Perjalanan Bising Kota Bandung dalam Sebuah Catatan

Jul 17, 2024

Usai mengunjungi Denpasar bulan Juni lalu, Bising Kota melanjutkan perjalanan ke Bandung. Diskusi yang berlangsung hari Jumat (12/07) di Kyomi Space ini mengambil tema “Rasis” Genre, Penyakit Atau Pemantik Industri Musik? dengan menghadirkan Herry Sutresna (Grimloc Records), Helvi Sjarifuddin (FFWD Records), dan Dwi Lukita (Microgram Entertainment).

Selain diskusi, Bising Kota Bandung juga kembali menghadirkan panggung musik yang diisi oleh musisi-musisi asal kota ini yaitu Kalé dan Dongker.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Pophariini (@pophariini)

 

Sowan tokoh-tokoh musik di Bandung

Seperti edisi Denpasar, tim Pophariini melakukan ritual sowan, menemui tokoh-tokoh yang menghiasi ekosistem musik di sana dengan keliling Bandung sebelum acara berlangsung hari Kamis (11/07).

Orang pertama yang kami temui tak lain adalah salah satu narasumber diskusi Bising Kota Bandung, Helvi Sjarifuddin, pendiri FFWD Records. Dialog dibuka dengan menanyakan apa band sekarang yang sedang didengarkannya. Ia mengatakan meski belum menemukan band yang menarik perhatian akhir-akhir ini, namun band muda yang membuatnya terkesan adalah The Jansen dan Rub of Rub.

Helvi Sjarifuddin saat ditemui sehari sebelum diskusi Bising Kota / Dok. Syauqi Ibrahim

 

Saat ini FFWD Records menjadi tempat bernaung band macam Heals dan Lizzie. Helvi pun menjelaskan dalam perjalanan menemukan talenta-talenta musik anyar, media masih memiliki peranan yang sangat penting.

“Kalau misalkan gak ada media, kita lebih effort untuk bisa tau [musik baru]. Dan tugas media memang salah satunya itu,” kata Helvi.

Setelah bertemu Helvi, kami menuju toko Hijack Sandals. Saat beberapa kali mendatangi festival musik, merek footwear asal Bandung yang berlokasi di Jalan Dahlia ini hadir sebagai kolaborator. Hal ini yang menjadi alasan mengapa kami akhirnya bertemu Lukas Satriadi selaku Marketing Lead Hijack Sandals.

Lukas yang berasal dari Tangerang Selatan menghabiskan masa kuliah hingga sekarang di Bandung. Ia setuju dengan opini kami tentang anak muda Bandung yang modis. Menurut observasi pribadinya karena mungkin Bandung salah satu kota yang kampus-kampusnya banyak memiliki jurusan seni.

“Gue melihat karena ada kampus yang ada jurusan seninya di satu kota, itu pengaruh ke pergerakannya. Ya ada andilnya sih, akhirnya banyak pergerakan dengan gaya masing-masing. Di Bandung karena banyak, pergerakannya juga lumayan seru,” ucap Lukas.

Berangkat dari tema diskusi Bising Kota, kami sempat membahas tentang bagaimana pengaruh fashion di skena musik Bandung yang memiliki genre beragam. Lukas mengungkapkan musisi Bandung saat ini memiliki kedekatan yang lebih bebas dengan berbagai merek lokal di kota mereka. 

Lukas Satriadi, Marketing Lead Hijack Sandals / Dok. Syauqi Ibrahim

 

“Gak ada satu brand tertentu yang akhirnya dipakai satu musisi terus-terusan. Mereka juga dekat sama brand-brand yang ada di Bandung. Jadi salah satu ekosistem yang antar musisi sama fashion-nya cukup menyatu,” ucap Lukas.

Pria yang pernah menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung ini menutup sesi perbincangan dengan menyampaikan komitmennya untuk mendukung ekosistem musik di Bandung sebagai kota asal Hijack Sandals.

“Kami ada di sini dan gak akan menutup diri. Kalian ada ide apa, kita jalannya searah, bisa gas,” pungkasnya.

Di hari yang sama, usai membahas skena Bandung dari sisi fashion, tim Pophariini juga menemui pihak dari salah satu festival musik besar di Bandung. Berbekal janji temu yang sudah disepakati beberapa hari sebelumnya, kami bertatap muka dengan Dany Kajul selaku pendiri Hellprint.

Sebagai pemilik festival yang juga menyediakan program untuk musisi berbagai genre, Kajul mengaku pertumbuhan sub-genre di Bandung saat ini cukup beragam. Ia pun merasa hal tersebut baik jika dibandingkan dengan zamannya.

Dany Kajul menginisiasi Hellprint sebagai hadiah pernikahan / Dok. Syauqi Ibrahim

 

“Kadang-kadang band itu terserah mereka namain genre-nya. Zaman saya SMA, gak ada istilah ‘death metal’. Semua itu [disebutnya] ‘grindcore’. Sepultura kami nyebutnya thrash metal aja dari saya SD. Sub-genre-nya makin ke sini makin beragam dan menurut saya bagus,” ungkap Kajul.

Soal bagaimana perjalanan ia membangun Hellprint, Kajul menegaskan festival ini awalnya diadakan sebagai hadiah ulang tahun pernikahan untuk sang istri. Cikal bakalnya dimulai saat ia dan Man Jasad bekerja di CV Tropic, tempat penggandaan kaset di Bandung.

“Teman-teman underground kalau udah beres recording tau nih saya dan Man kerja di situ. Jadi kalau lewat saya bisa ngutang dulu. Saya sama istri tuh ngumpulin orang-orang yang punya band dan ngutang. Kebetulan saya juga ngerintis usaha percetakan, nah [nama] Hellprint itu dari percetakan. Asalnya ‘Help’ dari [lagu] The Beatles. Cuma biar keren dan sangar, jadinya ‘Hell’, double L. Dulu mah double P,” kisah Kajul.

Dalam memanggungkan band-band muda di festivalnya, Kajul juga memiliki semacam aturan tidak tertulis yang wajib dilakukan yaitu membawa materi fisik berupa CD atau kaset.

“Kalau pengin main di Hellprint harus kasih CD. Kalau belum punya karya fisik, saya gak mau. Cukup kasih saya CD, nanti saya dengerin,” ucapnya. Hal ini dirasa Kajul sebagai bukti keseriusan band atau musisi tersebut dalam bermusik.

Kajul pasti meminta materi fisik dari musisi yang ingin tampil di Hellprint / Dok. Syauqi Ibrahim

 

Band-band yang pernah memberikan materi fisik ke Kajul antara lain Humiliation, Billfold, Stand Here Alone, dan Revenge The Fate, yang juga menarik perhatian tim Hellprint untuk masuk ke program bernama Binaan. Kemudian berlanjut ke pembiayaan rekaman, tur, dan sebagainya.

Di akhir wawancara, Kajul memberi kabar tentang rencana Hellprint United Day VIII yang bakal dihelat tanggal 2 Februari 2025. 

Meski banyak melahirkan band-band cadas sampai terbang ke mancanegara, Bandung juga memiliki talenta-talenta muda yang memainkan gaya musik lebih pelan dan easy listening seperti indie pop. Kami lanjut menemui perwakilan dari band-band indie pop yang bernaung di bawah bendera Lisdia Records.

Di pertemuan ini, kami berdialog dengan Andri Arecun dari Pastel Badge, Ferdy Destrian dari Sunny Summer Day, dan Ferin dari Mountain Moves di saat yang bersamaan.

Ditanya mengenai seberapa besar band-band Bandung saling mendukung, Andri mengatakan ia dan teman-teman musisi di sekitarnya memiliki level saling support yang tinggi. Pemain gitar Pastel Badge ini merasa karena sudah berteman dengan para personel band lain, jauh hari sebelum bandnya terbentuk.

“Bandung mah musiknya berangkat dari tongkrongan. Jadi sebelum saya ngeband, sebelum Ferin ngeband, kami tuh kenal,” tegas Andri.

Masih di topik yang sama, Ferdy menambahkan, karena alasan ‘berangkat dari tongkrongan’ tadi, ia dan teman-teman di Bandung selalu berusaha untuk minimal hadir saat band-band tersebut unjuk gigi di panggung.

“Nonton, appreciate dengan hal itu. Lalu mungkin step selanjutnya adalah membeli merchandise-nya. Karena untuk band yang DIY seperti kami-kami ini, berarti bangetlah dengan adanya pembelian merchandise. Mungkin kalau misalnya showcase datang dan beli tiketnya,” jelas Ferdy.

Sejak terbentuk di sekitar tahun 2017-2018, Ferin mengaku Lisdia Records ingin mengakomodasi musisi-musisi indie pop. Gitaris Mountain Moves ini juga bercerita, saat itu jarang ada acara yang memberikan panggung kepada gaya musik tersebut. 

“Biasanya di sini ramai dan sudah terkenalnya kan [musik] kencang. Nah, ini yang bikin si Lisdia punya gagasan buat memfasilitasi teman-teman yang punya band atau sudah buat album, khususnya aliran indie pop,” tutup Ferin.

 

Hari penyelenggaraan Bising Kota Bandung

Persiapan Bising Kota Bandung disambut langit yang cerah. Kalé yang baru selesai melakukan soundcheck di lokasi penyelenggaraan langsung setuju untuk kami wawancara. Sesi bincang hanya dilakukan bersama Jaka (vokal, gitar) yang saat itu harus ditinggal oleh personel lain karena harus lebih dulu menyelesaikan pekerjaan masing-masing.

Jaka ‘Kale’ sebelum tampil di Bising Kota Bandung / Dok. Syauqi Ibrahim

 

Jaka bercerita, Kalé terbentuk saat ia dan rekan-rekannya berkuliah di Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) tahun 2017. Ia sempat memberikan kesaksian tentang bagaimana orang sekitarnya menyikapi keberagaman genre musik di Bandung.

“Yang saya rasain, setiap genre ada kubunya masing-masing. ‘Barudakan’ lah kalau di Bandung sebutannya,” ujar Jaka.

Penampilan Kale membuka Bising Kota Bandung / Dok. Fahmi Ramdhani

 

Meski beranggapan setiap genre punya kubu, vokalis berkacamata ini merasa tetap ada acara-acara yang mencampurkan berbagai genre dalam satu panggung. Ia mengambil contoh sebuah kolektif bernama Mutual Cherish, yang sempat menghadirkan Kalé di acara perdana mereka bulan April lalu.

“Itu gak cuma genre tertentu, tapi di-plot-nya per minggu. Misalnya minggu ini musik pop, terus minggu depannya hardcore. Kolektifnya gak spesifik di satu genre,” jelas Jaka.

Sembari menunggu diskusi Bising Kota dimulai, kami juga bincang bareng Bimo Atiflu pemilik AME Raincoat, yang tokonya memang berlokasi di Kyomi Space. AME Raincoat berdiri karena tugas kuliah saat ia menempuh pendidikan desain produk di ITB.

Bimo mengenang peristiwa beberapa tahun lalu dengan menceritakan arahan yang ia dapat dari sang dosen yaitu mencari produk yang ada di market, namun belum banyak terdesain, dan akhirnya pilihannya jatuh ke jas hujan.

Bimo memulai AME Raincoat saat masih kuliah / Dok. Fahmi Ramdhani

 

“Setelah riset ketemu tuh jas hujan yang dari dulu gitu-gitu doang. Dari situ awalnya. Waktu bikin pertama kali mah jelek banget. Ya, namanya anak kuliah ya. Di masa itu ya beres aja lah, dalam artian jadi tapi belum bagus banget. Baru disempurnakan dan established jadi brand tahun 2018,” kenang Bimo.

Beberapa nama musisi pernah berkolaborasi, baik dalam bentuk produk seperti The Panturas dan Basboi, atau sekadar support. Untuk kolaborasi yang sampai menjadi produk, Bimo mengatakan bahwa menemukan titik tengah antara konsep AME Raincoat dan band yang dituju punya tantangan yang cukup berat.

Pendiri AME Raincoat ini mengaku banyak mengambil inspirasi dari gaya Jepang dengan tidak membatasi kolaborasi dengan musisi yang memainkan genre tertentu. Bimo pun memastikan, ia sangat membuka diri untuk mendukung para musisi khususnya di Bandung.

Bimo di dalam toko AME Raincoat / Dok. Fahmi Ramdhani

 

Selain berkolaborasi dengan musisi, AME Raincoat juga merilis produk kolaborasi bersama salah satu festival musik besar. Di kolaborasi ini, Bimo menjelaskan visinya sebagai pemilik brand yang produknya identik dengan jas hujan untuk dipakai saat berfestivalan.

“Lu kalau konser akan banyak gerak lah, joget, moshing. Jadi lu perlu ke-compact-an dan kenyamanan juga di situ. Jadi, kami ngeluarin poncho yang bisa dilipat namanya pocketable poncho,” tutup Bimo. 

Momen yang ditunggu akhirnya tiba. Setelah menyaksikan penampilan Kalé, para pengunjung yang sudah memenuhi Kyomi Space langsung mendengarkan diskusi Bising Kota Bandung. 

Para narasumber di diskusi Bising Kota Bandung / Dok. Fahmi Ramdhani

 

Helvi merasa ‘pengkotak-kotakan genre’ yang terjadi di Bandung merupakan hal yang biasa terjadi dan hanya masalah selera saja. Gitaris Teenage Death Star ini mengambil contoh, Herry Sutresna yang kerap dipanggil Ucok dan juga sesama narasumber di diskusi selama ini tidak pernah meminta main di acara yang digarap Helvi, mengingat bedanya konsep dan format musik yang dibawakan Ucok bersama Homicide saat itu.

“Intinya adalah jangan nungguin orang untuk ngajakin. Bikin aja. Itu yang kami lakuin. Kalau pengin bikin apa pun, ya bikin. Nanti pasti suatu saat akan bersinggungan dengan yang lain,” ucap Helvi.

Helvi Sjarifuddin mengatakan perbedaan genre hanya masalah selera saja / Dok. Fahmi Ramdhani

 

Sebagai perwakilan dari generasi yang lebih muda, Dwi Lukita yang setuju dengan pernyataan Helvi menambahkan bahwa “rasis” genre yang dimaksud lebih mengacu kepada human problem dibanding region problem.

Dwi Lukita berpendapat diskriminasi genre merupakan human problem / Dok. Fahmi Ramdhani

 

“Analisa gembel nih, orang pasti kalau baru mulai bermusik. Apalagi kalau genrenya punya karakter yang kuat dan mulai nongkrong sampai akhirnya berbagi visi, spirit, dan idealisme yang sama. Biasanya selalu ada aja fase di mana idealismenya adalah identitas dia. Kayaknya itu sering terjadi di mana-mana,” ungkap Dwi.

Giliran Herry Sutresna menyampaikan pendapatnya, ia meluruskan tema yang kami pilih terlebih dahulu dalam diskusi ini. Ia merasa kata rasis yang kami sematkan mungkin lebih cocok diganti dengan ‘diskriminasi’ karena maknanya mengacu kepada mengotak-ngotakkan genre.

Herry Sutresna mendorong generasi selanjutnya untuk ‘mulai saja dulu’ / Dok. Fahmi Ramdhani

 

Musisi yang kabarnya bakal meluncurkan album solo ini pun melanjutkan pernyataannya dengan mengamini pernyataan Helvi sebelumnya. Menurut Ucok, dalam satu ekosistem itu bukan hanya perkara main musik, tapi bisa digunakan untuk belajar banyak hal dari semua orang yang ada di dalamnya.

“Kalian kalau mau belajar bisa nanya aja. Konteksnya kan sama-sama belajar. Kecuali kalau dari awal konteksnya, ‘Saya pengin jadi rockstar’. Itu beda cerita. Kalau mau belajar, bisa sama-sama belajar di komunitas. Jadi masalah diskriminasi genre, itu mah bukan diskriminasi, memang namanya preferensi,” tegasnya.

Ucok menambahkan, jika di luar sana ada yang masih merasakan ‘kesendirian’ dalam membangun ekosistem yang sesuai dengan preferensinya, suatu saat nanti bakal menemukan kawan-kawan satu frekuensi yang bisa bersama-sama untuk memulai sesuatu.

“Alasan saya kenapa di tahun 90-an punya grup hip hop, tapi nangkringnya sama anak-anak punk dan metal karena memang gak ada komunitas hip hop. Tapi bukan berarti kemudian gak mulai. Belajar bareng aja,” ujar Ucok yang mengaku skena hip hop Bandung baru lahir sekitar tahun 2000-an, 6 tahun setelah ia membentuk Homicide.

Foto bersama usai diskusi Bising Kota / Dok. Fahmi Ramdhani

 

Diskusi yang berlangsung sangat seru ini diakhiri dengan penampilan Dongker yang sudah dinanti oleh para pengunjung. Meski tampil sederhana tanpa drum, namun Delpi, Arno, dan Dzikrie tetap mampu memantik paduan suara dari para penonton yang sudah memenuhi area Kyomi Space sejak sore.

Penampilan Dongker menutup Bising Kota Bandung / Dok. Fahmi Ramdhani

 

Seperti biasa dalam setiap edisi Bising Kota, kami selalu mendapatkan pengalaman menyenangkan serta teman-teman baru dengan kisah yang tak kalah seru.

Terima kasih kepada semua pihak yang sudah mendukung Bising Kota Bandung. Sampai jumpa di kebisingan selanjutnya, Yogyakarta!

 

Penulis
Gerald Manuel
Hobi musik, hobi nulis, tapi tetap melankolis.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …

Bising Kota Yogyakarta – Masih Relevan Band Hijrah ke Jakarta Demi Karier?

Setelah Denpasar dan Bandung, Diskusi Bising Kota lanjut ke titik terakhir tahun ini, Yogyakarta. Acara ini berlangsung hari Rabu (07/08) di JRNY Coffee & Records. Dengan tema Masih Relevan Band Hijrah ke Jakarta Demi …