Perjalanan Bising Kota Bali dalam Sebuah Catatan

Jun 11, 2024

Berbagai tema diskusi dari mulai siaran pers hingga pendokumentasian menghiasi penyelenggaran Bising Kota Jabodetabek di sepanjang bulan Januari hingga April 2024. Kesuksesan ini menggerakkan kami untuk bisa singgah ke kota-kota yang lain dan Denpasar menjadi yang pertama. 

Bising Kota Bali dengan mengangkat tema Masih Perlukah Media Lokal untuk Skena Musik Bali? berlangsung hari Sabtu, 8 Juni 2024 di Rumah Tanjung Bungkak, Denpasar. Telah hadir Rudolf Dethu (Kulturalis), I Made Adnyana (Jurnalis, pecinta musik), dan Kresna Setiana (Bali Potrait, fotografer musik) sebagai narasumbernya. 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Pophariini (@pophariini)

 

Sebelum tiba di hari penyelenggaraan, Pophariini melakukan aktivitas yang berbeda dari biasanya. Kami memutuskan keliling dan mengunjungi tempat-tempat yang sedang digandrungi pecinta musik di Denpasar untuk berbincang soal perkembangan musik.

Kresna Setiana adalah orang pertama yang kami pilih menjadi pencerita. Dialog dibuka dengan apa genre musik yang saat ini sedang banyak dimainkan musisi-musisi muda di Bali dan mana lokasi yang sering dijadikan tempat mereka beraksi. 

Kresna (kedua dari kanan) saat berbincang dengan tim Pophariini / Dok. Gerald Manuel

 

Pria berkacamata ini mengungkapkan genre hardcore yang sedang mendominasi, sayangnya membuat anak-anak muda di sana seakan lupa untuk memainkan musik yang lebih santai.

“Anak-anak muda sudah kemakan sama banyaknya berita yang mereka konsumsi, jadi lupa banget untuk chill. Berlari kencang kalau bahasa saya. Itu yang membuat orang Bali susah ditebak. Key-nya itu fluktuatif. Makanya kalau ditanya, ‘Di mana tempat yang ramai?’, kamu 2 tahun lagi ke sini pasti beda jawabannya,” kata Kresna.

Meski begitu, Kresna menyarankan untuk “trust the local” jika ingin mengetahui tempat-tempat yang happenning saat ini di Bali. Kami langsung mengontak Agus Noval Rivaldi, salah satu penulis lokal yang beberapa kali pernah mengisi halaman Bising Kota.

Penulis yang akrab disapa Aguk ini pun bersedia mengantarkan kami ke beberapa tempat sembari menceritakan skena musik di Bali dari kacamatanya. Mengingat waktu sangat terbatas, kami hanya menyambangi beberapa titik di Denpasar untuk artikel ini.

Agus Noval Rivaldi, penulis Bali dan Bising Kota Pophariiini / Dok. Syauqi Ibrahim

 

Sebelum mulai perjalanan, Aguk menyarankan untuk singgah di Berbagi Kopi, Jalan Astasura, Denpasar Utara yang sering digunakan untuk menampung band-band dari Bali dan kota lain.

Dalam perjalanan menuju lokasi, Aguk berpendapat kalau sejumlah tempat ‘alih wahana’ pasca masa pandemi seperti coffee shop yang bisa dijadikan venue gigs.

“Kalau dalam pengamatanku, pasca pandemi sih mereka udah mulai. Dulu kan ada Pretty Poison, Gimme Shelter, terus Twice Bar. Sekarang itu udah coffee shop. Kayak anak-anak Milledenials kan tumbuhnya di coffee shop,” jelasnya.

Selain fenomena ‘alih wahana’, pandemi menurut Aguk menimbulkan gairah dari band-band baru dengan beragam gaya musik. Ia pun merekomendasikan satu band bernama Kadapat, sebuah entitas musik dari anak-anak ISI Denpasar yang memainkan musik clubbing dikombinasikan dengan permainan gamelan.

“Sekarang lagi ramai banget scene di Bali. Pandemi itu banyak acara diskusi online. Pemantiknya dari situ,” terang Aguk.

Tiba di Berbagi Kopi, kami disambut I Wayan Surya atau akrab disapa Surmin selaku pemilik dan pengelola tempat yang sudah berdiri sejak tahun 2020 ini. Setelah diajak berkeliling, perbincangan dimulai dengan membahas ASTERA. 

Surmin pemilik dan pengelola Berbagi Kopi / Dok. Syauqi Ibrahim

 

Surmin merupakan manajer unit alternatif Bali tersebut. Ia mengatakan Berbagi Kopi awalnya tidak memiliki fungsi sebagai panggung musik. Bahkan, pentas pertama yang ia adakan di sana awalnya merupakan pertunjukan teater SMA.

“Dulu belum ada elemen musik sama sekali. Sampai akhirnya aku memang suka nonton teater, jadi untuk peramai acara kami undang teman-teman teater SMA buat tampil. Karena waktu itu kan juga zaman-zaman di sekolah gak boleh ngapa-ngapain, ya udah ‘culik’ mereka aja buat tampil terus bagi hasil dari ticketing,” kisah Surmin.

Area panggung Berbagi Kopi / Dok. Syauqi Ibrahim

 

Pria yang hobi bersepeda ini membenarkan pandangan Aguk tentang fungsi kedai kopi yang berubah menjadi venue gigs di Bali. Berbagi Kopi juga baru memulainya di tahun 2021 lalu.

Dalam menjalankan acara, Surmin dan tim Berbagi Kopi memiliki beberapa segmen yang mengklasifikasi penampil di setiap pergelaran. Misalnya, yang pertama ada Berbagi Panggung yang mementaskan penampil band dan musisi yang under radar/pendatang baru. Namun acara ini harus kandas karena kendala budget dan SDM.

Lalu, yang kedua adalah Berbagigs merupakan wadah untuk band-band cadas unjuk gigi. Dan terakhir, Pesta Kecil menampilkan musisi-musisi hasil ‘penculikan’ dari festival yang sedang berlangsung di Bali. Apabila musisi tersebut memang sedang berada di Bali untuk manggung di festival atau sekadar liburan, tim Berbagi Kopi menghubungi dan ajak tampil di Pesta Kecil.

Sudut yang memamerkan dokumentasi acara di Berbagi Kopi / Dok. Syauqi Ibrahim

 

“Kalau di Bali kan sangat besar masalahnya untuk di transportasi pesawat ya terutama. Jadi kalau mau ngejar tur atau lainnya sangat lama dan belum tentu dapat juga di sini,” jelas Surmin.

Program Pesta Kecil perdana dilaksanakan tahun 2022 lewat penampilan .Feast, Mantra Vutura, Aldrian Risjad, Jangar, dan White Swan. Semua riwayat acara yang pernah diadakan Berbagi Kopi juga terpampang dalam bentuk poster di area kamar kecil.

Poster acara di Berbagi Kopi / Dok. Syauqi Ibrahim

 

Sembari menikmati suasana Berbagi Kopi yang nyaman ditemani Surmin, Aguk, dan beberapa botol bir dingin, kami melihat ada sebuah aktivitas yang cukup asing di area taman.

Menikmati suasana Berbagi Kopi bersama Surmin dan Aguk / Dok. Syauqi Ibrahim

 

Aktivitas yang asing itu ternyata menurut Surmin orang-orang yang sedang latihan untuk acara pernikahan yang bakal digelar beberapa hari setelah kunjungan kami ke Berbagi Kopi. Hal tersebut membuktikan, tempat ini juga bisa digunakan untuk dua pasangan mengikat janji setia abadi selain menjadi tempat musisi unjuk gigi.

Latihan pernikahan di Berbagi Kopi / Dok. Syauqi Ibrahim

 

Usai mengucap salam perpisahan ke Surmin dan kru Berbagi Kopi, Aguk langsung membawa kami ke Imadji Coffee di Jalan Jempiring, Denpasar Utara yang memang merupakan tempat nongkrong anak-anak Bali.

Bukan tanpa sebab Aguk mengajak kami bertemu dengan kawannya, Darin Vidaswara di sana. Darin merupakan Event Manager dan tim marketing dari sebuah venue baru di Bali bernama SNS.

Sebelum menyambangi SNS, Darin sempat membahas sedikit tentang Imadji Coffee. Ia bercerita, Imadji Coffee awalnya bertempat di tangga kawasan pertokoan New Dewata Ayu yang dikenal sebagai tempat nongkrong hipster Bali era 2000-an.

Imadji Coffee yang menjadi tempat nongkrong anak gaul Bali / Dok. Syauqi Ibrahim

 

“Idenya cukup jenius sih. Dalam arti, kayak mereka ambil pos satpam atau bangunan ATM kecil yang diubah jadi coffee shop. Anak-anak nongkrongnya di tangga gitu, manfaatin space yang ada. Emang dulu sempat jadi sentralnya, khususnya buat anak-anak Kota Madya,” jelas Darin.

Darin dan Aguk di Imadji Coffee / Dok. Syauqi Ibrahim

 

Imadji Coffee menjadi tempat perpisahan kami dengan Aguk yang saat itu harus pulang untuk urusan pribadi. Ia menitipkan kami kepada Darin dan melanjutkan perjalanan ke SNS, tempat Darian bekerja.

SNS yang terletak di daerah Tukad Barito, Denpasar Selatan merupakan hasil kolaborasi 2 usaha FnB Bali bernama Sloji dan Sumber Nikmat. Darin mengatakan, venue yang baru berdiri selama 1 bulan ini memang dirancang sebagai tempat kumpulnya berbagai komunitas di Denpasar, khususnya industri kreatif.

Suasana di dalam SNS / Dok. Syauqi Ibrahim

 

“Jadi gak harus terpatri untuk gigs aja, kayak aktivasi yang berhubungan sama industri kreatif juga bisa di sini. Kami pengin inklusif buat teman-teman komunitas, regardless genre dan interest di seninya apa. Yang penting kami bisa jadi fasilitas kultur anak-anak muda,” jelasnya.

Berangkat dari narasi yang disebutkan Kresna tentang kurangnya musik santai di Bali, Darin turut menanggapi hal tersebut dengan menyampaikan pendapatnya berdasarkan sejarah.

“Gamelan Bali itu kan karakternya cukup progresif sama agak kencang. Bahkan tari-tariannya pun juga ngikutin musiknya kan. Jadi cukup agresif, keras, dan fleksibel. Mungkin itu kayak kebawa gitu ke ranah musik independennya lah. Dari dulu kan Bali terkenal sama musik punk rock, habis itu metal, dan sekarang hardcore. Karakter bermusik kami mungkin secara gak langsung mengikuti karakter gamelan itu sendiri,” jelas Darin tentang narasi tersebut menurut pandangannya.

Darin juga mengakui soal fenomena menjamurnya venue di Bali usai pandemi itu memang nyata. Ia bersyukur pandemi yang saat itu menegangkan, malah memantik bangkitnya semangat Do It Yourself di Bali.

Bincang skena bersama Darin di SNS / Dok. Syauqi Ibrahim

 

“Kami dulu di era pandemi, entah di mana pun harus bisa olah biar bisa menjadi sebuah venue. Dulu juga sempat ada (kolektif) Fraksiepos, itu dia bikin acara dengan memanfaatkan ruang-ruang kosong di Discovery Shopping Mall. Kalau menurutku, along the way entah itu banyak atau sedikt, tapi venue (akan) selalu ada sih,” pungkasnya.

Pertemuan dengan Kresna, Aguk, dan Darin cukup berkesan. Walau belum semua kebisingan berhasil terangkum, mengingat keterbatasan waktu. Sementara ini, apa yang kami lakukan selama seharian membuahkan hasil yaitu pengetahuan yang baru.  

Rudolf Dethu dan I Made Adnyana sebelum acara dimulai / Dok. Made Danindra Adhikarisma

 

Hujan yang turun sejak kami tiba hari Kamis (06/06) rada mengkhawatirkan. Namun, berkat doa baik dari semua pihak, Bising Kota Bali yang berlangsung dua hari kemudian dihiasi cuaca yang bersahabat, tanpa hujan sedikit pun.

Tampak para narasumber Bising Kota Bali yakni Dethu, I Made Adnyana, dan Kresna Setiana bercengkerama dengan semua yang hadir di lokasi. Tidak hanya para narasumber, tapi Madness On Tha Block dan Soulfood yang menjadi penampil juga hadir sejak sore di Rumah Tanjung Bungkak.

Berbeda dari Jabodetabek, Bising Kota yang kali ini tak hanya sekadar diskusi melainkan band-band yang menetap di kota tersebut ikut berpartisipasi.

Madness On Tha Block memulai aksi sekitar pukul 17.10 WITA. Energi mereka dalam membawakan lagu-lagu hip hop berlirik nakal berhasil membakar semangat semua penonton.

Madness On Tha Block didaulat membuka Bising Kota Bali / Dok. Made Danindra Adhikarisma

 

Usai penampilan MOTB berlanjut ke sesi diskusi yang dipandu oleh Denboi. Ia mempersilakan Bapak Suherman Soemardi, salah satu pendiri Pophariini untuk memberikan kata sambutan di Bising Kota Bali.

Bapak Suherman Soemardi memberikan kata sambutan di Bising Kota Bali / Dok. Made Danindra Adhikarisma

 

Selesai dibuka Bapak Suherman, Denboi mempersilakan Rudolf Dethu, I Made Adnyana, dan Kresna Setiana duduk di hadapan para pengunjung.

Dethu menjadi sosok pertama yang angkat bicara mengenai Masih Perlukah Media Lokal Untuk Skena Musik Bali?. Ia mengungkapkan saat ini media musik di Bali hanya sekadar memberikan informasi terkait acara musik via media sosial tanpa memberikan sentuhan personal sehingga media dengan gaya in-depth journalism hampir tidak ada.

Rudolf Dethu di Bising Kota Bali / Dok. Made Danindra Adhikarisma

 

“Dulu itu band-band di Bali bisa segede ini karena ada orang-orang yang giat dan rajin, ‘Blood, sweat, and tears’ untuk nulisin dengan sentuhan pribadi, yang kadang-kadang kurang beradab atau gimana, tapi paling tidak itu adalah honesty dan itu bagus. Sekarang udah hampir gak ada,” kata Dethu.

Topik ini juga memantik I Made Adnyana sebagai jurnalis senior di Bali untuk berbagi cerita tentang pengalaman menghadapi band-band yang kurang memahami tentang pentingnya membagikan press kit ke media massa.

I Made Adnyana berbagi pengalaman di Bising Kota Bali / Dok. Made Danindra Adhikarisma

 

“Yang menjadi masalahnya berkaitan dengan press release, profil, dan foto, ini parah. Kenapa saya bilang parah? Tahun 2019 saya sempat punya ide sama Gede Bagus untuk mengumpulkan teman-teman musisi, kami kasih knowledge bagaimana pentingnya bikin press kit. Kira-kira berapa yang datang? Hanya 7 orang. Berapa banyak musisi dan band di Denpasar, hanya 7 yang berminat. Artinya saya berpikir mereka menganggap itu gak perlu,” kisah I Made Adnyana.

Menyenggol topik fotografi, Kresna yang juga merupakan fotografer dari band yang diasuh Dethu, The Hydrant turut memberikan pendapat soal pengaruh foto untuk memperkenalkan band dan musisi di media.

Kresna Setiana di Bising Kota Bali / Dok. Made Danindra Adhikarisma

 

“Saya selalu bilang sama teman-teman fotografer. Harusnya kalian support band yang ada di sekeliling kalian dulu aja deh karena kalau misalnya kalian berkarya dengan visual, nanti akan dilihat sama orang-orang yang jago bernarasi kayak 2 Om di sebelah saya, dan teman-teman di media yang bakal ngangkat. Sebenarnya aku nganggap, kita gerak aja dulu. Kalau kata teman-teman saya di Kelas Pagi, ‘Keluar, tumbuh liar, bakar’,” tegas Kresna.

Serunya diskusi Bising Kota Bali terlihat dari banyaknya pengunjung yang tidak hanya bertanya, namun juga memberikan pendapat mereka soal topik yang diusung.

Sesi tanya jawab selalu menjadi momen seru di setiap pergelaran diskusi Bising Kota / Dok. Made Danindra Adhikarisma

 

Mereka yang hadir juga memberikan respons langsung terkait topik Bising Kota Bali / Dok. Made Danindra Adhikarisma

 

Setelah diskusi berakhir, para pengunjung dihibur penampilan Soulfood yang saat itu perdana manggung tanpa menggunakan sequencer. Ternyata band ini tetap maksimal menghibur dan menjadi salah satu wujud kesuksesan Bising Kota Bali.

Penampilan Soulfood menutup perhelatan Bising Kota Bali / Dok. Made Danindra Adhikarisma

 

Sebelum mengakhiri tulisan yang sudah kepalang panjang lebar ini, kami memutuskan untuk sekalian membeberkan perbincangan bersama MOTB dan Soulfood.

MOTB yang saat itu diwakili oleh Loseyes (Naufal) dan Kid Clique (Windu) mengungkapkan tentang pergaulan mereka yang mengusung genre hip hop dengan skena yang memainkan genre musik lain.

“Kami pernah beberapa kali organize acara yang blend beberapa genre musik dan itu terbentur rentang waktu. Kami sudah pengin membiasakan orang dari genre mana pun untuk bergaul dengan genre mana pun, biar semua bisa bergaul di mana aja. Antusiasnya yang kurang itu mendulang sesuatu dengan output baru. Itu yang sebenarnya gak bisa karena keterbatasan waktu,” jelas Windu.

Sementara Naufal menegaskan, ada entitas label rekaman yang membantu menggabungkan musisi dengan berbagai genre di Denpasar bernama Skullism Records beberapa tahun ini.

Sesi wawancara bersama MOTB di Bising Kota Bali / Dok. Made Danindra Adhikarisma

 

Selesai berbincang dengan MOTB, kami lanjut dengan Soulfood untuk mengulik latar belakang mereka yang memang menjadikan musik sebagai mata pencaharian sehari-hari. Bam George (gitar), Lyta Lautner (vokal), dan Palel Atmoko (drum) membagikan cerita perjuangan menjadi musisi penuh waktu di Pulau Dewata

Berangkat dari latar belakang band yang kerap membawakan versi cover lagu-lagu R&B dan neo soul di berbagai tempat, Palel menjelaskan tantangan terberat Soulfood adalah bagaimana harus menyempatkan diri untuk menciptakan karya orisinal band.

Sesi wawancara bersama Soulfood / Dok. Made Danindra Adhikarisma

 

“Sebenarnya susah bagi waktu. Kami ngamen-ngamen, dapat duit, biasanya lupa untuk bikin lagu. Dan banyak banget kejadian seperti itu di sini,” ucap Palel.

Bam dan Lyta menambahkan, Soulfood sempat tidak banyak manggung membawakan lagu-lagu milik orang lain di masa pandemi. Kondisi yang sulit saat itu membuat mereka berpikir bagaimana caranya bisa hidup lewat karya yang dihasilkan sendiri. Fase ini diakui Lyta menjadi inspirasi mereka membuat lagu berjudul “Ain’t No Money It’s Okay”.

“Lagu ini tercipta risalahnya begitu. Memang waktu itu kami stuck. Mau rekaman gak ada duit, mau hidup aja susah waktu pandemi. Serba terbatas,” kisah Lyta.

Pengaruh masa pandemi bagi perkembangan musik di Bali ke arah yang lebih baik sekali lagi divalidasi oleh Soulfood. Kondisi tersebut membuat mereka bisa menyelesaikan album dan lanjut berkarya hingga saat ini.

Selain mendapatkan insight menarik tentang kondisi skena Bali langsung dari para pelaku, kunjungan Pophariini ke Bali juga membuahkan persahabatan yang baru. 

Matur suksma, Bali! / Dok. Made Danindra Adhikarisma

 

Terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu terwujudnya Bising Kota Bali. Sampai jumpa di kebisingan kota selanjutnya!

 

Penulis
Gerald Manuel
Hobi musik, hobi nulis, tapi tetap melankolis.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …