Rekomendasi: Sekaranggi – Delapan
Artis: Sekaranggi
Album: Delapan
Label: Notive (Notion Collective)
Saat mendengarkan album penuh, sudah lama tidak segelisah ini. Terakhir, saya merasakannya untuk album Roekmana’s Repertoire milik Tigapagi. Album berisi empat belas nomor berdurasi hampir satu jam tanpa jeda yang rilis percis delapan tahun yang lalu di bulan yang sama, September. Lalu, saya bertanya dalam hati. Apakah angka delapan memiliki arti khusus bagi pecandu gelap nan sunyi?
Percakapan berlatar tawa yang terputus menjadi pembuka album ini. Sejak awal energinya sudah tebal. Bunyi piano sengaja disuguhkan untuk menggiring pendengarnya ke ruang nestapa. Durasi lagu ini terbilang durasi terpanjang untuk sebuah awalan. Liriknya pun manusiawi, “Menangislah, tanpa ragu-ragu. Bicaralah walau kau tak mampu, bicara padaku.”
Beranjak ke nomor dua, Sekaranggi memilih bersahutan dengan Bilal Indrajaya. Mereka sama-sama mengungkapkan rasa kecewa. “Tak akan ada habisnya jahatmu. Dan tak akan ada artinya maafku,” penggalan lirik yang dibawakan Sekaranggi dan yang tak kalah pilu disambut Bilal dengan, “Lekas pergilah dan berpaling dariku. Sebelum harapmu, akanku menjadi terlanjur abadi. Jangan kau tatap aku. Kecupi bibirku. Pulihkanlah kecewaku.”
Dua nomor barusan ‘gila’ sekali. Pendengar dibuat berdebar menanti kejutan berikutnya. Inilah lagu “Delapan Kita”. Delapan memang tak pernah berakhir seperti kenangan yang sedang berputar-putar di tempat yang sama bernama ingatan. Bunyi liriknya harapan yang santun untuk pergi dari seseorang. Jika delapan benar-benar bisa menjadi angka keberuntungan. Namun, tidak selalu untuk hubungan percintaan. Kehidupan yang masih berbaik hati memberikan pelajaran, “Berlalulah derita kita, bahagia kita. Berlalulah cerita kita, delapan kita”.
Sekaranggi tak hanya menggaet Bilal, ia juga mempersilakan Meda Kawu berbagi nafas di nomor keempatnya. Lagu yang terang di kepala. Mengingatkan tentang setengah tahun yang sudah berlalu di 2021. Ternyata kita semua berhasil melewatinya.“Sekejap saja semasa kini berlalu. Lepaskanlah saja penat ini kan berlalu,” lirik yang mengajarkan, kalau begitu mari kita buat saja janji yang baru. Toh dalam satu tahun, bulan yang lain Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juli, Agustus, September, Oktober, November, dan Desember perlu kebagian.
Kisah mabuk cinta tersiar di lagu kelima. Setiap manusia memiliki tujuan yang sama begitu hatinya sedang berbunga-bunga. Ia pasti menghindari rasa kecewa, setelah percaya bahwa ini akan selamanya, “Ku tersipu-sipu dan termakan rayu. Melayang nan jauh. Hanyut dan meluruh. Kau terbangkan daku yang terjebak rindu. Melayang nan jauh. Hanyut dan meluruh.”
Pergantian iklim perasaan yang terdalam berpihak pada petikan gitar “Dulu”, lagu keenam di album ini. “Apakah kau tahu luka lama itu masih seperti yang dulu. Apakah kau tahu selama ini aku masih aku yang dulu,” penggalan lirik dari seseorang yang belum berani melepaskan. Nyata, manusia tidak mudah untuk memercayai kekuatan di masa depan karena ia takut. Semua bisa terjadi hanya karena perubahan telah dimulai dari hari ini.
Menuju satu lagu terakhir di album ini. Pilihan “Berteduh, Berlabuh” tidak pernah sesuai bagi yang ingin membuka hati. Bagaimana masalah hati bisa terselesaikan? Jika tidak ada pembicaraan yang dimulai. “Suara hati tak menentu pada siapa kan mengadu. Di mana kan ku berteduh dari hujan air mataku. Di mana kan ku berlabuh dari badai amarahku,” penggalan lirik galau yang diakhiri amarah lewat gebukan drum serta dering telepon menuju akhir lagu.
Kegiatan merenung tidak memiliki jangka waktu. Seperti mendengarkan lagu ini, saya kembali mengingat Selatan Kemang sepuluh tahun yang lalu. Lokasi penuh nostalgia bertumbuh menjadi sosok yang dewasa. “Terlintas ingatan di ujung jalan kupulang. Larut dalam hangat hilang terpendam sedihku,” menjadi lirik pembuka di nomor terakhir ini. Seseorang menekan tombol telepon dan tersambung tanpa lawan bicara. Kita bisa saja gagal terhubung dengan seseorang namun kenangan tak pernah terabaikan.
Album ini begitu intens secara keseluruhan. Tak ada jeda untuk tidak mendengarkan semua lagu, selama hampir 35 menit. Saya menanti Delapan dalam format yang bisa dipegang sebelum diputar, yaitu cakram padat, kaset, maupun piringan hitam bukan masalah. Terlepas dari artikulasi bernyanyi Sekaranggi yang kadang tidak begitu jelas. Aransemen musik yang diberikan berhasil menyempurnakan makna untuk lagu-lagunya. Tepuk tangan juga diberikan untuk para pemain musik album ini. Selamat!
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …