Pica Fest 2022, Merayakan Skena Musik Lokal Bali

Aug 9, 2022

Pica Fest sukses digelar selama 4 hari dari 4-7 Agustus, menghadirkan lebih dari 10 ribu penonton setiap harinya dan menyisakan ribuan penonton di luar yang tidak memiliki tiket. Pernyataan ini atas bukan asumsi penulis, namun terlontar dari salah satu panitia lapangan yang sudah berjaga day to day nya.

Sebagai contoh saja, di hari keempat (Minggu, 7 Agustus), ada 6000 lebih penonton di luar yang mengantri di gerbang masuk dari sejak pukul tujuh malam, berharap ada penonton yang keluar lebih dulu sehingga venue di dalam bisa lebih memungkinkan untuk menampung pertukaran penonton yang keluar masuk.

Pembatasan jumlah penonton sebesar 10 ribu ini datang dari kebijakan pemerintah setempat yang menurut panitia untuk menanggulangi membludaknya penonton di dalam venue di Taman Niti Mandala, Renon yang kapasitasnya luas, namun tidak terlalu memungkinkan untuk menampung lebih dari 10 ribu penonton, paling tidak dari segi kenyamanan dalam berlalu lalang dan menikmati festival secara nyaman.

Cuaca cerah mengiringi hari terakhir gelaran festival, secerah hari-hari sebelumnya selama festival ini digelar. Puluhan band unjuk gigi untuk memberikan penampilan terbaik mereka di 3 stage, dari Main Stage, Pica Magz stage (stage medium) dan Narmaloka stage yang berukuran lebih kecil yang diperuntukkan untuk DJ dan penampilan intim yang ditempatnya tidak jauh dari pintu masuk untuk menyambut penonton memasuki venue festival. Diantara stage itu bertabur beberapa area yang diisi oleh booth clothing dan food stall.

Headliner di hari terakhir adalah Lolot, The Dissland, Joni Agung ditutup oleh Tipe X yang bermain di Main Stage. Sementara di Pica Magz Stage, headlinernya adalah Basboi, Bangkutaman, Kunto Aji dan Parensi Angels. Di antara headliner, penonton disuguhkan dengan penampilan band-band lokal yang luar biasa. Pola ini juga ada dari sejak hari pertama sampai hari ketiga.

Ada banyak faktor yang menjadi ukuran dari suksesnya Pica Fest tahun ini jika dilihat dari besarnya antusiasme penonton yang datang. Pertama adalah besarnya nama yang sudah melekat di festival yang digelar tahunan ini dan ternyata ini adalah Pica Fest pertama kali digelar setelah pandemi.

Kedua, daerah Renon yang berlokasi di pusat kota Denpasar secara lokasi menjadi strategis karena secara akses bisa menampung penonton lokal Bali yang memang haus akan hiburan. Ketiga, konsep festival yang menggabungkan antara musik dan pameran clothing ini ternyata bisa membuat orang tidak melulu menonton festival namun bisa berbelanja produk clothing lokal dengan harga terjangkau.

Pun, Food Stall yang beragam dengan harga miring pun juga bisa jadi faktor penting yang menjaga penonton betah berlama-lama menikmati festival. Dan yang keempat, tentu saja harga tiket yang terjangkau (tiket dibanderol seharga 35 ribu) menjadi faktor penting yang menjadikan weekend masyarakat Bali menjadi weekend yang berkesan tanpa harus mengeluarkan kocek lebih.

Hal yang menarik yang perlu dicatat dari Pica Fest adalah bagaimana festival ini mampu mengapresiasi musisi lokal Bali untuk unjuk gigi bersama band-band besar yang sudah punya nama secara nasional. Presentase 80% band lokal dan 20% band nasional adalah pola menarik dalam sebuah festival yang seharusnya ada di festival terutama festival yang digelar di luar ibu kota.

Bagaimana festival seharusnya menjadi kesempatan untuk band-band lokal di suatu daerah untuk didengar, dilihat untuk kemudian berkembang sehingga menjadi besar. Ini adalah jawaban bagi kegelisahan beberapa pihak tentang festival dengan line up yang itu-itu saja.

Keterlibatan band-band lokal baru yang potensial juga menjadi catatan tersendiri bagaimana Pica Fest mau menampung bakat-bakat baru yang mungkin belum pernah terdengar di radar skena musik nasional. Musisi seperti Tjok Bagus, band seperti Sugar Thrills, Kacir dan Sourmilk dan masih banyak lagi menjadi bukti bahwa skena musik layak melayangkan lampu sorotnya ke Bali.

Sudah saatnya semua festival harusnya bisa mencontoh Pica Fest yang mendukung pergerakan skena musik lokal.

 

Foto oleh @pica_fest.


 

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

5 Alasan Superman Is Dead Enggak Bubar

Pophariini berkesempatan untuk meliput Festival 76 Indonesia Adalah Kita Solo di De Tjolomadoe, Karanganyar pada Sabtu (26/10). Acara ini dimeriahkan beberapa band punk-rock tanah air, salah satunya Superman Is Dead (SID). Kami berkesempatan menemui …

5 Kolaborasi yang Wajib Disimak di Jazz Goes to Campus 2024

Jazz Goes to Campus akan digelar hari Minggu (17/11) di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Tahun 2024 merupakan pergelaran ke-47 festival tahunan ini.     View this post on Instagram   A post …