Pop Hari Itu : The Rhythm Kings – Kasih Bersemi (1972)

Oct 9, 2017

Sulit membayangkan sebuah kenyataan bahwa ada grup band yang menyerap irama rock dari Deep Purple, Jimi Hendrix dan Santana bisa menggubah alunan musik ‘pop sepoi-sepoi’ yang adem seperti yang ada dalam lagu “Kenangan Abadi” atau “Kasih Bersemi”. Sulit juga membayangkan raungan gitar Richie Blackmore bisa menempel pada komposisi lagu-lagu sehangat pantai ketika mendengar “Maafkanlah Beta”, “Teringatlah” atau “Sepatah Kata”.

Yang ada di pikiran saya, yang lumayan sudah lama mendengarkan piringan-piringan hitam dari band macam The Sandpipers, The Coswills, Classic IV atau The Associations, semua nama-nama pop yang sarat akan harmoni vokal dan musik yang empuk bak marshmallow, album yang konon berjudul Kasih Bersemi (menurut keterangan sumber yang cukup kuat) dari grup asal Medan, Sumatera Utara yang bernama The Rhythm Kings ini justru memenuhi syarat representasi musik dari beberapa grup yang saya sebutkan tadi.

 

Saya mungkin mendengar suara xylophone di sana, suara yang tipis di sini, harmoni vokal di sana-sini, hiasan organ, petikan gitar yang tak ada niatan untuk menyalak seperti layaknya virtuoso rock paruh 70an. Rhythm Kings dan musiknya kelewat rapihnya, persis seperti melihat seragam dan poni The Beatles ketika mentas. Biar sudah geleng-geleng kepala dan penuh dengan peluh, rambut mereka pantang acak-acakan.

Lebih dari 45 tahun sudah sejak vinyl/piringan hitam ini dirilis lewat Indra Records, The Rhythm Kings sendiri masih belum familiar, mereka tenggelam oleh nama-nama besar seperi Koes Plus, Mercy’s, The Rollies, AKA, sampai rekan sekampung mereka, Panbers.

Terbentuk tahun 1967, anak-anak pop Medan yang terdiri dari Mawi Purba (bas/vokal), Mawan Purba (gitar/vokal), Reynold Panggabean (drum -yang kemudian digantikan Ayun) Muchsin (bas), Darma Purba (saksofon) mengawali karier mereka sebagai band pengiring pesta-pesta dansa di sekolahan.

 

Meski pengiring band sekolah, sebuah sumber menyiratkan bahwa mereka punya ‘dua kepribadian’. Di satu sisi mereka seperti serigala hutan yang galak melolong ketika mereka pentas di panggung-panggung terbuka di seputar Sumatera Utara sampai Banda Aceh, menghantam panggung dengan mahakarya rock klasik dari Deep Purple, Santana dan Black Sabbath. Sementara di acara formal kampus dan sekolahan mereka berubah bentuk menjadi ‘anak-anak rumahan manis’ yang lebih suka memainkan nomor-nomor dari Beatles, Bee gees sampai Ray Charles.

Konsep bermusik dan grup macam apakah ini? Bahkan untuk diterapkan hari ini saja pun, saya belum pernah melihat yang seperti ini. Jujur kaget dan heran. Saya tentu sama herannya dengan produser Jason “Moss” Connoy yang memasukan lagu paling rock dari band ini, “The Promise” ke dalam kompilasi Those Shoking Shaking Days yang fenomenal itu. Sungguh ironis!

____

 

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

Bising Kota Kuliner Jogja: Petualangan Selera, Lanjut Gosipin Skena Bersama Indra Menus

Rekomendasi kuliner di Jogja ditemani penjelajah kuliner yakni Martinus Indra Hermawan atau yang sering dikenal dengan nama panggilan Indra Menus

Setelah 2 Tahun, Dere Akhirnya Rilis Single Baru Berjudul Biru

Selang dua tahun dari kelahiran album penuh perdana Rubik, Dere akhirnya kembali menghasilkan karya terbaru dalam tajuk “Biru” yang dilepas hari Kamis (31/10).     Single “Biru” menggambarkan pertemuan antara cinta dan ragu dengan …