Selain Lokananta dan Rock in Solo, Ada Apa di Solo?

Dec 7, 2023

Ada apa di Solo? Menjelajahi kota ini dalam waktu seminggu, memungkinkan dengan mudah. Namun, bagaimana kita seharusnya menyebut kota ini, Solo atau Surakarta, atau sebaiknya kita abaikan saja? Kota ini memiliki peran penting dalam melestarikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, ditambah dengan keramahan penduduknya yang membuatnya dikenal sebagai kota yang hangat dan ramah. Dengan berbagai jenis kuliner yang beragam, Solo terasa lebih hidup dari yang saya perkirakan. Hiburan dan pertunjukan yang melimpah membuatnya cocok untuk menghabiskan waktu luang atau berlibur.

Mengingat kembali bagaimana sebuah kota tumbuh dan berkembang dapat ditandai dengan berbagai banyak hal, salah satunya adalah dengan melihat perkembangan aktivitas budaya dan seni di kota tersebut. Apalah arti kota tanpa sebuah aktivitas seni dan budaya? Pasar seni dan pertunjukan di Kota Solo sangat dipengaruhi oleh dari keberadaan energi adiluhung dua Keraton Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan Surakarta membuat kekayaan budaya tradisional begitu mendalam dan melekat kuat.

Di luar itu semua, ada kabar yang menjadi sorotan utama di subsektor musik Kota Solo, adalah tentang nafas baru Lokananta yang baru saja mengalami revitalisasi dan kebetulan baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-67. Kilas balik mengenang masa lalu, perusahaan percetakan milik Pemerintah ini sebelumnya bertugas menyokong kebutuhan RRI (Radio Republik Indonesia). Seiring berjalannya waktu Lokananta kemudian menjadi sentral industri rekaman dan menjadi bagian industri musik popular Indonesia saat itu. Ada beberapa nama musisi legenda terkenal Indonesia yang di antaranya Bing Slamet, Sam Saimun, Christine, Didi Pattirane, Ki Nartosabdho dan musisi asli Solo sendiri ada Waljinah, dan Gesang sang Maestro Keroncong sekaligus pencipta lagu legendaris Bengawan Solo.

Mengingat kembali bagaimana sebuah kota tumbuh dan berkembang dapat ditandai dengan berbagai banyak hal, salah satunya adalah dengan melihat perkembangan aktivitas budaya dan seni di kota tersebut. Apalah arti kota tanpa sebuah aktivitas seni dan budaya?

Sebagai salah satu cagar budaya keberadaan Lokananta saat ini menjadi harapan banyak sebagian besar musisi di Indonesia untuk menjadikanya sebagai lumbung budaya. Tidak berhenti di situ, aktifnya kembali Lokananta juga menjadi wadah untuk bertaruh musisi lokal terus berkembang. Memang belum genap setahun penuh wajah baru Lokananta itu diresmikan, namun hanya ada harapan yang tidak bisa dipastikan kedepannya dan sejauh ini belum ada tanda-tanda yang menggairahkan untuk dapat dirasakan saat ini.

Dalam beberapa tahun terakhir boleh diakui Ekosistem musik Solo bisa dikatakan kembali memunculkan taringnnya, ini ditandai dengan maraknya pertunjukan maupun festival dan munculnya alternatif venue-venue yang baru. Pada saat ini gelaran “Rock In Solo” mungkin menjadi festival musik yang paling menarik untuk disimak di luar sana. Meski terasa eksklusif sebagai pertunjukan musik keras, RIS dapat digadang menjadi salah satu festival yang mewakilkan wajah identitas Kota Solo secara global. Bagaiamana tidak? Festival Rock Cadas yang selalu memikat ribuan penonton memang tidak bisa diragukan begitu saja. 

Kota Solo secara administratif memang telah berbeda dengan tetangganya. Seperti, Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, Sragen dan Boyolali. Namun kenyataanya gelombang positif yang terjadi selalu melibatkan kontribusi dari kota terdekatnya. Maka ekosistem musik yang berlangsung tidak bisa dipungkiri jika hanya dibaca dengan melihat Kota Solo sendiri.

Memang belum genap setahun penuh wajah baru Lokananta itu diresmikan, namun hanya ada harapan yang tidak bisa dipastikan ke depannya dan sejauh ini belum ada tanda-tanda yang menggairahkan untuk dapat dirasakan saat ini

Sebenarnya itu semua dapat dipermudah dengan pencatatan sebuah indeks musik yang memetakan suara bising Kota Solo, namun yang terjadi sekarang tugas pengarsipan maupun pencatatan masih menjadi pekerjaan rumah yang harus terus dibenahi di kota ini. Bagaimanapun juga ini akan terasa sangat membantu jika semua komponen stakeholder ekosistem musik Solo juga ikut tercatat di dalamnya, yang meliputi konsep 5PV, Pemusik, Penggiat, Penjaja, Pendukung, Peminat, dan Venue. 

Itu semua menjadi terasa sangat melebar dan akan menjadi pekerjaan yang panjang dan mebutuhkan waktu bertahun-tahun menyelesaikannya. Jika itu bisa terwujud setidaknya tidak akan ada kebingungan yang terjadi, tidak akan ada ketidaktahuan yang terjadi, tidak ada akan ketertinggalan terjadi, semua tercatat rapi dalam indeks dan mudah untuk diketahui perkembangannya. Namun, seiring berjalannya waktu, terkadang terjadi dinamika naik-turun tanpa sebab yang jelas. 

Pada saat ini gelaran “Rock In Solo” mungkin menjadi festival musik yang paling menarik untuk disimak di luar sana. Meski terasa eksklusif sebagai pertunjukan musik keras, RIS dapat digadang menjadi salah satu festival yang mewakilkan wajah identitas Kota Solo secara global

Kekecewaan juga tumbuh ketika konsistensi para stakeholder terganggu oleh suatu keadaan atau hal tidak diinginkan. Ihwalnya yang sering terjadi di Solo adalah banyak band baru maupun kolektif baru terus bermunculan, namun sayang, terkadang hal baru tersebut masih dalam keadaan premature dan pengemasannya yang kurang menarik. Tak jarang Ini menyebabkan mereka harus bubar di tengah jalan dan menghentikan segala jenis kegiatan kreatifnya. Banyak alasan untuk menjawabnya, tetapi tetap saja tak ada yang bisa disalahkan apalagi jika kita hanya menyalahkan masalah ini terhadap keadaan. Semuanya terhubung dengan sebuah kesadaran untuk saling merawat dan merumat. 

Ada beberapa daftar kolektif/komunitas yang terus berusaha untuk konsisten membuat kota ini terasa lebih hidup, di antaranya, Solo Rumble Crew, Flux Basement, Bengawan Noise Syndicate, SCHC, Rudebois Ska Foundation, Bukan Musik Biasa, Sriwedari Bootbois. Dengan gelaran pertunjukan skala gigs, beberapa dari mereka biasanya tak tanggung untuk menggunakan sebuah konsep pada pertunjukanya. Meskipun acara tersebut hanya untuk menerima band tur yang sedang bertandang ke Kota Solo. Begitu juga dengan keseriusan mengolah gigs dari beberapa kolektif atau komunitas musik pendatang baru seperti Kold.136, Perintis Dead, Was Area, Submarine Club, dan Rumpun Balada, Tozuro Genk dan masih banyak yang lainya atau diluar jangkauan pengetahuan penulis. 

Kota Solo secara administratif memang telah berbeda dengan tetangganya. Seperti, Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, Sragen dan Boyolali. Namun kenyataanya gelombang positif yang terjadi selalu melibatkan kontribusi dari kota terdekatnya

Pada tahun 2018, Solo benar-benar harus legawa karena kehilangan Muara-Market, Tempat tersebut tidak hanya menjadi pusat berkumpul elemen ekosistem kreatif, tetapi juga sering digunakan untuk menggelar gigs. Sayangnya, tempat ini tak bisa lagi digunakan. Beruntung keseruan untuk merayakan uforia gigs pada tahun tersebut masih bisa dilakukan dibeberapa venue alternatif seperti, Studio Jagongan/ D’Best, Basement Kampus ISI Surakarta, Studio MD, dan Studio Rock.

Memasuki awal tahun 2019 skena musik Solo terbantu dengan Gudang Sekarpace, namun venue tersebut terpaksa tutup karena dampak pandemi. Sekarang, pengambilalihan peran venue gigs kebanyakan dilakukan oleh beberapa tempat warung Kafe dan Bar. Seperti, Kulonuwun, Saudagar, Nglaras Kopi PGS, Haluan, Tjangkir Kenang, Dodolan, Lafolla, Black House, Sadari, dan Lokananta. Meski banyak cara alternative venue yang bisa digunakan, namun hambatan yang harus dihadapi adalah tarif sewa tempat yang tinggi, terkadang membuat para pengelola gigs harus berfikir dua kali. Tapi keberanian kafe dan Bar untuk menyewakan dan mengalih fungsikan tempatnya sebagai pertunjukan musik sangat patut diapresiasi.

Dalam kurun waktu  tahun 2019 hingga 2023 (sekarang). Banyak jenis musik yang mewarnai Solo mulai dari Eksperimental, Noise, Balada, Pop, Jazz, Punk, Alternative, Hardcore, Metal, Hip-Hop, Kontemporer dan bahkan Mutan. Ibarat melihat pilihan menu makanan, Solo sebenarnya memiliki paket lengkap dalam tawarannya menyuguhkan musik. Perlu diketahui, selain musik konvensional yang ada, Peran Komunitas Bukan Musik Biasa juga harus ditinjau kembali, sebab keadaan kita sebagai Masyarakat Global, tak hayal untuk lebih mempertimbangkan membuka jejaring yang lebih luas dan tidak melulu tentang kelas Lokal maupun Nasional. Meski ini akan terasa naif, namun setidaknya kita bisa memanfaatkan akal dan pikiran untuk menuju kesana.

Ada beberapa daftar kolektif/komunitas yang terus berusaha untuk konsisten membuat kota ini terasa lebih hidup, di antaranya, Solo Rumble Crew, Flux basement, Bengawan Noise Syndicate, SCHC, Rudebois Ska Foundation, Bukan Musik Biasa, Sriwedari Bootbois

Mengingat dan menimbang reputasi nama Down For Life yang telah dikenal secara global dan loyalitas yang tinggi dari penggemar militannya “Pasukan Babi Neraka”. Capaian DFL untuk membuka ruang kolaborasi bersama Gondrong Gunarto, cukup menjadi gairah positif bahwa ekosistem musik Solo telah bergerak maju menuju ekosistem musik yang inklusif, Setidaknya ini bisa menjadi contoh baik ke depanya.

Selain itu, masih banyak band dan musisi lain yang memiliki potensi untuk menjadi pilar utama dalam musik Solo. Seperti, MCPR, Soloensis, MTAD, Smaratantra, Kid Monster, Ananda Bench Lab, TEORI, The Glow, Fajar Merah, The Mobster, Om Babersob, Crashead Gerbang Singa Jungkat-Jungkit, Fisip Meraung, Cantigi, Gondrong Gunarto, Luwarta, Tendangan Badut, Barmy Blokes, Malu2x, Catwari dan Senja Dalam Prosa. 

Tidak hanya itu, sejumlah band pendatang baru seperti, Car Carsh Coma, Sworn, Fazzover, Malinoa & the Dog Pack, Koma, Sugartaste, Shipgate, Pvrplehaze, Page, Man Osman, dan 5aibaba juga menunjukkan potensi yang menjanjikan. Keberagaman dan kekayaan ekosistem musik Solo semakin bertambah dengan inovasi musikal yang terus muncul dari band-band baru ini.

Capaian DFL untuk membuka ruang kolaborasi bersama Gondrong Gunarto, cukup menjadi gairah positif bahwa ekosistem musik Solo telah bergerak maju menuju ekosistem musik yang inklusif, Setidaknya ini bisa menjadi contoh baik kedepanya

Memasuki era digital, semakin banyak pula musisi yang memilih untuk merilis karya tanpa harus terlibat dalam persaingan panggung. Saya yakin masih banyak band-band baru lokal dengan inovasi musikal yang menarik, terus muncul di belakang layar, menambah keberagaman dan kekayaan dalam ekosistem musik Solo.

Bagaiamana dengan records label dan rilisan fisik, ada apa saja di Solo? Beberapa records label Kota Solo meliputi Soundbomb Records, Prodigal Records, Alphaomega Recorss, Flux Basement Records, Narimo Records, Outtasigt Records Malino Records, Bonrodjo Records, Crossroad Records, Pregnant Pause Records, Rambo Wadon Records, Lokananta Records, Helldog Records, Unleash Records, Hema Records. Jika dilihat lebih dalam dari daftar records label tersebut, mungkin beberapa di antaranya telah memutuskan untuk menghentikan produksi rilisan fisik, bahkan ada yang menyatakan untuk sementara waktu betirahat atau bahkan mengakhiri aktivitas produksi sepenuhnya. 

Media lokal juga memainkan peran penting dalam mendukung ekosistem. Contohnya, Hardcore Everyday dan Polisi Skena yang tidak hanya menjadi pemberi informasi tentang keadaan ekosistem musik, melainkan juga aktif terlibat dalam membangun dinamika ekosistem musik dengan menggelar dan mengelola showcase sendiri

Meski begitu, semangat progresifitas terus berkembang, tidak mengurangi semangat records label di Solo untuk terus bertahan. Beberapa records label di Kota Solo tetap gigih dalam usahanya untuk tumbuh dan tetap ada. Mereka menggelar acara-acara meriah seperti Records Store Day dan Cassette Store Day, bahkan mengelola pertunjukan mereka sendiri. Contohnya, Outtasight Records yang kerap melakukan aktifasi sekaligus mengelola pertunjukan bersama Submarine Club dan Soundbomb Records dengan Reglades Show yang sudah masuk chapter ke 20an. Semua ini dilakukan dengan tujuan menjaga stabilitas minat terhadap rilisan fisik dan memperkuat peran records label dalam kontribusinya pada ekosistem musik. 

Terlebih lagi, Media Lokal juga memainkan peran penting dalam mendukung ekosistem. Contohnya, Hardcore Everyday dan Polisi Skena yang tidak hanya menjadi pemberi informasi tentang keadaan ekosistem musik, melainkan juga aktif terlibat dalam membangun dinamika ekosistem musik dengan menggelar dan mengelola showcase-sendiri. Selain itu ada juga media musik yang cukup progresif dan inovatif yaitu Surakarstage. Menariknya, Surakarstage tak hanya meliput tentang musik saja namun menyeluruh pada perkembangan berbagai bidang seni perutunjukan seperti tari, musik, teater, dan performing arts. Cakupan luas yang diberikan Surakarstage setidaknya dapat berdampak pada pengaruh yang positif ekosistem kreatif maupun ekosistem musik.

Kondisi skena musik Solo saat ini cukup terlihat baik – baik saja tidak ada hal-hal serius yang harus ditanggapi. Hanya saja pertimbangan potensi pasar yang ada, saya rasa perlu dukungan infrastruktur dalam pengelolaan venue musik yang ideal, sesuai kebutuhan komunitas. Meski Lokananta dapat menjadi jawaban saat ini, akankah itu dapat memenuhi segala pertanyaan di luar sana? Untuk menjaga semangat, penting berinteraksi, berjejaring dan berdialog dari berbagai arah. Agar memunculkan ide-ide kolaboratif yang dapat dijadikan karya yang menarik. Kota ini berpotensi besar tapi perlu dorongan kreativitas ekstra untuk memastikan karya yang dihasilkan tetap memiliki integritas intelektual.

 

 


 

Penulis
Soklin Surya
Scenester medioker dari Trenggalek yang sekarang sedang tinggal di Surakarta. Tanda tanya besar soal skena di kepalanya membuatnya terus ingin menelusuri scene networking di sekitarnya.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Menengok Gegap Gempita Ekosistem Musik ‘Pinggiran’ di Kulon Progo

Pinggiran, pelosok, dan jauh, sepertinya tiga kata itu mewakili Kulon Progo. Biasanya, diksi-diksi tersebut muncul dari orang-orang yang tinggal di pusat kota, pokoknya yang banyak gedung-gedung dan keramaian. Diakui atau tidak, Kulon Progo memang …

Perspektif Pekerja Seni di Single Kolaborasi Laze, A. Nayaka, dan K3bi

“Rela Pergi” menjadi single kolaborasi perdana antara Laze, A. Nayaka, dan K3bi via Sandpaper Records (29/11).      Tertulis dalam siaran pers bahwa proyek yang diinisiasi sejak pertengahan 2024—usai Laze merilis DIGDAYA dan sebelum …