Royalti Musik: Bukan Soal Rupiah, Tapi Hak yang Terarah

Mar 2, 2022
Royalti Musik

Pandemi menjadi peristiwa menyakitkan untuk semua kalangan. Tak terkecuali musisi. Selang beberapa bulan setelah diterapkan kuncitara, mereka praktis kehilangan pekerjaan. Tak sedikit pula yang menjual alat musik karena hasil dari royalti musik tak dapat diandalkan. Terpaksa dilakukan untuk menyambung hidup.

Sementara suara-suara sumbang masih terus berkumandang. Terobosan-terobosan untuk tetap mengisi pundi-pundi lewat penampilan daring juga mendapat nyinyiran dari masyarakat. “Musisi kan udah banyak uang, ngapain pake jualin gitar dan ngamen online,” ungkap seorang netizen dalam kolom komentar Instagram.

Sebuah realitas, predikat di masyarakat yang tak pernah lepas; musisi adalah simbol kemewahan. Tapi di balik itu semua, banyak dari mereka punya kerapuhan yang sangat tinggi terutama di tulang dan sendi pundi-pundi.

“Musisi kan udah banyak uang, ngapain pake jualin gitar dan ngamen online?

Pandemi menafikan persepsi kemewahan. Baik musisi kelas atas ataupun selingkaran café sama-sama ambruk! Hanya segelintir yang dapat bertahan karena punya fundamental finansial yang cakap. Mereka terbiasa mengelola pendapatan dan aset dari lagu-lagu yang diciptakan.

Musisi dan pencipta lagu yang seperti itu biasanya terlihat dari kemapanan mereka membangun management. Karena kebiasaan tersebut, mereka juga berani untuk memperjuangkan hak-hak komersialnya dan melakukan scale up di lini showbiz.

Namun kabar buruknya, jumlah mereka jauh lebih sedikit dari jumlah musisi dan pencipta lagu yang tidak cakap manajerial sehingga berdampak pada ketidakbiasaan hingga keengganan untuk memperjuangkan hak komersial mereka. Sederhananya, tidak mau ribet dengan hal administratif dan strategis.

Musisi adalah simbol kemewahan. Tapi di balik itu banyak dari mereka punya kerapuhan terutama di tulang dan sendi pundi-pundi

Hal ini tentu menjadi peluang para pebisnis yang sejak awal berniat cari peruntungan. Mulai dari kelas yang menyasar dengan sedikit cuan sampai yang sudah niat menggarong sejak awal. Bahkan ada juga yang aji mumpung bisa menunggangi peraturannya untuk sektor bisnis yang lain. Jelas, pola ketidak pedulian dengan hak komersial menjadi potensi cuan yang sangat besar bagi para pebisnis yang menggantungkan omzetnya di sini.

 

DIMULAI DARI ROYALTI

“Silakan mainkan musik saya secara gratis!” ujar seorang pencipta lagu di tengah-tengah maraknya isu soal royalti, tepatnya setelah Presiden meneken PP No.56 Tahun 2021 di bulan Maret 2021. Suara tersebut merupakan refleksi keputus-asaan dan kebingungan mereka tentang karut marutnya persoalan LMK dan LMKN yang tidak terinformasikan dengan baik.

Bertahun-tahun lamanya, persoalan royalti ini sudah berjalan. Bahkan selalu mendapatkan keluhan dari pengusaha HOREKA (hotel, restaurant, dan kafe) karena pada praktiknya ditagih oleh banyak lembaga kolektif. Maka muncullah LMKN yang menjadi jawaban untuk keluhan mereka. Dengan kata lain, sekarang tinggal satu lembaga yang mengumpulkan via LMKN dan kemudian didistribusikan kepada para LMK untuk diteruskan kembali kepada musisi dan pencipta lagi. Idealnya seperti itu.

“Silakan mainkan musik saya secara gratis!” Suara tersebut merupakan refleksi keputus-asaan dan kebingungan mereka tentang karut marutnya persoalan LMK dan LMKN yang tidak terinformasikan dengan baik

Namun seiring berjalan, pembentukan LMKN yang ada dalam PP No.56/2021 dan Permenkumham Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik ternyata memicu kontroversi.

Alih-alih membantu tata kelola industri musik Indonesia menjadi lebih baik dengan teknologi Sistem Informasi Musik dan Lagu (SILM), tapi justru berpotensi melanggengkan praktik pengambil alihan fungsi negara oleh korporasi yang ditunjuk tanpa proses yang transparan dan akuntabel.

Dalam kedua peraturan tersebut terjadi penyerahan kewenangan yang sangat besar kepada korporasi. “Apalagi penunjukan korporasi tersebut dilakukan secara tertutup, tidak transparan & terindikasi mengandung konflik kepentingan, tanpa melalui uji publik dan konsultasi dengan para pencipta dan para pemangku kepentingan yang lain. Sedangkan royalti yang digunakan merupakan hak-hak para musisi dan pencipta lagu.” Jelas Indra Lesmana, inisiator Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia (AMPLI) yang baru-baru ini mengeluarkan pernyataan sikap menolak peraturan tersebut.

Alih-alih membantu tata kelola industri musik, tapi justru berpotensi melanggengkan praktik pengambil alihan fungsi negara oleh korporasi yang ditunjuk tanpa proses yang transparan dan akuntabel

Secara teknis, korporasi tersebut mematok potongan 20% dari hasil royalti musik yang sebelumnya telah dipotong 20% oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Belum selesai sampai di situ, korporasi yang bersangkutan juga menjalankan peran pelaksana harian dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti yang kebijakannya diputuskan tanpa melibatkan musisi dan pencipta lagu untuk persetujuan.

Sebagaimana tersirat dalam UU Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, menyadari sepenuhnya bahwa masalah royalti sebagai amanah dari pencipta, haruslah diurus dan ditangani secara transparan oleh lembaga-lembaga non-komersial.

“Faktanya saat ini, SILM tersebut belum dibuat tetapi korporasi sudah melakukan penarikan royalti. Sampai saat ini potensi royalti musik yang tidak diklaim jumlahnya sangat besar dan ini akan diklaim menjadi milik LMKN untuk digunakan sebagai dana operasional.” Ungkap Endah Widiastuti, musisi dan pencipta lagu dalam press release yang dikeluarkan AMPLI bertajuk “Revolusi Industri Musik Indonesia Dimulai dari Royalti”, Senin 20 Desember 2021.

Indra Lesmana, inisiator Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia (AMPLI) yang baru-baru ini mengeluarkan pernyataan sikap menolak peraturan tersebut

Penetrasi AMPLI harus kita apresiasi. Bagi mereka, segala sesuatu yang melibatkan atau menggunakan dana dari musisi dan pencipta lagu haruslah transparan dan terbuka agar musisi dan pencipta lagu tahu persis bagaimana tujuan serta bentuk pengembangan yang dilakukan.

Jika semua diawali melalui proses yang tertutup dan tidak transparan, hal ini menimbulkan trust issue di tengah para musisi dan pencipta lagu. Sekaligus menjadi “PR” berat bagi AMPLI yang sudah dipercaya oleh 2000 lebih (per Maret 2021) pendukung yang menandatangani petisi di change.org/dimulaidariroyalti meminta pemerintah membatalkan PP56/2021 dan Permenkumham 20/2021.

 

PUTAR PERSPEKTIF

Rasanya kalau kita permasalahkan soal informasi yang tidak jelas, jadi tidak akan pernah selesai dan terperangkap dalam lubang yang sama. Semulus apapun saluran informasi jika yang bersangkutan tidak ambil pikiran dan hatinya untuk isu ini akan tetap jadi tidak berarti.

Kenapa memahami hak komersial menjadi penting? Bukankah tidak semua karya harus diukur dengan rupiah? Apakah tujuan kita bermusik selalu untuk komersil?

Mungkin kini sudah harusnya musisi dan pencipta lagu putar perspektif. Sebagai orang yang melahirkan karya sudah seharusnya paham apa saja yang akan bersinggungan dengan karyanya, termasuk soal aturan-aturan yang dibuat apakah bertentangan atau tidak dengan hak komersialnya.

Kenapa memahami hak komersial menjadi penting? Bukankah tidak semua karya harus diukur dengan rupiah? Apakah tujuan kita bermusik selalu untuk komersil?

Tidak ada yang salah dari deretan pertanyaan itu, namun tidak bisa jadi pembenaran saat di satu sisi ada yang menyalah gunakan hak kalian. Jika musisi dan pencipta lagu tidak mempermasalahkan rupiah, maka tidak ada salahnya peduli dengan hak yang bisa kalian dapat.

Tapi bila kita peduli dengan hak dan memutus mata rantai “mental proyek”, maka kultur industri musik yang baik akan dapat tercipta

Kebiasaan kita “memaklumi” masalah agar tidak menjadi kisruh adalah bentuk pembiaran atas penindasan hak yang terus terjadi. Merdekakah kita jika terus seperti ini? Atau mungkin kita nyaman untuk dijajah negeri sendiri? Sadar atau tidak, orang yang lebih paham akan memanfaatkan peluang ini untuk mengambil keuntungan demi dirinya sendiri atau kelompoknya.

Tapi bila kita peduli dengan hak dan memutus mata rantai “mental proyek”, maka kultur industri musik yang baik akan dapat tercipta. Kenyamanan juga serta merta akan dapat dirasa.

Teknologi pusat data dan lagu jika dikelola secara transparan maka akan dapat diandalkan untuk semua pihak. Siapapun yang mau mengambil keuntungan dengan musik maka akan dapat sesuai porsinya secara terang. Tidak ada lagi mental mengelabui yang sangat kita sukai sebagai insan.

Musik memang bukan untuk diperdagangkan, namun ada hak komersil yang bisa dimanfaatkan. Musik memang bukan soal pendapatan, namun ada perjuangan yang terus disuarakan.

Bagi kalian yang tidak peduli dan sudah cukup mendapat penghidupan di luar musik, maka bersyukurlah. Karena banyak teman-teman kalian yang menggantungkan seluruh hidupnya dengan karya mereka dan terus berjuang untuk bertahan hidup. Maka tidak ada salahnya berjuang bersama atas profesi yang sama.

Musik memang bukan untuk diperdagangkan, namun ada hak komersil yang bisa dimanfaatkan. Musik memang bukan soal pendapatan, namun ada perjuangan yang terus disuarakan

Bisa jadi, gerakan #DimulaiDariRoyalti menjadi awal perubahan industri musik yang lebih baik, terbuka, dan progresif terhadap hak-hak pemiliknya yang terarah dan tidak salah langkah. Kami penikmat musik, hanya bisa menanti agar tercipta dan terbiasa dengan kultur bisnis yang saling terbuka.

Kami rela mengeluarkan uang untuk mendengar lagu-lagu kalian di platform streaming hingga restauran asal itu sampai ke tangan kalian! Ketika soal pembajakan merajarela dan sukar ditata ulang, maka tata kelola royalti dengan digitalisasi adalah sebuah harapan besar.

Bukan tidak mungkin setelahnya tercipta koperasi untuk musisi hingga bisnis-bisnis sektor lain yang terintegrasi dengan musik. Sehingga, sewaktu krisis datang kembali, musisi tidak perlu lagi menjual alat musik mereka. Tapi mampu bertahan hidup dengan ditopang hak komersialnya.

 


 

Penulis
Dzulfikri Putra Malawi
Jurnalis yang sudah tidak bekerja di media lagi dan sedang menikmati hari-hari menjadi Sr. Content pada salah satu agency digital. Menulis buku LOKANANTA bersama dua kawan dan masih aktif bermusik. Karyanya dapat dikunjungi di https://putramalawi.wordpress.com/ dan https://www.youtube.com/user/soulonsound

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …