Resensi: Bungen – Melankoli Kota
Mendengar Bungen bak menemukan hidden gem. Batu permata folk yang lama tersimpan dalam perut bumi, paling tidak ini menurut saya, yang belum pernah mendengar tentang beliau.
Bedanya, di Jakarta tak ada perut bumi, di Papua mungkin ada. Satu-satunya batu permata yang saya tahu di ibukota ini mungkin ada di Jatinegara atau Blok M Square yang sayangnya hari ini sudah lenyap. Sedikit intermezzo.
Permata yang tersisa mungkin ada di guratan-guratan jujur Bungen, sang ‘primadona tongkrongan’ mengutip apa yang disebut Jimi dan Malau di Ngobryls.
Bungen dan gitar menurut saya adalah tipikal pemandangan yang sudah jarang ditemukan; ia bumbu penyedap tongkrongan yang hilang di tiap kumpulan-kumpulan masyarakat perkotaan hari ini. Kita tak bisa menemukan ‘pemandangan Bungen’ ini dimana-mana: Di Menteng, Tebet, Cipete, Kemang, apalagi Senopati (atau Senoparty) tak mungkin ia ada di sana.
Tapi mungkin anggapan saya ini salah, karena jika saya mau sedikit saja melipir ke gang-gang kecil di belakang Cikini misalnya, atau Pasar Senen, masih ada. Daerah Menteng Pulo, Tambora, mungkin masih ada. Klender, Jatinegara, sedikit di Manggarai, mungkin masih. Di ujung gang kampus UI juga mungkin ada, tapi mungkin dulu era 90-an. Sekarang? Entah.
Di daerah-daerah yang punya keresahan, sudut-sudut problematika, di situ Bungen bisa kalian jumpai dengan gitar yang ‘dibekep’, teman satu-satunya yang mungkin senarnya jarang diganti.
Bungen dan musiknya menambah daftar nama satu lagi penyanyi folk yang patut diberi spidol hitam. Paket yang ditawarkan sangat tebal, menawarkan kegelisahan tentang apa aja. Mungkin selera nya ‘toku’ atau istilah yang lebih sopan, ‘tradisional’, mengacu kepada topik-topik selingkaran dari Dylan, Neil, Van Ronk, dan lainnya. Kesan pertama saya mendengar, saya meraba ada rasa-rasa sensitivitas Bob Lind atau kegelisahan Tom Buckley dengan suara getarnya.
Keindahan syair dan lirik langsung memancar menyelinap masuk telinga begitu saya menyetel satu per satu lagu dari suguhan pita hitam kaset bersampul ala Reed di Sally Can’t Dance.
“Intermezzo”, riff gitar tebal, pembuka aktivitas yang pas. Sebuah ajakan: ‘Mari melumat pagi, menggumuli hari’, Saya tiba-tiba membayangkan jika Morfem menggarap ulang lagu ini dengan segenap riff yang heavy. Total melek!
Paket syair dan notasi memang jadi paket yang dibawa alumni UGM ini dalam setiap perenungannya. Saya kena banget di “Sabtu Sore Ini”, tentang waktu yang fiksi. Gagasan superb! Di sisi lain, Saya bisa menghirup aroma penyesalan ujung malam yang dilolongi Bungen di “Melankoli Kota” bak langsung dari pos Hansip di gang dengan lampu jalan yang kosong.
Tapi “Rindu Itu Biasa (Tapi Aku Suka)”, repetisi ‘cinta receh’ yang dikocok bak versi akustik dari ‘Big Me’ (sambil makan permen Footos lebih oke) itu benar-benar bahaya! Receh-receh spektakuler.
Ketika saya masih berpikir bahwa “Kau adalah ribuan pulau yang menumbuhkan padi” dan segenap kiasan-kiasan tentang ibu di “Aku (Doa Ibu)” adalah picisan, namun ini membuktikan bahwa setiap tongkrongan pada akhirnya butuh pulang ke pangkuan-pangkuan yang menenangkan.
Menyimak Bungen, saya makin yakin bahwa setiap pencarian musik yang saya jumput dan geluti dari pagi sampai petang, ujung-ujungnya ‘nostalgia kocokan enam senar dari bodi kopong’ ini memang penutup hari yang manis namun keras menampar.
Jika lagu adalah lukisan, sebagaimana kita tidak boleh melupakan lukisan ekspresionis ala Affandi atau aliran realis Basuki Abdullah, kita sebaiknya juga tidak boleh lupa bahwa sketsa-sketsa Henk Ngantung juga pemberi sumbangsih terbesar dalam sejarah seni lukis Indonesia. Sepenting itu keberadaan Bungen dan sketsa-sketsa indah yang ditulisnya dalam skena musik tanah air.
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Solois Asal Binjai, Palep Angkat Kisah Masa Lalu di Single Kedua
Solois asal Binjai, Sumatera Utara bernama Palep resmi merilis single kedua bertajuk “You Still Call My Baby” hari Sabtu (30/11). Lagu ini bercerita tentang seseorang yang terjebak di situasi yang tidak bisa melupakan semua …
High No Man Menghadirkan Karya Reggae Dub yang Berbeda
Proyek reggae dub asal Tuban, Jawa Timur bernama High No Man resmi meluncurkan maxi-single bertajuk More High yang berisikan 2 lagu yaitu “Beat Down Babylon” dan lagu yang berjudul sama dengan maxi-single. Materi ini …