Resensi : Monkey To Millionaire – Bipolar

Jan 28, 2019

Kembali ke akar, album keempat yang layak jadi koleksi. 

Artist: Monkey To Millionaire
Album: Bipolar
Label: Monkey To Millionaire
Peringkat Indonesia: 7/10

Sangat menarik melihat fakta bahwa band seperti Monkey To Millionaire bisa keluar dari arus tren band yang ‘menahan-nahan’ album mereka untuk dirilis sebelum Pilpres atas nama pasar atau strategi. Dirilisnya Bipolar pada Januari ini adalah bukti bahwa band ini hanya mendedikasikan hidup dan cintanya untuk musik, sisa mungkin hanya masa bodoh.

Bipolar, sampulnya telak sekali berbicara: Gambar wajah seseorang terbungkus topeng monyet dengan mata terpejam. Eksekusi sederhana yang meledek atau memang bentuk dari sikap lelah atau acuh musisi atas apa yang terjadi terhadap Indonesia saat ini, sama seperti ketika mereka bicara tentang “Ego” – yang sayangnya hanya satu-satunya lagu bahasa Indonesia – yang mana jadi topik menarik yang layak diulas.

Menyimak Bipolar, saya harus jujur bahwa semacam ada benang merah yang erat antara Lantai Merah dan album ini. Pola kunci-kunci dan notasi manis kembali bertaburan di Bipolar persis seperti apa yang telah mereka lakukan di Lantai Merah. Mereka (atau fans) bahwa Monkey To Millionaire mungkin memang terlahir untuk pola-pola ini (mungkin juga tidak).

Lantas lewat Bipolar bisa diketahui bahwa dua album diantara itu, Inertia dan Tanpa Koma ini tak lain hanya sekadar eksperimentasi dari musisinya yang mencoba bermain-main dengan kunci dan notasi yang diluar kebiasaan. Jadi apakah harus dianggap sebagai sesuatu yang serius, bisa jadi tidak.

Pun kalau ditarik ke sesuatu yang besar, tidak ada album-album dari band yang harus bagus semua. Pasti ada salah satu atau dua yang cacat sampai akhirnya bisa menemukan warna mereka sesungguhnya. Dan di Bipolar, Monkey To Millionaire telah menemukan warnanya, berjalan di rel mereka. Apakah salah jika musisi yang telah bereksplorasi kemudian kembali ke akar atau pola lama? Kalau ada kritikus musik yang bilang ini hanyalah bentuk kemalasan si musisi dalam berkarya, mungkin kritikus perlu ditiup ubun-ubunnya.

Kalau sudah begini, tak ada lagi yang perlu dikritisi dari album ini selain dari lagu bahasa Indonesia yang seharusnya bisa lebih banyak (tapi ini balik ke pilihan), sampul yang mungkin masih bisa lebih digali lagi atau tulisan credit yang kekecilan di bagian belakang serta kurangnya visual dari band ini yang kadang menjadi hal kecil yang penting. Overall, jika kalian sama jatuh cintanya seperti kami, CD ini layak dicari, karena kabarnya hanya dicetak terbatas.

Penulis
David Silvianus
Mahasiswa tehnik nuklir; fans berat Big Star, Sayur Oyong dan Liem Swie King. Bercita-cita menulis buku tentang budi daya suplir

Eksplor konten lain Pophariini

Banyak Bocoran tentang Festival Musik dalam Bising Kota Depok

Bising Kota Jabodetabek melanjutkan perjalanan dengan singgah di Monty’s Kitchen & Coffee, Depok hari Senin (18/03). Diskusi kali ini menghadirkan 2 narasumber yaitu Gerhana Banyubiru selaku Founder The Sounds Project dan Nikita Dompas yang …

Telah Berpulang Firza Achmar Paloh SORE

Berita duka menyelimuti musik Indonesia pagi ini. Vokalis, gitaris, sekaligus penulis lagu band SORE, Firza Achmar Paloh atau dikenal Ade Paloh meninggal dunia di usia 47 tahun hari Selasa (19/03). Informasi muncul pertama kali …