Pembuka Pintu Bernama Indie Ten

Apr 24, 2018

“Banyak grup musik berbakat dan berpotensi bertebaran di tanah air, tetapi hanya segelintir yang berkesempatan menuangkan karya musiknya dalam suatu album. Berpijak dari sinilah makan Sony Music Indonesia merasa terpanggil untuk menampung kreatifitas mereka,” ditulis dalam pengantar album Indie Ten rilisan Sony Music Entertainment Indonesia tahun 1998.

Tanggal 9 April lalu, Padi merayakan hari jadinya. Setelah sempat vakum dalam waktu cukup lama, Andi Fadly Arifudin (vokal), Satriyo Yudi Wahono (gitar), Ari Tri Sosianto (gitar), Rindra Noor (bass), dan Surendro Prasetyo (drum) mampu bertahan di band yang berawal dari tongkrongan mahasiswa Universitas Airlangga, Surabaya itu sampai usia 21 tahun. Rentang waktu yang tentunya cukup untuk menjadikan Padi sebagai salah satu band senior di industri musik Indonesia. Juga satu-satunya band dalam kompilasi ikonik Indie Ten 1 yang nasibnya saat ini paling beruntung dibandingkan sejawat-sejawatnya.

Mundur dua dekade ke belakang, kondisi Indonesia tahun 1998 sedang babak belur pasca krisis moneter yang kemudian diikuti dengan kerusuhan massal. Iklim di industri musik juga kena imbas. Jeremy Wallach, antropologis dari Bowling Green State University di Ohio, Amerika Serikat mencatat situasi di industri musik jelang keruntuhan rezim Orde Baru tersebut.”Selama dekade 80-an sampai 90-an, kelas bawah ini mungkin tidak punya daya beli yang besar, namun jumlah mereka yang sangat banyak menjadi kue yang menarik bagi industri. Namun pasca krisis ekonomi, kelas ini beralih ke produk bajakan dan tak lagi menarik dijadikan target pasar oleh industri musik.

Hal menarik yang dicatat oleh Wallach adalah kemunculan band-band pengusung musik pop alternatif yang mampu mencatat penjualan mengesankan karena musiknya yang mampu menjelajahi pendengar dari berbagai latar belakang ekonomi. Kemunculan stasiun televisi swasta seperti RCTI lalu masuknya MTV dicatat oleh Yuka Dian Narendra, akademisi dari Universitas Pelita Harapan sebagaimana dikutip dari Disorder sebagai “harapan bagi banyak anak band bahwa demo mereka bisa diterima”.

Gelombang kemunculan band-band pengusung musik pop alternatif ini kemudian ditangkap oleh beberapa label rekaman. Termasuk yang dilakukan Sony Music Entertainment Indonesia, khususnya oleh sosok artist and repertoire berkuping emas yang pernah mereka miliki, Jan Djuhana. Pak Jan, begitu pria yang sebelumnya punya rekam jejak menemukan bakat-bakat mulai dari KLa Project, Kahitna, dan Dewa 19 ini, baru saja mengangkat /rif dari panggung kafe-kafe di sekitaran Bandung untuk berdiri sejajar dengan jagoan-jagoan rock milik promotor kenamaan Log Zhelebour seperti Boomerang, Elpamas, bahkan God Bless. Pak Jan kemudian bergerak mencari darah-darah segar saat chart band pengsuung musik populer Indonesia saat itu didominasi dua nama besar, Slank dan Dewa 19.

1
2
3
Penulis
Fakhri Zakaria
Penulis lepas. Baru saja menulis dan merilis buku berjudul LOKANANTA, tentang kiprah label dan studio rekaman legendaris milik pemerintah Republik Indonesia dalam lima tahun terakhir. Sehari-hari mengisi waktu luang dengan menjadi pegawai negeri sipil dan mengumpulkan serta menulis album-album musik pop Indonesia di blognya http://masjaki.com/

Eksplor konten lain Pophariini

Nuansa Musik 80-an Hiasi Single Baru Tiara Andini Berjudul Kupu-Kupu

Berselang satu bulan dari perilisan album mini hasil kolaborasi bersama Arsy Widianto, solois Tiara Andini kembali lagi dengan single baru bertajuk “Kupu-Kupu” hari Kamis (18/04).   Jika beberapa single yang sebelumnya kerap mengadaptasi gaya …

Kahitna Mengenang Satu Tahun Kepergian Carlo Saba dengan Sejauh Dua Dunia

Tak terasa sudah setahun kepergian Carlo Saba. Kahitna akhirnya kembali merilis single anyar berjudul “Sejauh Dua Benua” hari Jumat (19/04) sebagai bentuk penghargaan dan tanda kasih untuk mendiang sang sahabat.   Yovie Widianto mengatakan …