Resensi: Lightcraft – Us Is All

Mar 11, 2019

Artist: Lightcraft
Album: Us is All
Label: Lightcraft
Peringkat Indonesia: 7/10

Rekaman indie-rock atmosferik skala panggung besar yang layak didengar

Menjadi band yang sering naik-turun panggung di festival-festival di luar negri adalah sebuah keuntungan bagi Lightcraft. Bagaimana festival di luar negri telah membentuk mereka menjadi sebuah band yang utuh secara musik juga kemasan performance.  Ironisnya, diapresiasi audiens di luar lebih baik ketimbang di rumahnya sendiri.

Menyedihkan? Tidak juga karena menurut saya tidak ada batasan untuk bagaimana band membawa musiknya. Sekali musik dibuat, apalagi sudah diunggah untuk didengarkan oleh dunia via layanan musik digital, maka musik adalah milik semua orang.

Hal ini malah sebuah keuntungan bagi band sekelas Lightcraft yang memang sedari awal memilih untuk menulis lagu-lagu mereka dalam bahasa Inggris, bahasa universal yang dipahami oleh seluruh pendengar musik dari belahan dunia manapun. Alasan ini yang lantas mengusir kegelisahan terlebih menyarankan band ini untuk menulis lirik dengan bahasa Indonesia.

Pasar bisa diciptakan dan pasar Lightcraft adalah pendengar musik dunia, dari Jepang, Rusia, Korea Selatan, mereka yang menunggu Lightcraft dalam perhelatan festival musik di negara-negara yang akan dikunjunginya minimal setahun sekali. Jika panggung telah mereka taklukan, yang lantas menjadi pe-er besar adalah bagaimana mempertahankan atau meningkatkan mutu rekaman musik mereka dari album ke album.

Saya kebetulan beruntung memegang versi Jepang dari CD album Us in All yang kabarnya dicetak terbatas hanya untuk pasar di negri Sakura beberapa hari sebelum mereka pergi tur ke sana. Menyimak 12 lagu di Us in All, pikiran saya langsung dibawa ke sebuah cakrawala yang luas, mungkin padang rumput atau padang hijau di pegunungan, bisa juga lembah dingin yang diapit gunung es, dingin dan luas. Bagaimana saya tergugah ketika mendengarkan “Into The Wild” – nomor favorit saya – benar-benar menghadirkan pengalaman berkendara di jalan tol yang membelah gunung, cocok untuk bertualang.

Kolaborasi spesial dengan beberapa musisi, seperti Ananda Badudu (di “Home”), Neonomora (di “… And the Morning Comes Too Soon”) terdengar keren. Anak-anak Lightcraft semacam bisa melihat kecocokan antara lagu ini dengan karakter masing-masing musisi. Hasilnya, Ananda dan Neonomora bisa mengeksekusinya dengan baik.

Balik lagi soal pe-er besar mempertahankan mutu rekaman tadi, mungkin satu-satunya kekurangan album ini belum bisa mencapai sound produksi yang mumpuni. Saya rasa ke depannya untuk ukuran band seperti Lightcraft yang kadung harum di panggung luar negri, perlu menggandeng music producer atau music director luar yang jangan-jangan bisa membuka ruang-ruang musikal yang baru untuk mereka selami. Atau mungkin tangan-tangan dingin di departemen pos-production sehingga sound yang dihasilkan akan jauh lebih baik, lebih – katakanlah – atmosferik langit ketujuh.

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

Bank Teruskan Perjalanan dengan Single Fana

Setelah tampil perdana di Joyland Bali beberapa waktu lalu, Bank resmi mengumumkan perilisan single perdana dalam tajuk “Fana” yang dijadwalkan beredar hari Jumat (29/03).   View this post on Instagram   A post shared …

Band Rock Depok, Sand Flowers Tandai Kemunculan dengan Blasphemy

Setelah hiatus lama, Sand Flowers dengan formasi Ilyas (gitar), Boen Haw (gitar), Bryan (vokal), Fazzra (bas), dan Aliefand (drum) kembali menunjukan keseriusan mereka di belantika musik Indonesia.  Memilih rock sebagai induk genre, Sand Flowers …