Resensi : Monkey To Millionaire – Bipolar
Kembali ke akar, album keempat yang layak jadi koleksi.
Artist: Monkey To Millionaire
Album: Bipolar
Label: Monkey To Millionaire
Peringkat Indonesia: 7/10
Sangat menarik melihat fakta bahwa band seperti Monkey To Millionaire bisa keluar dari arus tren band yang ‘menahan-nahan’ album mereka untuk dirilis sebelum Pilpres atas nama pasar atau strategi. Dirilisnya Bipolar pada Januari ini adalah bukti bahwa band ini hanya mendedikasikan hidup dan cintanya untuk musik, sisa mungkin hanya masa bodoh.
Bipolar, sampulnya telak sekali berbicara: Gambar wajah seseorang terbungkus topeng monyet dengan mata terpejam. Eksekusi sederhana yang meledek atau memang bentuk dari sikap lelah atau acuh musisi atas apa yang terjadi terhadap Indonesia saat ini, sama seperti ketika mereka bicara tentang “Ego” – yang sayangnya hanya satu-satunya lagu bahasa Indonesia – yang mana jadi topik menarik yang layak diulas.
Menyimak Bipolar, saya harus jujur bahwa semacam ada benang merah yang erat antara Lantai Merah dan album ini. Pola kunci-kunci dan notasi manis kembali bertaburan di Bipolar persis seperti apa yang telah mereka lakukan di Lantai Merah. Mereka (atau fans) bahwa Monkey To Millionaire mungkin memang terlahir untuk pola-pola ini (mungkin juga tidak).
Lantas lewat Bipolar bisa diketahui bahwa dua album diantara itu, Inertia dan Tanpa Koma ini tak lain hanya sekadar eksperimentasi dari musisinya yang mencoba bermain-main dengan kunci dan notasi yang diluar kebiasaan. Jadi apakah harus dianggap sebagai sesuatu yang serius, bisa jadi tidak.
Pun kalau ditarik ke sesuatu yang besar, tidak ada album-album dari band yang harus bagus semua. Pasti ada salah satu atau dua yang cacat sampai akhirnya bisa menemukan warna mereka sesungguhnya. Dan di Bipolar, Monkey To Millionaire telah menemukan warnanya, berjalan di rel mereka. Apakah salah jika musisi yang telah bereksplorasi kemudian kembali ke akar atau pola lama? Kalau ada kritikus musik yang bilang ini hanyalah bentuk kemalasan si musisi dalam berkarya, mungkin kritikus perlu ditiup ubun-ubunnya.
Kalau sudah begini, tak ada lagi yang perlu dikritisi dari album ini selain dari lagu bahasa Indonesia yang seharusnya bisa lebih banyak (tapi ini balik ke pilihan), sampul yang mungkin masih bisa lebih digali lagi atau tulisan credit yang kekecilan di bagian belakang serta kurangnya visual dari band ini yang kadang menjadi hal kecil yang penting. Overall, jika kalian sama jatuh cintanya seperti kami, CD ini layak dicari, karena kabarnya hanya dicetak terbatas.
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …
CARAKA Suarakan Berbagai Emosi di Album Terbaru NALURI
Unit pop asal Tegal, CARAKA resmi luncurkan album bertajuk NALURI (15/12). Melalui sesi wawancara yang berlangsung pada Senin (16/12), CARAKA membagikan perjalanan band dan hal yang melatarbelakangi rilisan terbarunya. CARAKA merupakan band …