Resensi: Barasuara – Pikiran dan Perjalanan

Apr 1, 2019

Artist: Barasuara
Album: Pikiran dan Perjalanan
Label: Darlin’ Records
Peringkat Indonesia: 8/10

Nama adalah doa. Dan Barasuara konsisten seperti arang yang masih terbakar dalam album terbaru mereka. Sangat energetik, meledak-ledak berapi-api dan gawatnya berpotensi membakar dan menjalar. Persis seperti bara api. Itu yang saya rasakan ketika mendengar album kedua Barasuara, Pikiran dan Perjalanan yang lebih membara ini.

Dari lagu pembuka “Seribu Racun” yang mantap menggebu-gebu dengan riff gitar fuzz yang tajam bermanuver jadi tenang nan-melodius di bagian verse-nya. Lalu perlahan diberondong dengan chorus yang menggelora. Tidak lupa menyelipkan perubahan ketukan dan mood di bagian bridge-nya sebelum kembali ke chorus-nya. Dinamika yang seru. Dan formula itu muncul di keseluruhan lagu di album ini.

Seperti di “Pikiran dan Perjalanan” yang lebih kalem, sedikit funky. Dan tanpa bertele-tele chorus-nya langsung memberondong telinga. Dinamikanya menyenangkan. Ada rasa lega ketika musiknya berubah tenang dan diambil alih oleh Puti dan Asteriska yang bernyanyi dan mengendurkan liang telinga yang hampir meregang karena aransemen padat. Di akhir lagu Iga tidak lupa menambahkan solo gitar ala Tom Morello (Rage Against The Machine). Meskipun sebetulnya kalau tidak ada juga tidak mengapa. Tapi kabar baiknya, solo gitarnya keren.

Di lagu yang menjadi singel, “Guna Manusia”,  gitar fuzz tajam langsung merobek telinga dengan drum primitif menggebu. Dinamikanya lagi-lagi ciamik. Dengan perubahan kord dan tempo serta mood lagu yang menukik. Mendengarkan lagu berikutnya “Pancarona”, rasanya seperti perjalanan ngebut ke Bandung dan berhenti sejenak di rest area untuk sekedar meluruskan kaki, sebats duls, sekalian ke toilet. Namun sayangnya pak supir menyuruh bergegas dan kembali tancap gas dengan musik yang merayap dan memuncak oleh letupan drum Marco, dan ditutup oleh permainan synthesizer yang wow sekali.

Di lagu berikutnya “Tentukan Arah” yang sedikit tenang saya kembali merasa di PHP. Karena bagian chorus-nya kembali tancap gas dalam-dalam. Dari sini semuanya mulai terasa terlalu membara. Meskipun tensi yang memuncak diturunkan dengan Puti dan Asteriska yang bernyanyi “tentukan arah”. Tapi penyelamat lagu ini adalah ketika mendengarkan di akhir lagu Iga bernyanyi dengan sendu lirik ‘hapuskan waktu dari nurani’ hanya ditemani gitar akustik. Sentuhan kecil yang vital. Bahkan terdengar ada kord gitar yang tidak terpencet dengan benar. Bagaikan oase di tengah padang pasir. Sentuhan ini harusnya hadir lebih banyak untuk jadi penawar dan membuat lagu-lagu Pikiran dan Perjalanan menjadi lebih manusiawi.

Karena pada nomor berikutnya “Masa Mesias Mesias” stamina telinga benar-benar diuji. Secara mengejutkan telinga digempur musik padat, bass dan drum yang riuh, lengkap dengan perkusi membuat saya harus mematikan dulu album ini untuk mengistirahatkan telinga dari gempuran setengah jalan album Pikiran dan Perjalanan.  

***

Barasuara, 2019 / dok. Barasuara.

Album ke 2 selalu punya tantangan, terutama ketika album debutnya menuai kesuksesan. Barasuara terdiri dari musisi dengan skill dan kemampuan di atas rata-rata, dan separuhnya malah sukses berprofesi sebagai produser musik. Mereka bisa melakukan apa saja, termasuk album ke 2 yang hasilnya melebihi album sebelumnya. Namun apakah takaran dan kebutuhannya sudah tepat, itu pertanyaannya.

Di sini produser musik berperan penting. Tapi cukup satu saja. Dengan separuh personil Barasuara yang terbiasa berperan sebagai produser untuk musisi lain nampaknya malah membuat mereka kebablasan mengerjakan materi mereka sendiri. Bukannya kekurangan tapi justru terlalu banyak ide. Semua lagu memiliki riff gitar maut, bass dan drum yang menggebu, lirik-lirik yang sangat puitis belum lagi dinamika perubahan mood tiap lagu yang begitu cantik. Saking penuhnya mendengarkan sebuah lagu sensasinya seperti mendengarkan 1 album penuh. Dan mendengarkan 9 lagu dalam Pikiran dan Perjalanan adalah bagaikan mendengarkan 9 album penuh. 

Dinamika lagu-lagu di album Pikiran dan Perjalanan ini dirasa terlalu padat. Padahal berkenan sekali apabila Barasuara memperlakukan lagu penutup “Tirai Cahaya” di bagian akhir lagunya tanpa digempur lagi dengan distorsi gitar dan cymbal drum. Meskipun itu berarti mengulangi formula lagu “Taifun”. Atau merelakan lagu “Haluan” yang bernunansa ragga/dance-hall ala Jamaika ini menjadi lagu Barasuara yang sepenuhnya joget-able dan fun seperti umumnya musik Jamaika. Tapi alih-alih chorus-nya kembali membara, dengan perubahan mood lagu naik turun dan tidak menyisakan ruang untuk kejutan.

Keseluruhan album ini terdengar dibuat begitu sempurna. Bahkan terlalu sempurna sehingga kurang manusiawi. Padahal penting memberikan ruang untuk kesalahan dan kesederhanaan. Seperti memberikan ruang bagi lirik–lirik puitis Iga agar tidak bertabrakan dengan megahnya musik dan aransemen Barasuara. Kedua hal yang jadi kekuatan dan kelebihan Barasuara itu di album ini sangat disayangkan malah jadi saling berteriak dan berlomba meminta perhatian. 

Barasuara. Foto: Provoke!

Meskipun begitu tidak bisa dipungkiri bila album kedua ini Barasuara merupakan salah satu pencapaian estetika tertinggi dalam musik rock di Indonesia, bahkan mungkin dalam beberapa dekade ke belakang. Belum ada grup musik rock lain di Indonesia yang bisa menyaingi pencapaian estetika seperti Barasuara. Baik dari segi lirik, aransemen hingga detail produksi. Dan bila bicara estetika dalam musik rock, rasanya tidak berlebihan jika menyandangkan Barasuara di era sekarang dengan apa yang pernah terjadi pada band legendaris 90an, Dewa di tahun 2000an. Terutama dari segi pencapaian estetika, pasar dan terutama ambisi.

Terlepas dari berbagai masukan di atas, Barasuara sudah melakukan PR nya dengan baik. Pencapaian estetika yang ambisius, musiknya tetap membara dan membakar, riff-riff dan notasi vokalnya yang anthemic dan catchy as f*ck, lirik puitisnya yang semakin tinggi, sehingga bisa cukup dinikmati ‘tipis-tipis’ saja. Vokal Iga pun banyak berkembang. Lebih bernyanyi dan bisa lebih sangar.

Dalam Pikiran dan Perjalanan Barasuara jelas memilih untuk terus tancap gas, bersenang-senang di panggung dengan energinya dan menghibur para Penunggang Badai. Karena sekali lagi nama adalah doa. Tidak terbayang bila Barasuara harus menahan emosinya agar tidak meledak-ledak apalagi harus lebih kalem dan menenangkan. Karena nama adalah doa, dan kalau benar itu terjadi mungkin Barasuara harus mengganti namanya dengan: Teduhsuara. Dan Penunggang Badai mau tidak mau menjadi: Penunggang Semilir.

 

____

Penulis
Anto Arief
Suka membaca tentang musik dan subkultur anak muda. Pernah bermain gitar untuk Tulus nyaris sewindu, pernah juga bernyanyi/bermain gitar untuk 70sOC.

Eksplor konten lain Pophariini

Rekomendasi 9 Musisi Padang yang Wajib Didengar

Di tengah gempuran algoritma sosial media, skena musik independen Padang sepertinya tidak pernah kehabisan bibit baru yang berkembang

5 Musisi yang Wajib Ditonton di Hammersonic Festival 2024

Festival tahunan yang selalu dinanti para pecinta musik keras sudah di depan mata. Jika 2023 lalu berhasil menghadirkan nama-nama internasional seperti Slipknot, Watain, dan Black Flag, Hammersonic Festival kali ini masih punya amunisi untuk …