Perubahan Iklim dan Tantangan Konser Musik

Jun 2, 2022
Konser

Ketika bioskop dalam waktu kurang sebulan bisa mencetak sejarah baru apakah panggung-panggung konser musik juga akan segera memberikan keriaan yg sudah dua tahun lebih hilang?

Siasat demi siasat dari produsen sampai konsumen pada akhirnya harus terus dilakukan sampai amplifier kembali menyalak dan lampu panggung dinyalakan sampai titik paling terang. Biaya produksi yang mungkin berlipat, tetek bengek perizinan yang mungkin akan lebih rumit, pembatasan kapasitas, jadwal yang bisa berubah, dan sebagainya dan sebagainya, tapi ujungnya tetap saja boncos.

Di sektor industri musik, sektor pertunjukan musik hidup seperti konser dan festival musik adalah yang mendapat pukulan paling telak sejak organisasi kesehatan dunia WHO mengumumkan COVID-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020 lalu. Pertunjukan musik hidup (live music) dinilai memiliki risiko penyebaran virus karena mempertemukan orang-orang yang tak memiliki riwayat kontak fisik dalam suatu wadah interaksi fisik dan sosial yang singkat.

Konser dan festival musik adalah yang mendapat pukulan paling telak semenjak pandemi. Pertunjukan musik hidup (live music) dinilai memiliki risiko penyebaran virus yang tinggi

Dengan perhatian pada aspek sirkulasi udara dan mobilitas kerumunan yang menjadi titik rawan penyebaran virus, konser luar ruang menjadi format yang paling masuk akal. Terlebih regulasi juga mensyaratkan demikian. Setelah PSBB dan berjilid-jilid PPKM, protokol demi protokol kesehatan, dan berjuta-juta dosis vaksin, apakah pelonggaran pemakaian masker jadi aral terakhir yg harus ditempuh pelaku industri musik?

Environmentalist Jeffrey McNeely dalam artikel Nature and COVID-19: The pandemic, the environment, and the way ahead (2021) mengungkakan pandemi COVID-19 sesungguhnya adalah titik balik perhatian untuk isu-isu kepunahan keanekaragaman hayati (biodiversity loss) dan perubahan iklim. Pagebluk COVID-19, ungkap McNeely, sebetulnya bukan hal yang mengejutkan mengingat penyakit infeksi emerging dipicu oleh ledakan populasi manusia yang menganggu keseimbangan alam dan pada gilirannya memicu penyakit-penyakit dari organisme baru yang menyebar cepat bahkan sebelum gejalanya diketahui.

Environmentalist Jeffrey McNeely mengungkakan pandemi COVID-19 sesungguhnya adalah titik balik perhatian untuk isu-isu kepunahan keanekaragaman hayati dan perubahan iklim

Pada tahun 2011, penelitian berjudul Emerging infectious diseases in southeast Asia: regional challenges to control menyatakan kawasan Asia Tenggara bahkan menjadi hotspot penyebaran penyakit infeksi emerging, yang diantaranya berpotensi menjadi pandemi jika tidak segera mendapat perhatian serius. Selain menjadi hunian lebih dari 600 juta jiwa, Asia Tenggara juga menjadi rumah bagi kekayaan biodiversitas seperti hutan hujan tropis dan terumbu karang.

Di lain sisi, rumah tadi juga disesaki dengan problem-problem sosial, politik, ekonomi, teknologi, dan ekologi yang saling terkoneksi yang memungkinkan organisme-organisme untuk mengeksploitasi tempat-tempat baru untuk berkembang biak.

Pandemi COVID-19 memberikan waktu sejenak bagi alam untuk kembali menemukan keseimbangannya. Beberapa dampak positif diantaranya adalah penurunan level polusi udara dan kebisingan lingkungan sebagai imbas dari pembatasan sosial. Di lain sisi, aktivitas pertunjukan musik sebagai lini penting di industri musik hari ini punya serentetan persoalan lingkungan. Konser-konser berskala besar adalah sumber polusi suara dan cahaya. Penyelenggaraanya juga seringkali menyisakan timbunan sampah. Reportase BBC pada tahun 2019 menyebutkan sampah adalah problem besar di penyelenggaraan konser musik.

Aktifitas pertunjukan musik sebagai lini penting di industri musik hari ini punya serentetan persoalan lingkungan. Konser-konser berskala besar adalah sumber polusi suara dan cahaya. Penyelenggaraanya juga seringkali menyisakan timbunan sampah. Reportase BBC pada tahun 2019 menyebutkan sampah adalah problem besar di penyelenggaraan konser musik.

Reportase tadi menyebutkan selama setahun festival musik di Inggris menyisakan sampah hingga 23 ribu ton atau setara dengan 78 pesawat jumbo jet Boeing 747 bermuatan penuh. Sampah-sampah festival berserakan mulai dari gelas plastik, kaleng dan botol bir, koran, alas duduk plastik, kantong tidur, tenda,hingga kotoran manusia!

Aktivitas tur antarkota bahkan lintas negara dan benua meninggalkan jejak emisi karbon. Tur U2 360° Tour membutuhkan 120 truk trailer untuk mengangkut konstruksi panggung ikonik The Claw yang jejak karbonnya setara dengan penerbangan pesawat ulang alik bumi ke planet Mars.

Dengan kembalinya panggung-panggung konser, apakah alam harus menerima kembali segala dampak buruk tadi? Atau momentum pandemi akan memberikan cara pandang baru bagi semua pihak yang terlibat di bisnis showbiz, dari hulu sampai hilir?

Artikel The Day The Music Became Carbon-Neutral (2019) di The New Yorker menyebutkan aktivitas tur lima musisi di Skotlandia selama bulan April sampai September tahun 2015 menghasilkan 19,314 emisi karbon dioksida atau setara enam kali penerbangan pergi pulang New York-London. Artikel yang ditulis Amanda Petrusich tersebut menyebutkan kebijakan untuk menghentikan aktivitas tur dunia seperti yang dilakukan Coldplay selepas merilis album Everyday Life pada tahun 2019 sulit untuk dilakukan di band-band tier kedua mengingat tur adalah pendapat utama mereka dan bayaran yang lebih besar untuk bermain di luar kota.

Dengan mulai berdenyutnya kembali panggung-panggung konser, apakah alam harus menerima kembali segala dampak buruk tadi? Atau momentum pandemi akan memberikan cara pandang baru bagi semua pihak yang terlibat di bisnis showbiz, dari hulu sampai hilir?

Penulis dan aktivis Naomi Klein mengkritik aktivitas kampanye sosial yang disisipkan di panggung hiburan tidak memiliki efek kekuatan yang sepadan dengan demonstrasi massa akar rumput di jalanan, hanya melanggengkan kelas borjuis, dan tidak menyentuh esensi masalah kesenjangan sosial yang sebenarnya

Diskusi isu lingkungan memang bukan barang baru di sektor showbiz. Namun bisa dibilang, jangkauannya sebatas kalau tak mau disebut hanya sekadar tempelan pemanis belaka. Tidak lebih dari gimmick diatas panggung sekian meter dalam durasi beberapa menit. Penulis dan aktivis Naomi Klein mengkritik aktivitas-aktivitas kampanye sosial yang disisipkan di panggung hiburan tidak memiliki efek kekuatan yang sepadan dengan demonstrasi massa akar rumput di jalanan, hanya melanggengkan kelas borjuis, dan tidak menyentuh esensi masalah kesenjangan sosial yang sebenarnya.

Bonoisme, cetusnya, merujuk pada sosok Paul David Hewson alias Bono dan aktivitas-aktivitas kampanye sosial yang dilakukan vokalis U2 tersebut. Kritik lain disampaikan Michael Goodman. Dalam artikel Star/poverty space: the making of the ‘development celebrity’ (2011) dirinya menyatakan tindakan-tindakan para pesohor tetaplah berujung pada publisitas untuk mendapat pemasukan dari penjualan produk budaya populer seperti album musik atau film meski hal itu mereka lakukan dalam konteks kampanye sosial.

Kesadaran terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim seharusnya memang sudah masuk ke tataran praksis. Terlebih lagi, dampaknya semakin hari semakin nyata seperti cuaca ekstrim yang bisa mengacaukan rundown, menggeser jadwal, sampai membatalkan konser.

Terlepas dari kritik tadi, kesadaran terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim seharusnya memang sudah masuk ke tataran praksis. Terlebih lagi, dampaknya semakin hari semakin nyata seperti cuaca ekstrim yang bisa mengacaukan rundown, menggeser jadwal, sampai membatalkan konser. Di konser musik tentu kita ingin melihat penampilan musisi, bukan pertunjukan pawang hujan menggeser-geser awan.

Namun lagi-lagi pelakunya masih terbatas di sisi produsen/penyedia jasa. Seperti musisi yang konsisten mengkampanyekan isu-isu lingkungan, salah duanya seperti Navicula dan Sisir Tanah, maupun dari pengelola venue atau event organizer. Dengan kemudahan akses transportasi publik yang terintegrasi mulai dari stasiun MRT, halte bus Transjakarta, sampai terminal bus menjadikan pengelola M Bloc tidak menyediakan area parkir kendaraan agar ada “budaya jalan kaki dan pemanfaatan transportasi publik”.

Namun lagi-lagi pelakunya masih terbatas di sisi produsen/penyedia jasa. Seperti musisi yang konsisten mengkampanyekan isu-isu lingkungan, salah duanya seperti Navicula dan Sisir Tanah, maupun dari pengelola venue atau event organizer.

Dari pihak event organizer, Synchronizefest 2019 telah memberi perhatian untuk manajemen sampah festival. Untuk mengurangi sampah plastik, penyelenggaran menganjurkan penonton, peliput, sampai pengisi acara untuk membawa botol minum sendiri serta menyediakan tempat-tempat pengisian ulang air minum. Penonton juga diajak untuk mengumpulkan dan memilah sampah yang dapat ditukarkan dengan merchandise totebag. Spanduk, banner, atau backdrop yang tak terpakai setelah festival selesai didaur ulang menjadi tas.

Synchronizefest 2019 telah memberi perhatian untuk manajemen sampah festival. Penonton juga diajak untuk mengumpulkan dan memilah sampah yang dapat ditukarkan dengan merchandise totebag. Spanduk, banner, atau backdrop yang tak terpakai setelah festival selesai didaur ulang menjadi tas.

Laporan Media Indonesia menyebutkan dari total 600 meter persegi baliho yang nanti terkumpul, bisa terolah menjadi sekitar seribu ttas dengan berbagai bentuk dan ukuran. Yang terbaru, pada festival musik Sunset di Kebun yang diselenggarakan di Kebun Raya Bogor pada 21-22 Mei lalu menerapkan pembatasan merokok di area konser serta penyediaan para sukarelawan yang berkeliling membawa kantong sampah untuk memudahkan para pengunjung dalam membuang sampah mereka,

Lalu bagaimana dengan penonton?

Tanggung jawab lingkungan pertunjukan musik tidak bisa hanya dilimpahkan pada sisi hulu saja. Penonton adalah komponen dalam ekosistem pertunjukan musik, selain organizer dan promotor, artis, dan pengelola venue. Laporan dari BBC tadi menyebutkan penonton turut bertanggung jawab atas sampah-sampah pertunjukan musik seperti wristband, glitter, jas hujan, tikar plastic, sampai tenda yang terbuat dari material yang secara alamiah sulit terurai. Artinya perubahan perilaku juga harus dilakukan oleh penonton. Terlebih jika penyelenggara sudah mempunyai itikad baik untuk mengurangi beban lingkungan dari penyelenggaraan pertunjukan musik seperti yang dilakukan M Bloc atau penyelenggara Synchronizefest dan Sunset di Kebun tadi.

Penonton turut bertanggung jawab atas sampah-sampah pertunjukan musik seperti wristband, glitter, jas hujan, tikar plastic, sampai tenda yang terbuat dari material yang secara alamiah sulit terurai. Artinya perubahan perilaku juga harus dilakukan oleh penonton

Praktiknya bisa dimulai dari hal-hal sederhana. Seperti menggunakan opsi naik kendaraan umum jika venue pertunjukan musik mudah dijangkau atau menggunakan mekanisme berkendara bersama concertgoers  jika lokasi sulit untuk diakses dengan angkutan massal. Juga bertanggungjawab penuh terhadap sampah-sampah pribadi seperti kemasan makanan dan minuman, kertas tisu, atau puntung rokok.

Didukung dengan semangat eksplorasi destinasi-destinasi eksotis serta revenge tourism setelah dua tahun lebih terkungkung di rumah, gelegar sound system dan silau tata cahaya pertunjukan musik menjelajah sampai jauh. Dari lapangan sepakbola dan stadion menuju taman kota, kebun botani, lereng gunung, pinggir hutan, sampai tepi pantai. Satu sisi, tren ini memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian lokal.

Dari lapangan sepakbola dan stadion menuju taman kota, kebun botani, lereng gunung, pinggir hutan, sampai tepi pantai. Satu sisi, tren ini memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian lokal.

Sebagai gambaran, Prambanan Jazz Festival yang mulai diselenggarakan tahun 2015 di pelataran Candi Prambanan, Yogyakarta dalam satu kali penyelenggaraannya diperkirakan mendatangkan setidaknya 33,000 pengunjung yang mampu menghidupkan ekonomi lokal dari bisnis hotel, merchandise, serta toko suvenir dan oleh-oleh.

 

Di lain sisi, juga ada beban lingkungan yang tersisa dari penyelenggaraan pertunjukan musik. Lingkungan yang punya kontribusi untuk kehidupan manusia melebihi fungsi dekoratif sebagai latar panggung yang  photogenic atau dalam konteks hari ini, Instagramable.  Beban yang harus dipikul bersama agar pertunjukan musik pada akhirnya bisa memberi kebahagiaan bagi semua makhluk.

 

 


 

Penulis
Fakhri Zakaria
Penulis lepas. Baru saja menulis dan merilis buku berjudul LOKANANTA, tentang kiprah label dan studio rekaman legendaris milik pemerintah Republik Indonesia dalam lima tahun terakhir. Sehari-hari mengisi waktu luang dengan menjadi pegawai negeri sipil dan mengumpulkan serta menulis album-album musik pop Indonesia di blognya http://masjaki.com/

Eksplor konten lain Pophariini

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …

CARAKA Suarakan Berbagai Emosi di Album Terbaru NALURI

Unit pop asal Tegal, CARAKA resmi luncurkan album bertajuk NALURI (15/12). Melalui sesi wawancara yang berlangsung pada Senin (16/12), CARAKA membagikan perjalanan band dan hal yang melatarbelakangi rilisan terbarunya.     CARAKA merupakan band …