Rekomendasi PHI: Buku Soekamti Goes To Papua – Endank Soekamti

Jan 25, 2018

Mencatat dan mendokumentasikan proses kreatif bukan pekerjaan populer buat musisi. Apalagi kalau frekuensi tur dan masuk studio cukup tinggi. Akibatnya banyak informasi-informasi penting seringkali berceceran. Padahal seringkali dokumentasi-dokumentasi tadi punya andil besar dalam perjalanan karir bermusik.

Sedikit dari musisi yang punya kesadaran untuk mencatat dan mendokumentasikan  adalah Endank Soekamti. Sejak album “Angka 8” yang dirilis tahun 2012 silam, vokalis dan bassist Erix, gitaris Dory, serta  drummer Ari Hamzah yang saat itu masih tergabung, mulai secara khusus merekam aktivitas di dapur rekaman. Kegiatan ini dilanjutkan saat rekaman album “Soekamti Day” yang dilakukan di Gili Sudak, Nusa Tenggara Barat pada tahun 2016.

Bisa dibilang Endank Soekamti menaikkan standar baru dalam pendokumentasian proses kreatif. Jika sebelumnya medium foto lebih banyak digunakan sebagai sarana berkomunikasi, band bentukan tahun 2001 ini menjawab kebutuhan fans yang ingin lebih dekat dengan idolanya dengan mengunggah video di kanal YouTube setiap hari. Muatan videonya lalu kemudian berkembang tidak hanya melulu aktivitas rekaman, namun juga dokumentasi saat tour sampai hal-hal lainnya.

Di album terbaru “Salam Indonesia”, Erix, Dory, dan Tony Saputro (menggantikan Ari Hamzah yang keluar pada tahun 2016) memilih lokasi cukup prestisius untuk rekaman: di atas kapal pesiar Kurabesi yang berlayar di perairan Papua selama 30 hari. Kali ini catatan perjalanan itu diabadikan dalam buku Soekamti Goes To Papua yang ditulis oleh Iwan Pribadi.

Mengambil ranah bahasan yang spesifik, Iwan dengan cermat menulis detail demi detail aktivitas Endank Soekamti selama berlayar menyusuri perairan kepala burung Papua mulai dari Sorong, Biak Numfor, sampai Manokwari. Termasuk salah satu destinasi wisata paling populer di Indonesia, Raja Ampat.

Pengalaman pernah bekerja di sebuah lembaga konservasi dan rehabilitasi orangutan membuat Iwan jeli menuliskan kekayaan alam dan sosial budaya. Salah satunya kepatuhan Iwan akan penulisan nama ilmiah spesies flora dan fauna. Masih sering dijumpai kesalahan penulisan nama ilmiah, bahkan di media-media arus utama. Terlihat sepele mungkin, namun menunjukkan masih abainya penulis kita soal kaidah penulisan.

Selain itu Iwan juga mampu mengangkat kearifan lokal masyarakat setempat. Dari budaya mop atau humor ala Papua, cara menghindari ganasnya gigitan serangga agas (gnat), sampai menangkap ikan dengan cara molo atau menyelam tanpa alat bantu hanya dengan kacamata selam tradisional dan tombak. Pendek kata, sebagai sebuah catatan perjalanan buku ini jauh lebih baik daripada buku-buku tulisan travelblogger karbitan yang selalu berputar pada formula sekian juta keliling ke sana ke mari.

Namun obyek dalam buku ini tetaplah Endank Soekamti sebagai band. Perjalanan Erix, Dory, dan Tony beserta kru-krunya (mereka punya kadar popularitas yang sama, mungkin ini yang membuat Iwan menjadikannya mereka sebagai salah satu obyek tulisan) juga punya misi sosial, namun esensi dari pelayaran selama sebulan penuh ini adalah rekaman album.

Aktivitas rekaman dituliskan dengan cukup rinci, namun secara porsi kalah dengan trip report seperti menyelam bersama hiu paus, pendakian menuju puncak Wayag, atau melihat penyu belimbing bertelur. Bab yang benar-benar secara spesifik membahas rekaman hanya ada dua bab, yakni saat Tony Saputro harus melakukan rekaman drum di kabin kapal yang panas. Juga saat mereka bertiga mendadak punya ide untuk rekaman di sebuah studio di Manokwari, yang secara kualitas tentu berbeda jauh dengan di Yogyakarta.

Harus diakui dalam beberapa tahun terakhir, Endank Soekamti mampu melampaui kerja-kerja “standar” sebagai anak band. Erix aktif sebagai vlogger before it was cool, membuat dirinya juga disibukkan dengan berbagai konten untuk kanal YouTube Endank Soekamti. Sejak tahun 2015 Endank Soekamti juga punya semacam aktivitas corporate social responsibility dalam bentuk DOES University yang memfokuskan pada pelatihan multi media. Belum lagi berbagai gimmick lain, seperti pembuatan film pendek berformat 360-degree, boxset, dan sebagainya.

Tentu akan lebih menarik jika hal-hal yang terkait dengan posisi Erix cs. sebagai anak band dikulik lebih dalam lagi. Termasuk sejauh mana peran Erix dalam proses pembentukan ide kreatif dalam bermusik band. Meski demikian, inisiatif untuk menulis cerita perjalanan harus diapresiasi sekaligus ditiru oleh musisi-musisi lain.

____

Penulis
Fakhri Zakaria
Penulis lepas. Baru saja menulis dan merilis buku berjudul LOKANANTA, tentang kiprah label dan studio rekaman legendaris milik pemerintah Republik Indonesia dalam lima tahun terakhir. Sehari-hari mengisi waktu luang dengan menjadi pegawai negeri sipil dan mengumpulkan serta menulis album-album musik pop Indonesia di blognya http://masjaki.com/

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …