model begini ditinggal mati saja sementara, biar nanti ia bangkit kembali di kalender 3000 pas Israel sudah benar-benar punah dari muka bumi. 

Scheiße!

 

Penulis
Rio Tantomo
Musisi dan penulis musik. Pernah bekerja sebagai jurnalis musik di pelbagai majalah, termasuk Trax Magazine. Hingga saat ini aktif menulis di beberapa media musik nasional.
Subscribe
Notify of
guest
8 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Irwan Riadi
Irwan Riadi
6 months ago

Tulisan nirempati dan amoral yg menjijikkan dari seseorang yg mungkin mengidap toxic masculinity AKUT dan abang-abang skena beracun yg benci RNB yg ulasannya sepertinya dibuat dengan terpaksa.

Waskito Marbun
Waskito Marbun
6 months ago

lagian sekelas rio disuruh ngeriviu album, ble’e nih editorialnya

Poison Rana
Poison Rana
3 months ago
Reply to  Waskito Marbun

😂

Edmond Dantes
Edmond Dantes
6 months ago

Ohhh… jadi gini cara menulis review musik itu yaa…..? Kok kayak koleksi draft tweet yang seharusnya ga ditweet yah? xD

Kucing Hitam
Kucing Hitam
6 months ago

menjijikan. serius.

Lantukinosa
Lantukinosa
6 months ago

Dear abang-abang redaksi Pop Hari Ini, kalau punya temen yang kenapa-kenapa itu dianter ke psikolog bukan disuruh review album. Masa nggak bisa nge-sense ada yang gak beres nih dari orang ini, dari “pohon keturunan black music”, “biduan-biduanita jebolan ibadah hari Minggu”, “seekor teman dekat perempuan”, sampe “kalender 3000 pas Is*ael sudah punah” nggak bikin kalian setim ngeh untuk gitu? Atau se-Pop Hari Ini se-Pop Hari Ini-nya emang tolol semua kah. Trims.

Enz
Enz
6 months ago

Selalu keren, dan bernas. Rio Tantomo kece terus!!

fanggaraksa
fanggaraksa
6 months ago

>R&B dari era 90-an adalah lelucon. Spesies terburuk dari pohon keturunan black music.

Is this dude r*t@rded? I could review this album better than this kind of deranged review article…

My note :
About Paul Partohap’s new album, this album is pretty great and neat but there’s a bit of minor flaws around the album, particularly with two tracks like “BE YOU” & “QUiCKSAND”. One of my favorite tracks would have to be “GOODLUCK”, the song that is minimalistically warm and soulful with the gentle sound of guitar rendition & harmonious backing vocals. The bottomline is that he still kept the consistency from his previous EP in 2023 and did a great job on converted it to become a full-length album. It’s one of my favorite album in the first month of 2024 and there’s so much more potential that he could gone work for.

My Favorite Cuts : WANDERLUST, HOME IS WHO YOU ARE, BESTFRiEND, I GOT MINE, ALiEN, EMPTY NIGHTS, GOODLUCK, MADE 4 U
My Least Favorite : BE YOU, QUiCKSAND

Last edited 6 months ago by fanggaraksa

Eksplor konten lain Pophariini

Selat Malaka Resmi Mengeluarkan Album Penuh Perdana

Band asal Medan bernama Selat Malaka resmi mengeluarkan album penuh perdana self-titled hari Jumat (22/11). Sebelumnya, mereka sudah mengantongi satu single “Angin Melambai” yang beredar tahun lalu.     View this post on Instagram …

I’m Kidding Asal Aceh Tetap Semangat Berkarya di Tengah Keterbatasan

Setelah merilis 2 single bulan Juni lalu, band pop punk asal Aceh, I’m Kidding akhirnya resmi meluncurkan album penuh perdana mereka dalam tajuk Awal dan Baru hari Minggu (10/11).     I’m Kidding terbentuk …