Resensi: Bungen – Melankoli Kota

May 25, 2021
Bungen

Mendengar Bungen bak menemukan hidden gem. Batu permata folk yang lama tersimpan dalam perut bumi, paling tidak ini menurut saya, yang belum pernah mendengar tentang beliau.

Bedanya, di Jakarta tak ada perut bumi, di Papua mungkin ada. Satu-satunya batu permata yang saya tahu di ibukota ini mungkin ada di Jatinegara atau Blok M Square yang sayangnya hari ini sudah lenyap. Sedikit intermezzo.

Permata yang tersisa mungkin ada di guratan-guratan jujur Bungen, sang ‘primadona tongkrongan’ mengutip apa yang disebut Jimi dan Malau di Ngobryls.

Bungen dan gitar menurut saya adalah tipikal pemandangan yang sudah jarang ditemukan; ia bumbu penyedap tongkrongan yang hilang di tiap kumpulan-kumpulan masyarakat perkotaan hari ini. Kita tak bisa menemukan ‘pemandangan Bungen’ ini dimana-mana: Di Menteng, Tebet, Cipete, Kemang, apalagi Senopati (atau Senoparty) tak mungkin ia ada di sana.

Tapi mungkin anggapan saya ini salah, karena jika saya mau sedikit saja melipir ke gang-gang kecil di belakang Cikini misalnya, atau Pasar Senen, masih ada. Daerah Menteng Pulo, Tambora, mungkin masih ada. Klender, Jatinegara, sedikit di Manggarai, mungkin masih. Di ujung gang kampus UI juga mungkin ada, tapi mungkin dulu era 90-an. Sekarang? Entah.

Di daerah-daerah yang punya keresahan, sudut-sudut problematika, di situ Bungen bisa kalian jumpai dengan gitar yang ‘dibekep’, teman satu-satunya yang mungkin senarnya jarang diganti.

Bungen dan musiknya menambah daftar nama satu lagi penyanyi folk yang patut diberi spidol hitam. Paket yang ditawarkan sangat tebal, menawarkan kegelisahan tentang apa aja. Mungkin selera nya ‘toku’ atau istilah yang lebih sopan, ‘tradisional’, mengacu kepada topik-topik selingkaran dari Dylan, Neil, Van Ronk, dan lainnya. Kesan pertama saya mendengar, saya meraba ada rasa-rasa sensitivitas Bob Lind atau kegelisahan Tom Buckley dengan suara getarnya.

Keindahan syair dan lirik langsung memancar menyelinap masuk telinga begitu saya menyetel satu per satu lagu dari suguhan pita hitam kaset bersampul ala Reed di Sally Can’t Dance.

“Intermezzo”, riff gitar tebal, pembuka aktivitas yang pas. Sebuah ajakan: ‘Mari melumat pagi, menggumuli hari’, Saya tiba-tiba membayangkan jika Morfem menggarap ulang lagu ini dengan segenap riff yang heavy. Total melek!

Paket syair dan notasi memang jadi paket yang dibawa alumni UGM ini dalam setiap perenungannya. Saya kena banget di “Sabtu Sore Ini”, tentang waktu yang fiksi. Gagasan superb! Di sisi lain, Saya bisa menghirup aroma penyesalan ujung malam yang dilolongi Bungen di “Melankoli Kota” bak langsung dari pos Hansip di gang dengan lampu jalan yang kosong.

Tapi “Rindu Itu Biasa (Tapi Aku Suka)”, repetisi ‘cinta receh’ yang dikocok bak versi akustik dari ‘Big Me’ (sambil makan permen Footos lebih oke) itu benar-benar bahaya! Receh-receh spektakuler.

Ketika saya masih berpikir bahwa “Kau adalah ribuan pulau yang menumbuhkan padi” dan segenap kiasan-kiasan tentang ibu di “Aku (Doa Ibu)” adalah picisan, namun ini membuktikan bahwa setiap tongkrongan pada akhirnya butuh pulang ke pangkuan-pangkuan yang menenangkan.

Menyimak Bungen, saya makin yakin bahwa setiap pencarian musik yang saya jumput dan geluti dari pagi sampai petang, ujung-ujungnya ‘nostalgia kocokan enam senar dari bodi kopong’ ini memang penutup hari yang manis namun keras menampar.

Jika lagu adalah lukisan, sebagaimana kita tidak boleh melupakan lukisan ekspresionis ala Affandi atau aliran realis Basuki Abdullah, kita sebaiknya juga tidak boleh lupa bahwa sketsa-sketsa Henk Ngantung juga pemberi sumbangsih terbesar dalam sejarah seni lukis Indonesia. Sepenting itu keberadaan Bungen dan sketsa-sketsa indah yang ditulisnya dalam skena musik tanah air.

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

Setelah 7 Tahun, Risky Summerbee & The Honeythief Kembali Rilis Karya Anyar

Setelah beristirahat 7 tahun, Risky Summerbee & The Honeythief asal Jogja akhirnya resmi kembali lewat single anyar bertajuk “Perennial” hari Minggu (21/04). Lagu ini merupakan karya pembuka untuk album mini terbaru yang mereka jadwalkan …

Rekomendasi 9 Musisi Padang yang Wajib Didengar

Di tengah gempuran algoritma sosial media, skena musik independen Padang sepertinya tidak pernah kehabisan bibit baru yang berkembang