Pure Wrath – Hymn to the Woeful Hearts

Dec 16, 2022

Pure Wrath, proyek one man band yang didalangi Januaryo Hardy merilis album ketiganya bertajuk Hymn to the Woeful Hearts ini di bawah naungan label asal Eropa, Debemur Morti Productions.

Menurut penelusuran saya, Ryo juga adalah pemilik dari Insidious Soundlab, sebuah laboratorium mixing/mastering yang khusus menangani band-band extreme metal. Hal ini tentu berdampak pada kualitas produksi yang akan dibahas di beberapa paragraf selanjutnya.

Sampul album menjadi hal pertama yang menarik perhatian saya. Sajian visual dari Aghy R. Purakusuma sangat sejalan dengan konsep cerita album ini. Konsep liriknya sendiri menceritakan tentang duka dan kerinduan seorang ibu terhadap anaknya yang hilang saat pembantaian 1965.

Bisa dibilang penulisan lirik Pure Wrath berkembang pesat. Bagaimana tidak, dua album sebelumnya banyak menceritakan hal personal Ryo dengan alam dan kampung halamannya. Topik tak lazim dalam black metal, namun tidak diulangnya pada album ini.

Bagaimana dengan musiknya? Mari kita lanjutkan pembicaraan di paragraf dua. Sebagai pemilik Insidious Soundlab, kualitas produksi tidak perlu dipertanyakan. Evolusi sound Pure Wrath melompat jauh dari dua album sebelumnya yang masih memegang prinsip ‘sound black metal harus busuk’. Bahkan, drum yang terdengar di dua album tersebut adalah hasil gambar dari software.

‘Pertobatan’ produksi sound ini sudah terasa di EP The Forlorm Soldier. Kehadiran drummer asal Ukraina, Yurii Kononov cukup ‘memanusiakan’ drum dalam lagu-lagu Pure Wrath di EP tersebut maupun album terbarunya ini. Dice Midyanti yang mengisi cello dan piano pada EP itu, juga kembali terlibat untuk memperkaya warna musik dan aransemen album ini.

Bicara aransemen, keenam tracknya memiliki alur yang dinamis. Petikan gitar akustik pada lagu “The Cloak of Disquiet” membuka rangkaian album dengan sederhana sekaligus mengantisipasi kesuraman setelahnya. Paduan suara pada akhir nomor ini menambah kesan simfoni yang megah.

 

Beralih ke “Presages from a Restless Soul”. Dua detik pertama sangat berkesan. Isian drum yang membuka lagu ini terdengar sangat tidak black metal. Hanya dua detik, namun mencuri perhatian. Solo gitar sederhana diiringi ketukan drum yang “melompat-lompat” di menit ke 3:52 adalah bagian paling menyenangkan dari lagu ini.

Lalu ada “Footprints of the Lost Child” yang berdurasi 9:32 menit, menjadikannya track terpanjang. Kepiawaian Ryo dalam meracik lagu membuat durasi selama ini tidak membosankan karena banyak terselip kejutan yang mengundang decak kagum pendengarnya.

Pada bagian awal menuju pertengahan, suasana intens seketika tone down saat semua instrumen bermain satu bentuk sederhana, menyambut suara synthesizer yang juga dimainkan serupa. Vokal clean setelahnya agak mengingatkan pada karakter suara Papa Emeritus dari Ghost.

Setelah disajikan musik atmosferik black metal suram intensitas tinggi, dan raungan vokal parau yang menyampaikan kisahnya, track terakhir yang berjudul sama dengan album, hadir bak air, memadamkan api yang membakar rumah pada sampul album.

Komposisi balada dipimpin petikan gitar elektrik, seakan memberi harapan untuk kegelapan dan kesengsaraan yang dikisahkan kelima nomor sebelumnya. Walau bersifat instrumental, namun semua bagiannya terasa sangat puitis tanpa harus mengatakan apa-apa.

Jika harus mengkritik, mungkin penggunaan lirik bahasa Inggris untuk menyampaikan ceritanya. Entah apa alasan Ryo menulis liriknya dalam Bahasa Inggris. Mungkin untuk ‘bermain aman’, atau alasan lain. Namun yang jelas, pesan akan lebih tersampaikan dan relevan kepada pendengar jika menggunakan bahasa Indonesia, mengingat kejadian berdarah tersebut terjadi di negara ini.

Hymn to the Woeful Hearts menawarkan sensasi lain dari black metal, tidak selalu menimbulkan kengerian, namun juga bisa memberikan emosi melankolis mendalam lewat jeritan-jeritan kesengsaraannya. 

Senang rasanya menemukan Hymn to the Woeful Hearts di antara rilisan metal yang mulai membosankan dengan hanya sekadar menawarkan skill. Secara konsep, produksi, dan kualitas sound, sudah seharusnya album ketiga dari Pure Wrath ini menjadi standar baru rilisan metal ke depannya. Hail Pure Wrath!


 

Penulis
Gerald Manuel
Hobi musik, hobi nulis, tapi tetap melankolis.

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …