Wawancara Mendalam: Selamat Datang di Kejanggalan Laze

Dec 12, 2020
Laze

Kalau sedang berada di wilayah Cipete, Jakarta Selatan, mungkin bisa coba mampir ke Stufa Eat & Brew. Berlokasi di sebelah sekolah fesyen ESMOD, kedai ini memang tampak sederhana dengan beberapa meja di balik dinding kacanya. Tapi kalau kamu beruntung, mungkin kamu akan menemukan sosok yang familier di sana. Dialah Havie Parkasya alias rapper dengan nama panggung Laze.

“Gue memulai tempat ini gara-gara pandemi,” katanya dari balik masker yang sudah menjadi bagian wajib dari kehidupan era COVID-19. Anak ketiga dari empat bersaudara ini mengelola Stufa Eat & Brew – sebuah permainan kata dari stufa (kompor dalam bahasa Italia) dan “stuff I eat” – bersama kakaknya yang tinggal bersama suaminya di rumah persis di seberang kedai tersebut. “Tadinya ini tempat mengopi, terus gue pikir tempat mengopi sudah banyak, makanya gue ingin ubah sedikit. Gue jualan ayam goreng dan wafel di sini, dan setelah pindah jadi ayam dan wafel, lebih ramai.”

Laze pun hadir dua hari tiap minggu di Stufa untuk menangani berbagai hal, dan di dua hari itu ia menempuh perjalanan ke Cipete dari Depok yang kini menjadi tempat domisilinya sejak menikahi Intan, teman masa kuliahnya yang juga inspirasi lagu “Pertanda Baik”, pada Agustus lalu. “Akhirnya mengurus tempat ini juga menjadi passion gue yang lain. Selain musik, gue suka masak juga kadang-kadang. Enggak serius banget, tapi yang penting gue senang. Gue mengurus dekorasi dan desain juga,” kata rapper berusia 28 tahun tersebut. “Jadi ketika gue sudah capek banget mengurus permusikan, gue ada kegiatan lain yang bikin senang juga, walaupun memenuhi jadwal juga sebenarnya.”

Mudah-mudahan kesibukannya sebagai pengusaha makanan tidak terlalu menyita waktu dan tenaganya dalam bermusik. Sejak mulai serius berkecimpung sebagai rapper ketika masih kuliah di Institut Teknologi Bandung, lalu di tahun 2015 menjadi bagian dari kolektif rapper, musisi dan insan kreatif yang bernama Onar, Laze dikenal sebagai rapper yang mahir menceritakan kisah sehari-hari dengan penuh empati serta detail yang setajam permainan katanya yang berbahasa Indonesia. Di awal 2018 ia melepas Waktu Bicara, album solo perdana dengan balutan musik elegan yang kebanyakan hasil produksi Laze sendiri dan membuatnya terdengar semakin berbeda dibanding musik hip-hop Indonesia pada umumnya.

Kini Laze kembali dengan Puncak Janggal, album penuh kedua yang dirilis pada pertengahan November lalu. Diiringi musik mewah hasil produksi Randy Mohammad Pradipta alias Randy MP yang sebelumnya menggarap album Teza Sumendra dan juga telah merilis beberapa single disko Indonesia di bawah nama proyek Parlemen Pop, Laze menawarkan berbagai observasi yang didapat dari dinamika kehidupannya selama beberapa tahun terakhir dengan segala perasaannya yang campur aduk. Selain Randy, Puncak Janggal juga menampilkan kontribusi produksi dari Riza Rinanto, Monty Hasan dan Marcellino Nugraha alias m-Tunes.

Puncak Janggal juga merupakan bagian dari upaya Laze untuk membuat musik hip-hop bisa lebih diterima oleh pendengar di Indonesia, dan itulah sebabnya ia mengajak berbagai kolaborator yang lebih dikenal dari luar ranah hip-hop, termasuk Hindia, Petra Sihombing, Ben Sihombing, dan bahkan Mono, mantan anggota Alexa yang sudah mengeluarkan dua album di bawah nama Neurotic.

Sambil menyantap ayam goreng dan wafel hasil eksperimen racikan Laze di dapur, kami menelusuri perjalanannya menuju ke puncak yang janggal itu beberapa hari setelah album barunya beredar.

 

Pertama kali suka musik rap karena dicekoki kakaknya atau ketemu sendiri?

Awal-awalnya kurang lebih sama kayak nasib anak-anak yang tumbuh di tahun ’90-an akhir. Di masa itu kakak gue lagi suka-sukanya nonton MTV, terus gue lihat Eminem di situ: “Ini orang kayaknya keren banget. Dia sedang apa, sih?” Terus gue ikuti gayanya di depan TV. Gue belum tahu itu sedang apa. Sampai akhirnya gue suka Linkin Park, terus gue dengar Mike Shinoda. Baru gue tahu, “Oh, itu namanya ngerap?” Oke, gue pelajari lagu-lagunya Linkin Park. Gue bisa ikuti Mike Shinoda.

Habis itu gue nonton TV lagi. Gue lumayan korban TV. Lihat MTV Cribs: “Ini rumah mewah-mewah, mobil gede-gede. Ini orang kerjaannya apa, sih?” Ternyata rapper. Terus dari situ gue langsung kayak, “Oh, rapper? Ya sudah, gue ngerapaja. Kayaknya bisa deh, gue.” Nonton 8 Mile, jadi terinspirasi buat ikut battle rap. Gara-gara gue menang battle rapwaktu masih kecil, gue jadi lumayan yakin kalau itu jalan gue, gue jagonya di situ. Karena gue sudah coba berbagai hal. Main skate, gue enggak jago-jago banget. Gue coba belajar di sekolah, enggak pintar-pintar banget juga. Tapi waktu gue coba ngerap, gue langsung menang, dapat piala dan sebagainya. Gue langsung merasa, “Oh, di sini, kali.”

Umur berapa pas pertama kali ikut?

Umur gue kalau enggak salah 14 atau 15. Di Fatmawati, dekat-dekat sini. Dulu Saykoji yang mengadakan. Suasananya di pinggir jalan, di trotoar. Ada kardus buat orang-orang breakdance, dan menurut gue saat itu kayak, “Oh, di Indonesia ada ya kayak di film?” Dulu gue anak kecil, enggak ngerti apa-apa. Gue menggampangkan, kayak, “Oh, yang penting ujungnya menyambung, kan? Tinggal mengatai orang.” Gue bermodalkan itu doang.

Kalau dari rapper Indonesia, siapa yang menjadi inspirasi bahwa ini sesuatu yang bisa dijadikan jalan hidup?

Semua orang dulu tahu Iwa K, lah. Gue melihat dia bikin lagu, banyak banget yang hit juga. Selain jadi rapper, dia juga dulu jadi presenter TV. Setelah itu keluar lagi Saykoji. Saykoji dan Iwa K tentunya sudah hidup dari hip-hop dan mereka sukses, kalau menurut gue. Cuma, gue justru lihat ke musisi genre lain juga, sih. Kayak, “Oh, kalau musisi-musisi ini bisa sebesar ini di Indonesia walaupun genrenya beda, kenapa hip-hop enggak bisa?”

Gue juga bingung dari dulu, kenapa kalau ada festival, panggungnya hip-hop suka dipisah sendiri, suka dibedakan. Kenapa sih kami enggak bisa dapat perlakuan kayak musisi genre lain juga? Kami enggak perlu kok tempat sendiri buat manggung doang. Taruh saja bareng yang lain.

Padahal di luar negeri malah hip-hop yang sedang dominan.

Iya, karena menurut gue itu lebih kayak budaya kalau di sana. Budaya hip-hop di sana kan memang kental. Kalau di sini, gue menganggapnya lo suka hip-hop itu tahapnya mungkin orang masih melihatnya kayak lo lagi cosplay. Misalkan lo ke acara hip-hop, mungkin buat beberapa orang itu kayak datang ke acara cosplay kostum Jepang. Enggak semua orang bisa mengerti itu apa, tapi orang di dalamnya pasti tahu mana yang bagus, mana yang keren, mana anime yang asyik banget. Tapi orang awam belum tahu. Gue rasa hip-hop itu iklimnya rada lumayan kayak itu, pada saat itu.

Mungkin sekarang lebih populer, gara-gara ada Internet. Ada Hypebeast. Orang mulai dari gaya, habis itu mereka langsung ingin tahu. “Musiknya apa sih kalau gaya gue kayak ini?” Dari sneakers juga terbantu. Tapi menurut gue, kita masih di tahap “Ini atraksi semata.” Lo belum bisa lihat hip-hop kayak seni. Orang sudah bisa menangis karena lagu pop, lagu rock atau apa pun. Tapi orang belum bisa terbawa emosinya pakai lagu hip-hop. Kalau menurut gue, kita masih di tahap itu.

Mungkin masih level permukaan.

Level permukaan banget, dan memang butuh waktu. Ya, mungkin dibanding genre lain, hip-hop umurnya masih muda. Jadi memang butuh waktu lagi.

Mulai kapan merasakan itu? Bahwa hip-hop masih dianggap anak bawang?

[Tertawa] Waktu gue mulai manggung, kali ya. Waktu itu lumayan sering pas bareng Onar. Pernah main di sebuah acara di Bali, tapi kami dikasih panggung sendiri. Kayak, “Ini panggung khusus hip-hop!” Padahal mereka ada panggung lain yang gede. Menurut gue, kayak buang-buang duit juga sih dengan bikin panggung lain. [Tertawa] Terus misalkan brandtiba-tiba bikin battle rap, tapi yang nonton sebenarnya anak-anak komunitasnya saja. Gue melihat ini belum dijadikan atraksi utama. Atau kalaupun dapat panggung yang lumayan gede, mungkin yang nonton juga belum tentu mengerti lo sedang apa.

Di situ, sadar banget sih gue. Mungkin orang familier dengan hip-hop, tapi belum familier dengan hip-hop Indonesia, terutama yang pakai bahasa Indonesia.

Kira-kira kenapa? Apakah susah menemukan rapper berbahasa Indonesia yang liriknya keren? Atau apakah rapper berbahasa Indonesia enggak sebanyak itu juga?

Sebenarnya rapper yang pakai bahasa Indonesia itu banyak banget, tapi gue merasa ada konotasi yang terbangun. Banyak orang awam yang sudah keburu menilai kalau lo ngerap dalam bahasa Indonesia, biasanya ujungnya alay atau lucu-lucuan. Kayak penilaian itu sudah keburu terbentuk. Mereka dengar yang bahasa Inggris juga baru level permukaan, dan yang bahasa Indonesia mereka masih ada konotasi itu. Kecuali kalau lo memang mengulik banget, atau lo lihat banget mana sih yang keren di kancah hip-hop Indonesia. Kalau kayak begitu, lo tahu. Cuma, ketika lo bukan orang yang mengulik musik banget, ya lo enggak akan tahu sampai segitunya.

Sejak kapan mulai menjadikan ini sebagai profesi?

Waktu kuliah di Bandung, FSRD di ITB. Gue sudah bisa bilang menghasilkan uang sendiri dari menulis lirik buat orang, atau bikin beat. Di situ gue mulai percaya diri: “Oke, gue sudah pelan-pelan bisa hidup dari hip-hop,” kasarnya. Walaupun kalau kata beberapa teman gue, “Lo menulis lagu buat orang, ya lo masih mengais, sebenarnya.” Cuma, enggak apa-apa. Saat itu gue enggak ada pilihan lain juga, kan? [Tertawa]

Dulu menulis untuk siapa?

Kalau lo tahu nama-nama yang dulu tiba-tiba mencuat di YouTube dengan ke-hip-hop-an, mungkin itu beberapa persennya ada ulah gue juga. [Tertawa]

Dari mana bisa menemukan jalan itu?

Karena gue juga sudah mengeluarkan videoklip, sudah mengeluarkan lagu. Mungkin mereka tahu gue, tapi orang-orang awam sama sekali enggak tahu gue pada saat itu. Jadi yang gue lakukan untuk bertahan hidup dulu adalah itu. Habis itu, bikin Onar bareng anak-anak. Ada lagu gue yang judulnya “Budak” masuk media dan lain-lain. Berawal dari situ, kami mulai lumayan sering manggung. Walaupun sedikit-sedikit, apalagi dulu kami grup baru dan enggak dikasih insentif yang luar biasa [tertawa], cuma gue kayak yakin bisa bangun sesuatu dari sini. Di situlah gue setelah lulus kuliah enggak pernah menawarkan diri untuk kerja 9-to-5 atau apa pun, tapi gue sikat terus saja di hip-hop.

Album mini pertamanya dibuat saat masih kuliah atau sudah lulus?

Itu gue masih kuliah. Judulnya Vacant Room, itu EP bahasa Inggris. Gue sebenarnya tahu bahasa Inggris gue mungkin enggak bagus-bagus amat dibanding orang-orang yang pernah tinggal di luar negeri atau sekolahnya sekolah internasional. Tapi gue yakin buat mendapakan anak muda pada saat itu yang lagi pada suka pesta-pesta hip-hop dengan tipe beat yang ada (mesin drum Roland) 808-nya, gue harus pakai bahasa Inggris dulu. Makanya EP itu gue keluarkan, dan dari situ gue sudah mulai bisa main di beberapa klub kecil-kecilan di Bandung.

Apa yang membuat merasa harus pakai bahasa Indonesia?

Sebenarnya waktu gue bikin EP bahasa Inggris, gue juga sudah punya lagu bahasa Indonesia. Cuma, gue berpikir ada enggak sih lagu Indonesia yang klasik tapi bahasa Inggris dan yang nyanyi orang Indonesia? Saat itu gue enggak ketemu. Gue rasa kalau lo ingin bikin sesuatu yang klasik atau bahkan sesuatu yang memang bisa kena ke hati orang-orang, yang enggak level permukaan, ya lo harus pakai bahasa Indonesia karena itu cara orang-orang berkomunikasi. Kalau gue memaksakan bahasa Inggris, enggak semua orang juga bisa menangkap karena itu bukan cara mereka bercakap-cakap setiap hari.

Gue sebenarnya rada terpukul waktu ke Malaysia. Itu tahun 2010 atau 2011. (Catatan redaksi: Yang benar adalah tahun 2013.) Gue jadi hype man buat rapper Indonesia, namanya Niska. Gue jadi vokalis latar, tapi yang begini-begini [mengayun-ayunkan tangan]. Itu festival hip-hop di Malaysia, namanya Raising the Bar. Yang lain artis-artis lokal sana, dan ini festival yang bisa gue bilang kayak Java Jazz-nya hip-hop. Ada tiga panggung, semuanya hip-hop anak-anak sana. Di panggung gede ini ada Joe Flizzow, itu dulu anggota Too Phat. Ada Altimet. Mereka ngerap pakai bahasa Malaysia, dan keren banget. Orang-orang yang nonton itu hafal, bisa ikut nyanyi. Kalau sedih, bisa ikut sedih. Terus gue merasa kayak, “Hah, kenapa gue enggak bisa melakukan ini pakai bahasa Indonesia? Masa gue enggak bisa?” Terus akhirnya, karena gue melihat itu dan gue terkejut, dan gue bisa dengar lagu-lagu mereka sangat beresonansi dengan baik karena keadaan masyarakat Malaysia saat itu, gue langsung berpikir, “Gue harus bikin lagu bahasa Indonesia kalau mau hip-hopditerima sampai tahap ini.”

Walhasil, dari situ gue pelajari mereka pakai bahasa Indonesia itu sendiri. Di pesawat pulang, saking panasnya gue sudah langsung nulis lirik. Dari situ, terbentuk lirik-lirik di album Waktu Bicara ini. Tapi album Waktu Bicara itu, ya gue masih rekaman di kos. Musiknya gue memproduseri sendiri, seadanya.

Belajar memproduseri dari mana?

[Tertawa] Jadi waktu pertama kali gue menang battle rap, gue jadi bermain sama komunitas. Ada dulu komunitas yang namanya Zero One, dan biasanya di satu komunitas ada satu beatmaker yang jadi ketuanya. Namanya Mo Charizma. Gue pelajari kalau dia lagi bikin musik: “Ini pakai software apa?” Akhirnya gue beli, gue coba di rumah. Semenjak itu, kerjaan gue hampir tiap hari adalah memproduseri musik di laptop.

Itu sebelum Vacant Room?

Itu sebelum Vacant Room. Sejujurnya, sebelum Vacant Room, gue sudah bikin beberapa CD yang gue cetak di warnet, macam mixtape. Terus gue jual di kampus doang. Gue sudah lumayan sering bikin, karena menurut gue saat itu, bikin lagu dan rekaman adiktif sekali.

Kalau ditotal sampai sekarang, sudah berapa banyak lagu yang dibikin?

Wah, kalau total sampai sekarang, mungkin yang masuk Spotify baru satu EP dan dua album. Tapi yang enggak masuk atau yang zaman dulu ada di SoundCloud atau di SoundClick, gue lumayan kehilangan jejaknya! [Tertawa]

Dari awal pakai nama Lazy-P?

Tadinya waktu battle rap gue pakai nama Lazy P. P itu nama belakang gue, Parkasya. Terus depannya memang kurang kreatif, Lazy itu karena gue dibilang pemalas, itu saja.

Kapan berubah menjadi Laze?

Waktu gue sadar nama Lazy-P itu terlalu kekanak-kanakan. Lo enggak mungkin kan percaya sama orang yang umurnya 25, tapi namanya Lazy-P. [Tertawa] Gue sadar itu harus gue ganti.

Saya baru dengar musiknya pas Waktu Bicara. Yang dulu bikin tertarik dengan musiknya adalah karena itu lagu yang bisa dinikmati secara instrumental, bukan cuma beat yang ditimpa vokal. Kenapa memilih seperti itu?

Karena saat itu di kepala gue, gue berniat bikin lagu, bikin musik. Bukan bikin konten. [Tertawa] Gue memang ingin bikin ini sebagai lagu, gue ingin ini bisa bersaing sama musik pop atau mungkin bisa bersaing sama musik rock. Makanya di Waktu Bicara gue berusaha sebisa mungkin bentuknya ada kord yang berubah, atau ada yang nyanyi di tengahnya, atau masukkan beberapa instrumen hidup walaupun terbatas. Karena gue enggak bisa bikin lagu club, dan saat itu juga enggak ingin. Gue inginnya bikin hip-hop ini terdengar sebagai musik, bukan atraksi omong cepat.

Sebelumnya memang bisa bermain instrumen musik?

Waktu SD sempat les gitar klasik, tapi sebentar doang. Gue enggak betah, gue inginnya les DJ. [Tertawa] Itu juga gara-gara lihat Linkin Park, lihat DJ Hahn. Kalau main musik banget, gue enggak bisa. Tapi pernah belajar-belajar sedikit dari YouTube, kayak kord-kord dasar. Sisanya, gue pakai naluri saja. Semua otodidak, gue enggak terlalu mengerti teorinya. Gue tahu kord 7 gara-gara lihat di YouTube doang. [Tertawa]

Apa yang menjadi inspirasi musik di Waktu Bicara?

Kalau dari Indonesia – walaupun mungkin enggak tercermin di musiknya, ya ­– gue lumayan terinspirasi Iwan Fals pada saat itu. Dia bagaimana sih bisa omong atau bermusik sampai segitunya orang menempel atau tercantol sama apa yang dia bikin? Kalau dari luar, mungkin gue lagi terinspirasi sama albumnya Nas yang Life Is Good, atau Kanye West yang Late Registration. Memang bukan hip-hop yang boom bap, yang keras atau apa. Cuma, gue rasa saat itu, itu yang gue butuh.

Memangnya kurang tertarik dengan boom bap?

Gue suka boom bap, cuma bukan itu yang lagi gue ingin bikin. Maksud gue, sudah banyak di Indonesia yang bikin itu dan bagus. Kayaknya gue perlu bumbu lain saja.

Apa yang ada di pikiran pada saat menulis liriknya?

Di zaman kuliah, cara penulisan lirik gue selalu bikin cerita. Gue sering banget menulis dari sudut pandang orang ketiga, kayak gue menonton atau mendengar sebuah kisah. Ada banyak sudut pandang begitu. Tapi di Waktu Bicara, gue enggak bisa bilang spesifik, tapi memang ada garis besar tentang baru pindah ke Jakarta, terus krisis identitas. Karena waktu itu gue lagi di Bandung juga. Waktu gue datang ke Jakarta, rasanya beda. Padahal gue orang Jakarta dulunya. Aneh banget! [Tertawa]

Berapa lama di Bandung?

Gue enam tahun. Kuliah kayak SD. [Tertawa]

Lulusnya lama karena sibuk di hip-hop?

Ya, gue lulusnya memang lama gara-gara sambil main juga, sambil bikin musik juga. Kami pun jadi Onar gara-gara itu geng telat lulus. [Tertawa] Jadi gue menikmati ketelatan gue pada saat itu.

Apa yang bikin kaget pas pulang ke Jakarta? Pas libur kuliah juga balik, kan?

Iya, padahal pas libur pasti balik. Misalkan, kehidupan malam di Bandung juga ada. Cuma, entah kenapa suasananya beda dengan Jakarta. Ketika lo datang disambut dengan gedung-gedung di Sudirman, atau lo ke SCBD, terus bocah-bocahnya turun dari mobil-mobil mewah yang lo enggak paham bagaimana ceritanya bisa ada di sini! [Tertawa] Itu beda banget sensasinya, bikin gue merasa kayak ada di posisi yang, “Ini tempat gue enggak sih, di sini?”

Secara latar belakang ekonomi, bisa dibilang ada di mana?

Kalau bisa dibilang, hidup gue penuh naik turun banget. Mungkin yang bikin gue bisa punya pandangan cukup luas itu karena gue pernah merasakan ada di semuanya. Gue bisa bilang waktu SD, keadaan ekonomi cukup baik. Gue bisa SD di sekolah swasta dengan teman-teman yang dijemput naik mobil mewah. Kayak, “Wow!” Tapi waktu SMA, gue sekeluarga jatuh sejatuh-jatuhnya.

Jadi menurut gue itu sesuatu yang memperkaya latar belakang dan pola berpikir gue. Dari berteman sama anak-anak kaya yang kayak begitu, gue juga jadi bisa berteman sama yang sedih enggak bisa ikut karyawisata karena enggak ada ongkos.

Mungkin itu yang saya rasakan sebagai pendengar, karena stereotipe tema lagu hip-hop itu kalau enggak glamor banget ya penderitaan banget. Kalau lagu-lagu Anda, enggak dua-duanya. Menceritakan kesusahan, tapi saya pun bisa memahaminya. Mungkin itu yang bikin banyak orang tertarik juga, karena enggak semua orang paham lagu yang serba bling bling atau tusuk-tusukan.

[Tertawa] Sebenarnya menurut gue yang paling penting di hip-hop itu kenal diri sendiri, sih. Kayak, apakah hip-hop harus bling bling? Enggak juga. Tapi apakah lo harus sekeras dan se-gangster itu? Enggak juga. Kalaupun lo seorang akademisi dan lo ngerap, lo bisa saja ngerap tentang topik-topik kuliah lo. Enggak ada yang salah. Atau lo seorang barista, lo mau ngerap tentang kopi, ya silakan saja. Justru kalau lo ngerap tentang hal yang memang lo enggak ngerti, itu malah aneh sih, buat gue.

Setelah Waktu Bicara keluar, bagaimana dampaknya terhadap kehidupan Anda?

[Tertawa] Waktu Bicara keluar, rasanya campur aduk, sih. Gue bisa bilang orang enggak siap sama album gue. Waktu Bicara keluar, tren hip-hop di Jakarta – spesifiknya Jakarta Selatan saat itu – lagi yang pesta banget, yang lagunya banger 808 dan sebagainya. Sedangkan gue datang dengan album yang bawaannya ingin lebih bermusik. Orang lumayan bingung, kayak, “Dia kalau manggung aneh enggak, ya?” Gue dapat main di We The Fest waktu itu. Gue senang sih main di situ, tapi gue juga jadi paham orang-orang itu masih lumayan bingung sama apa yang mau gue sajikan.

Terus makin ke sini gue makin paham Waktu Bicara itu nama genrenya adalah folk rap. Kayak, “Oh, ternyata ada ya folk rap?” Dan ternyata yang membedakan adalah topiknya atau bentuk musiknya yang enggak melulu kedengaran elektronik.

Siapa yang bilang namanya adalah folk rap?

Gue lagi scrolling di Twitter, terus ada rapper Malaysia yang dulu gue tonton, namanya Altimet. Terus ada orang yang mention, “Ini best lah, folk rap macam Altimet: Laze!” Gue kayak, “Oh, mereka menyebutnya folk rap kalau di sana?” Ada benarnya, sih! Bukannya gue menyimpulkan, tapi gue melihat, “Oh, mereka menganggapnya begitu.” Mungkin di sini masih membingungkan buat menyebut itu apa.

Adakah target-target saat albumnya keluar, dan apakah tercapai atau tidak?

Harapannya saat itu adalah ingin bikin itu jadi portofolio juga, dan itu lumayan tercapai. Ada satu lagu, “Mengerti”, yang saat itu jangkauannya cukup luas di ukuran gue. Gue enggak pernah seluas itu, memang itu yang gue harapkan, dan itu berhasil. Gue ingin bikin lagu yang orang-orang bisa kena, masyarakat bisa kena. Lo enggak perlu suka hip-hop buat suka lagu ini, dan itu terjadi. Gue senang sih di situ.

Kalau bikin lagu, bagaimana prosesnya? Apakah sudah tahu mau tulis tentang apa dan bikin lirik, baru bikin beat-nya? Atau beat sudah ada, baru ditambahkan lirik?

Gue lumayan abstrak kalau masalah itu. Maksudnya, enggak ada aturan-aturan tertentu. Semua natural saja; kalau memang gue lagi terbayang beat-nya, gue akan bikin beat-nya. Kalau gue lagi terbayang liriknya, gue akan tulis liriknya dulu. Mana yang muncul duluan, enggak menentu. Tapi kadang gue suka cocokkan, “Oh, gue punya beat ini, gue punya lirik ini. Ini masuk enggak, ya? Enggak masuk? Oke, gue ganti beat lain. Oke, ini baru masuk.” Kayak begitu cara kerja gue.

Biasanya lirik sudah jadi berupa selagu baru ditambahkan musiknya?

Enggak kok, kadang-kadang lirik gue cuma jadi enam belas baris, delapan baris. Terus kalau gue rasa topiknya kuat, itu gue lanjutkan.

Untuk urusan bikin lirik lagu, paling cepat berapa lama dan paling lama berapa lama?

Paling cepat bikin lirik kayaknya setengah jam. Kalau mau cepat-cepatan bisa, sih. Apa yang gue kerjakan cepat? Kalau di album Puncak Janggal – baru kemarin-kemarin ini bikinnya, jadi gue masih ingat – “Turun dari Langit” itu cepat nulisnya. Menulis saat itu juga, rekaman saat itu juga. Belakangan proses gue lagi kayak begitu. Kayak, di studio gue dengar beat, dan menulisnya enggak mau berpikir terlalu lama.

Kalau paling lama? Adakah lagu yang enggak ketemu-ketemu liriknya?

Sebenarnya lirik biasanya cepat jadi, tapi waktu gue rekam, gue kayak, “Oh, gue ingin ganti.” Jadi itu yang bikin lama, biasanya. Karena ke studio seminggu dua kali, ya jadinya tertunda seminggu.

Memasuki Puncak Janggal, tampaknya tema besarnya adalah perasaan campur aduk saat berada di puncak. Apa yang memicu perasaan itu?

Campur aduk karena mencapai hal-hal yang lo impikan dari dulu, tapi waktu sampai di sana kayak, “Oh, isinya enggak seindah apa yang kelihatan dari luar.”

Kayak “berhati-hatilah saat menginginkan sesuatu”?

Enggak juga. Kayak “kamu mendapat apa yang kamu inginkan dan kamu bersyukur, tapi ini komplikasinya.” [Tertawa] Dulu gue ingin banget jadi musisi. Manggung, datang ke acara-acara keren. Gue otomatis bermikir ketika musisi sudah sampai tahap itu, lo sukses. Tapi ternyata itu enggak segaris sama sukses.

Definisi sukses itu apa?

Atau mungkin enggak segaris sama yang lo tonton di MTV. Kalau sudah sampai di tahap itu, lo pasti Hollywood banget: rumah gede, mobil banyak. Ternyata enggak, itu dijual terpisah. Cuma, bukan berarti gue enggak bahagia gue bisa sampai sini. Gue bahagia, tapi kalau mau mencapai kesuksesan itu, lo harus cari cara lain juga, menurut gue. Maksudnya, kan ada banyak ilusi – gue menyebutnya ilusi-ilusi sukses –kayak angka lo tinggi di media sosial, atau plays lo banyak di Spotify, atau banyak orang suka. Tapi itu juga enggak berarti jadi sesuatu kayak lo sebuah bintang yang mega-populer juga. Enggak ada jaminan itu. Mungkin jaman dulu kayak begitu, tapi sekarang bisa jadi followers lo banyak, tapi yang nonton lo enggak ada 10 orang. Itu terjadi.

Ada sebuah diskoneksi.

Ya, ada sebuah diskoneksi. Di sini followers lo bukan pendengar lo. Gue merasa kayak kalau dulu lo punya album, lo punya rekaman, lo masuk TV atau apa, lo sudah menjadi bintang. Kalau sekarang, sangat mungkin lo cuma orang yang punya lagu. [Tertawa] Itu yang bikin gue kayak, “Hah? Apakah ini salah gue karena gue salah era?” [Tertawa] Janggal saja, buat gue. Ini yang gue mau, tapi ini janggal.

Apakah Anda ingin menjadi seorang bintang?

Lo bermusik pasti ingin karya lo jadi sebesar mungkin. Bahkan kalau bisa hidup dari situ senyaman mungkin, lo pasti ingin hidup dari situ. Menurut gue itu wajar, dan itu yang gue harap gue lakukan juga. Ya, gue sudah jadi korban TV juga. [Tertawa] Pasti di alam bawah sadar gue, ada bayangan itu. Makanya lagu terakhir Puncak Janggal judulnya “Kemenangan Sejati”. Itu tentang lo masuk industri, lo masuk label, bukan berarti jaminan lo menang. Atau followers lo banyak, bisa jadi itu beli. Belum tentu manggung juga ramai. Lirik yang gue suka: “Banyak musisi bagus, musik tak jadi soal/Selain buat lagu, pandai-pandai buat proposal.” Gue bilang begitu, karena harus pintar bisnis juga. Lo jago musik, bisa jadi itu baru 20 persen dari tugas lo. Masih ada 80 persen lainnya yang amat sangat banyak: pemasaran, promo atau berteman sama orang, koneksi atau apa pun itu. Itu tugasnya lebih gede lagi, menurut gue. Jujur, gue adalah pribadi yang sangat menikmati berada di studio, dan melakukan 80 persen sisanya susah banget buat gue waktu baru mulai. Bahkan sampai sekarang pun masih kayak mencari tahu langkah-langkahnya.

Kalau di Indonesia, yang sukses di dunia hip-hop itu siapa dan mungkin bisa menjadi target yang ingin dicapai?

Target yang gue ingin capai sayangnya masih ada di luar negeri. Menurut gue Too Phat itu sukses banget. Joe Flizzow di sana buka bisnis lain, dia bikin toko cukur rambut sampai cabangnya ada 20. Di Thailand pun begitu. Mereka yang gue lagi coba pelajari. Gerakan bisnisnya kok mereka bisa sampai kayak begitu? Walaupun menurut gue, kayak tadi gue bilang, Saykoji dan Iwa K pun sudah cukup sukses di sini. Gue lihat juga langkah mereka, cuma gue juga lihat langkah orang-orang di Asia Tenggara, di negara-negara tetangga kita gila-gila. Yang bikin gue kaget, negara hip-hop paling gede sekarang di Asia Tenggara adalah Thailand. Wow.

Anda bilang salah satu misi di album ini adalah ingin lebih mempopulerkan hip-hop Indonesia.

Gue tahu itu kedengaran klise, sebenarnya. Tapi ya itu, biar enggak level permukaan banget saja. Gue kerja sama musisi-musisi lain yang ranahnya di luar hip-hop, dengan harapan mereka – selain menyempurnakan lagu gue, tentunya – juga menjadi pintu buat orang menjadi mau dengar hip-hop bahasa Indonesia: “Oh, ada yang bagus, ya?” Hip-hop tuh bisa nyaman juga di kuping, seharusnya. Gue enggak tahu sih mereka nyaman di kuping atau enggak! Paling enggak, sampai dulu informasinya ke mereka.

Selain merasa hip-hop masih belum dianggap sebagai atraksi utama, apa yang mendorong untuk melakukan ini?

[Tertawa] Pertama sih memang passion, karena gue suka. Kedua, gue memang ingin bisa hidup dari hal yang gue suka, yang kebetulan adalah hip-hop. Cuma, sayangnya kondisinya masih kayak begitu. Gue tahu banyak musisi hip-hop yang underground dan mereka hidup dengan baik dari karya mereka, dari jual CD atau merch. Mereka bisa kencang banget dari situ. Cuma, gue lihatnya dari ranah yang lebih pop, mungkin. Kita belum di situ. Kayak, kenapa enggak ada rapper yang seterkenal Raisa, misalnya? [Tertawa]

Apakah merasa Young Lex adalah tipe kisah sukses yang ingin diikuti?

Menurut gue cukup beda. Gue bisa bilang jalur gue sama dia lumayan lain. Gue sudah kenal lama juga sama Lex, sebenarnya. Jalur kami memang lain, dia sangat menggunakan Internet sebagai cara menggaet orang pakai seru-seruan cara dia. Gue inginnya orang bisa terbangun minat sama gue dari musik saja. Awalnya sih itu, cuma makin ke sini kayak makin enggak mungkin. Menurut gue, rapper saingannya selain sama musisi juga sama YouTuber. Bahkan musisi-musisi juga sekarang jadinya buat konten juga. Tapi gue mengusahakan apa pun yang gue lakukan, jangan sampai keluar dari elemen gue.

Ini sering menjadi obrolan dengan sesama rapper?

[Tertawa] Itu obrolan yang lumayan sering kami bahas. Mungkin kayak di “Sombong” atau sebatas di tongkrongan, kami juga bicara, “Bagaimana ya biar orang-orang bisa nikmati, bisa mengetahui. Apakah kita harus joget-joget TikTok? [Tertawa] Apakah kita harus bikin konten vlog harian juga?” Itu hal yang masih gue cari tahu dari sekarang. Gue rasa PR kami amat sangat banyak. Kalau lo lihat YouTuber bisa jadi rapper dan mereka langsung melejit segede itu, mungkin memang caranya adalah menggaet orang dengan hal yang non hip-hop dulu, baru lo bisa ke sana.

Tapi di sisi lain, adakah yang berpikir, “Sudahlah, untuk apa terlalu ke arah pop? Buat apa merangkul?”

Merangkul yang enggak mau dengar, maksudnya? Menurut gue itu enggak salah kalau berpikir begitu, tapi menurut gue lo menuju pop sedikit atau bikin lagu lo easy listening sedikit juga adalah tahap yang perlu dilalui. Gue belajar dari Jay-Z juga. Bikin lagu catchy, yang punya pop appeal dan simpel itu justru lebih susah daripada bikin lagu yang kompleks, kalau menurut dia dan cara dia berproses di lagunya. Dia bilang itu malah lebih sulit. Mungkin beberapa orang berpikir ini norak atau apa, tapi itu yang lo perlu lakukan. Tahap pencarian diri juga, kali ya. Setelah Puncak Janggal selesai, gue sekarang lagi di pola pikir yang agak gue enggak mau memikirkan lagi, sih. [Tertawa] Di Puncak Janggal, gue bikin yang gue mau bikin. Tapi gue juga jadi berpikir kayak, “Enggak usah terlalu dipikirkan, lah, ini mau dibawa ke mana lagi.”

Waktu mengajak Randy MP sebagai produser, apakah memang sudah bayangan ingin bikin musik yang lebih organik?

Ya. Kenapa ajak Randy, karena gue memang ingin bikin musik yang organik saja. Dia main gitar jago, main bas jago, terus waktu gue dengar albumnya Teza juga kayak, “Wah, ini musik. Gue ingin bikin musik.” Ya sudah, gue ajak dia. Tapi karena zaman sekarang kalau orang bikin lagu sudah sekaligus sama kampanye (promosi), waktu gue di studio sedang menulis sebuah lirik dan sudah tahu judulnya mau apa, otak gue malah kayak, “Oh, ini kampanyenya begini.” Yang menurut gue, “Itu nanti saja memikirkannya, jangan di studio!” Tapi lumayan terbawa, mungkin karena gue baru tahu ini adalah 80 persen tugas sisanya musisi daripada 20 persen yang cuma bikin lagu. Gue lihat musisi sekarang kalau bikin promosi makin pintar-pintar. Terutama sehabis album Kunto Aji atau Hindia keluar, gue lihat orang-orang makin panas dan menggeliat. Gue juga ikutan terpicu pada saat itu: “Oh, gue harus bikin apa nih?” Sehingga waktu gue menulis lirik, gue jadi berpikir, “Oh, ini lagunya dilempar ke orang yang kayak begini.” Padahal itu nanti saja, bos!

Mulai bikin materi untuk album ini dari tahun berapa? Ada wawancara di akhir 2018 yang menyebutkan bahwa album kedua sedang dipersiapkan.

Beberapa bulan sehabis Waktu Bicara langsung bikin, sebenarnya. Waktu rilis Waktu Bicara, jujur gue sudah merasa, “Ini ketinggalan zaman enggak, sih?” Kan gue bikin albumnya sudah lama juga, jadi gue langsung ingin banget pembalasan pakai album baru. Langsung gue ke studio, gue ketemu Randy, gue bikin sebebas-bebasnya, selepas-lepasnya. Gue bisa bilang mungkin lagu-lagu terbaik Puncak Janggal adalah yang bukan dijadikan single, malah. Gue enggak bilang single-nya gue memikirkan banget atau apa, tapi enggak bisa dipungkiri beberapa lagu lebih organik. Kayak “Penghargaan”, itu gue tulis begitu saja. Beat dari Randy sudah kayak begitu, gue sebenarnya sudah punya liriknya duluan. “Penghargaan” juga materi lama, gue sudah menulis itu enggak jauh dari Waktu Bicara. Tapi karena waktunya terlalu dekat, gue sempat berpikir, “Ini jangan sampai mirip lagi sama album pertama.” Ternyata jauh sih orientasi sound-nya, menurut gue. Waktu gue pertama kali datang ke Randy, gue juga sudah bawa contoh visual gambar foto: “Ran, mood audio kita ini.”

Foto apa itu?

Gue gabungkan foto karyanya Jeff Koons yang bentuknya kayak aluminium, besi. Terus ada rumput, langit, di tengahnya ada kotak warna merah yang teksturnya agak berpasir. Gue melihat warna terangnya ibarat kemegahan musiknya: “Oke, lo terompet,” atau apa. Ada tekstur pasir karena gue ingin ada kasarnya sedikit, jadi musiknya enggak usah terlalu bersih. Terus ada tekstur besi dan aluminium karena gue ingin ada sisi instrumen yang kedengarannya terpoles. Mungkin itu lebih kedengaran kayak instrumen di “Dari Layar” yang sound-nya kayak gamelan. Itu kan sound aluminium juga. Atau mungkin Rhodes, lebih kedengaran kayak besi. Kami bangun semuanya dari situ.

Berarti enggak sia-sia kuliah FSRD!

[Tertawa] Sama sekali enggak sia-sia, dan menurut gue, kalau gue enggak kuliah di sana, mungkin warna gue enggak bisa gue bentuk. Mungkin bentuknya akan lain, karena waktu dulu gue ngerap di sana, gue juga berpikir bagaimana teman-teman gue bisa nikmati lagu gue. Kalau teman-teman gue saja enggak bisa menikmati, apalagi orang lain. Gue jadi ingin tahu, mereka dengarnya apa? “Oh, lagu yang menurut mereka keren begini.” Itu yang gue coba pelajari dan bawa.

Inspirasi musikal di album ini apa?

Macam-macam banget, sih. Gue memang suka dengar Jay-Z, Nas atau Common, tapi sebenarnya enggak gue makan mentah-mentah dan masuk ke sini juga. Gue ingat banget, Hindia bertanya ke gue, “Lo bikin album ini lagi dengar siapa?” Terus gue bilang, “Gue enggak dengar siapa-siapa!” [Tertawa] Gue dengar banyak, tapi gue enggak coba mirip lagu siapa-siapa. Mungkin beberapa orang bakal tetap bilang, “Oh, ini mirip lagu ini, lagu itu,” tapi selama proses gue ingin Randy MP mengeluarkan ciri khasnya di produksi yang hip-hop, dan gue juga bawa beat yang sesuai dengan ciri khas gue. Kalaupun kerja dengan produser lain, mereka kasih ciri khas mereka. Kan sekarang di YouTube banyak yang kayak, “Travis Scott-type beat“, “J. Cole-type beat” atau siapa pun yang tipe-tipe begitu. Gue inginnya orang yang kerja bareng gue bisa kasih cirinya di lagu.

Boleh bahas sedikit tentang masing-masing lagu?

Boleh. Jadi Puncak Janggal itu ada ceritanya, sebenarnya. Mungkin beberapa orang enggak sadar. Kan gue enggak bikin skit, enggak bikin apa-apa. Kalau beberapa orang merasa alurnya menyambung adalah karena ini sebenarnya ada urutannya.

Jadi “Puncak Janggal” itu lo datang ke sebuah acara, lo naik ke sebuah lantai yang tinggi. Masuk, ini acara keren, berkelas tinggi. Lo beli anggur mahal, lo teguk. Orang-orang kayak sudah sukses dan tajir, tapi sebenarnya itu semua lagi pura-pura.

Di lagu kedua (“Penghargaan”), lo sadar bahwa itu adalah acara penghargaan. Di situlah terjadi lo berpidato. Makanya gue buka dan tutup album kayak pidato, karena menggambarkan gue lagi omong di acara itu.

Yang ketiga (“Dari Layar”), besoknya lo bangun, lo lihat foto-foto itu dari mana? “Dari Layar”, dari handphone lo. “Oh, kayaknya sukses banget nih, ya. Kemarin orang-orang pada keren.” Ternyata, cuma dari layar.

Dan di layar itu juga, teman lo melihat lo. “Teman Lama”, jadinya. Kayak, “Lo berubah ya. Jadi keren sekarang.” Jadi mengobrol, lah. “Apa kabar lo?” Jadi teman lama. Gue merasa beat-nya cocok sama Kay Oscar, topiknya enggak jauh beda. Dia masih bisa masuk di topik ini. Jadi akhirnya gue pilih Kay Oscar.

Dari “Teman Lama”, “Pertanda Baik”. “Pertanda Baik” sebenarnya lirik lama yang gue tulis buat istri gue, yang juga adalah teman lama gue. [Tertawa]

Habis itu langsung masuk ke “Turun dari Langit”. Ibaratnya, lo sudah menjalani hidup bareng. Lagu itu spontan gue tulis waktu pandemi, tapi entah kenapa malah bisa masuk ke situ. Kayak, lo sudah hidup bareng, mengalami kesulitan, dan lo berharap ada kemudahan berupa uang turun dari langit!

Berapa lama pacaran sebelum menikah?

Gue pacaran 2017, tiga tahun. Tapi gue kenalnya sudah lama banget. Gue memang berencana nikah tahun ini, tapi gue enggak berencana nikah dalam situasi pandemi! [Tertawa] Enggak ada yang berencana, cuma jadinya malah bisa lumayan hemat! [Tertawa]

Oke, “Turun dari Langit” berharap lo punya dana. Tapi di “Dari Jendela”, gue berusaha melihat orang lain punya kesulitan-kesulitan juga. “Dari Jendela” adalah pengeluasan dari itu, dan itu juga kayak lagu istirahat. Capek kan dikasih lagu yang cepat terus. “Dari Jendela” pelan, dikasih suara Ben Sihombing yang lumayan sendu, suaranya berat.

“Dari Jendela”, lo sudah lihat ke luar. “Titik Terendah” itu adalah lagu waktu lo pulang ke rumah. Lo mau se-sok tahu apa pun di luar sana, jadi artis atau apa, begitu lo balik ke rumah, lo adalah lo yang lama. Pokoknya lo anak orang tua lo lagi. Makanya gue omong tentang keluarga di “Titik Terendah/Titik Tertinggi”. Bagian pertama adalah bapak, bagian kedua adalah ibu.

Perlu negosiasi yang sengit dengan mereka waktu memutuskan untuk menjadi artis hip-hop?

Nyokap gue dulu lumayan khawatir gue mau jadi musisi, apalagi gara-gara gue waktu SMA enggak naik kelas: “Entar anak-istri lo dikasih makan apa? Bisa hidup enggak?” Biasa, lah ya. Standar: “Cari kerja, S2.” Bahkan waktu gue lulus kuliah pun, dia masih menawarkan, “Mau coba tes PNS?” Cuma, gue enggak mau.

Bapak dan ibu kerja apa?

Nyokap gue itu dulu dosen FISIP di UI. Kalau bokap gue memang wiraswasta, makanya hidup gue lumayan sering naik-turun warna-warninya gara-gara itu juga, menurut gue.

Setelah itu “Titik Tertinggi” adalah lo cabut dari rumah untuk mencapai klimaksnya kehidupan lo sendiri. Makanya gue cerita gue kuliah, gue mulai main musik, sampai gue jalani hidup gue sendiri. Gue nikah dan sebagainya.

Dari situ ke “Biar Mereka Tau”. Karena Puncak Janggal adalah tentang lo merasa di atas tapi kosong, menurut gue kurang lengkap kalau enggak ada lagu yang arogan-aroganan. Akhirnya “Biar Mereka Tau” adalah gue kasih tahu gue sudah sampai mana.

Lagu selanjutnya adalah “Sombong” sama Nayaka. Sudah arogan, sekarang makin sombong [tertawa] dengan literal.

Kenapa dengan A. Nayaka?

Karena menurut gue dia yang paling cocok dikasih beat kayak begitu, dan kedua, lagu “Sombong” itu kayak pertama kalinya dia ngerap satu bait penuh pakai bahasa Indonesia. Ada bahasa Inggris-nya sedikit, tapi sebagian besar bahasa Indonesia. Dan gue tekankan, “Buat bahasa Indonesia, lah. Gue ingin album gue ini banyak bahasa Indonesia, bahasa Inggris sedikit saja.” Akhirnya dia mau. Gue lupa kami sedang pulang dari mana, lalu dengar beat-nya, langsung ke rumahnya. Terus rekaman lagunya langsung jadi saat itu juga.

Di saat tampil di sebuah lagu bersama rapper lain, entah itu lagu sendiri atau bukan, ada rasa kompetitif kah?

Jujur, gue enggak punya, sih. Sering banget ada lagu hip-hop yang bareng-bareng, yang satu lagu berlima atau apa. Terus kayak semua orang jadi yang maksimal, ingin ngerap cepat atau apa. Gue entah kenapa, kalau dibarengi begitu, malah enggak ingin pamer. Entah kenapa: “Enggak deh, gue malah ingin santai saja.” Kayak gue sudah enggak ada panggilan buat unjuk kemampuan kayak begitu.

Dari dulu atau belakangan ini?

Belakangan ini, sih. Sehabis Waktu Bicara, bahkan ngerap cepat pun, gue kayak, “Memang harus, ya? Kayaknya yang penting adalah apa yang mau gue omong itu sampai, deh.”

Habis “Sombong”, masuk ke “Sementara”. Itu jadi mengingatkan, “Lo jangan sombong-sombong, lah. Ini semua bisa jadi cuma sementara.” Makanya “Sementara” liriknya begitu banget. Waktu “Sementara” baru keluar lumayan menerima kritikan yang kayak, “Kok beat-nya Laze jadi begini? Kok flow-nya jadi kayak rapper jaman sekarang?” Karena gue enggak mau batasi. Gue dengar juga rapper-rapper jaman sekarang, gue dengar juga rapper-rapper jaman dulu, dan gue coba bikin formula sendiri. Di lagu ini gue memang lagi ingin eksplorasi ke arah situ.

Rapper zaman sekarang kayak siapa?

Misalnya kayak Roddy Ricch atau Young Thug, rapper-rapper luar negeri yang terlalu repetitif dan omongnya enggak jelas buat beberapa beberapa elitis atau purisnya hip-hop. Menurut gue, mereka ada seninya tersendiri, dan buat, bisa gue bilang banyak yang enggak suka dan enggak bisa menikmati.

Dari “Sementara”, lagu selanjutnya adalah “Bintang 5”. “Bintang 5” ini chorus-nya “Jumpa aku di bis, jumpa aku di kereta/Jumpa aku turun mobil, guest star di tempat pesta”, kayak cuma menunjukkan ini sementara, terus kalau lo sudah di atas pun, enggak usah sok tahu banget. Biarpun ke mana-mana naik mobil, santai saja kalau naik bis sama kereta. Lo bisa tetap keren. Gue di sini lebih banyak omong hip-hop juga. Ini masih dalam aliran lagu arogan, tapi lebih santai suasananya di “Bintang 5” ini. Liriknya lebih mengingatkan mau lo artis ataupun lo panutan, pasti lo ada panunya. Kayak gue bilang, “Katakan ini agar kalian tak kecewa/Idolamu manusia, bukan Tuhan atau dewa.” Gue kasih tahu kalau orang-orang yang lo lihat di layar, yang datang di penghargaan atau apa pun, itu semua intinya manusia saja.

Yang bisa panuan juga.

Yang bisa panuan juga! [Tertawa] Yang ada korengnya juga.

Dari situ masuk ke “Ruang Tunggu”. Gue sebenarnya omong ke diri sendiri. Gue merasa selama ini buat naik ke puncak, atau buat ke kemenangan sejati, gue itu masih ada di ruang tunggu sekarang. Gue belum sampai ke sana. Jadi di “Ruang Tunggu” itu kayak dialog antara gue dan diri gue sendiri waktu gue ada di ruangan itu, kurang lebih begitu. Makanya lagu itu enggak ada chorus-nya. Gue mengomel saja terus sampai habis. [Tertawa]

Akhirnya kita sampai di “Kemenangan Sejati” yang menjelaskan bahwa kemenangan sejati itu bentuknya juga masih abstrak. Kita juga enggak tahu bentuknya apa. Sudah selesai deh, balik lagi ke “Puncak Janggal”. Lagu ini bersama Mono Neurotic. Kenapa gue memilih dia, karena gue waktu pertama mengobrol sama dia, dia salah satu orang yang gue kenal yang bisa gue bilang terdampak banget sama perubahan industri musik. Dulu dia bilang ke gue, “Jaman dulu pokoknya lo masuk majalah, besoknya masuk TV. Enggak tahu bagaimana, tiga hari kemudian, lo naik pesawat terus manggung. Kok sekarang situasinya enggak begitu, ya?”

Dia merasakan jatuh bangunnya. Dia sudah merasakan enaknya. Dia juga bilang ke gue, “Wah, lo kalau terkenalnya di jaman gue, lo sudah pasti banyak duit sih sekarang!” [Tertawa] Hal kayak begitu yang bikin gue kayak, “Oh lo kayak mengerti banget hal-hal ini, Mon. Lo saja deh yang isi!” Kalau kata teman gue, Mono cocok energinya. Itu curhat dia juga, mungkin.

Untuk produser selain Randy, apakah mereka yang ingin terlibat atau merasa ada lagu yang cocok untuk mereka?

Riza Rinanto yang bikin “Mengerti” juga, dan kalau di album Puncak Janggal bikin “Dari Layar” dan “Dari Jendela”. Bentuk beberapa beat-nya organik, enggak yang jaman sekarang banget tapi enggak dulu banget. Makanya waktu gue dengar-dengar beat-nya, terus gue dengar beat “Jendela” yang ada saksofonnya, gue langsung kayak, “Wah, gue butuh sih beat kayak ini.” Dan gue butuh lagu banger, dia kasih gue “Dari Layar”. Tadi bentuknya “Dari Layar” enggak kayak begitu, kami banyak buat perubahan. Tapi gue merasa teksturnya cocok sama gambar yang gue kasih ke Randy, dan akhirnya itu yang kami ulik.

Kalau Marcel di lagu “Bintang 5”, dan gue bilang ke dia, “Gue ingin lagu yang mewah tapi santai.” Terus dia kasih bentuk draf beat “Bintang 5” ini. Dikasih, didengar, Randy juga suka, kami tambah-tambahkan. Bas tambah sedikit, Rhodes tambah sedikit. “Bintang 5” itu lagu ketiga yang gue kerjakan di album.

Monty Hasan itu di “Turun dari Langit”. Itu lebih spontan lagi, sebenarnya. Manajer gue mengasih tahu, “Ini ada beatmaker bagus, namanya Monty. Dia suka bikin lagu buat Kara Chenoa. Lo coba deh dengar beat-nya.” Dia kirim gue draf “Turun dari Langit”, kalau enggak salah isinya cuma bas, drum sama piano. Belum ada bentuknya. Gue pikir, “Ini kayaknya bisa nih lagu. Kita rekaman saja besok.” Kami ke studio. Itu sudah pandemi. Gue rekam vokalnya sama dia doang. Gue menulis lirik di situ, langsung jadi. Kara rekam chorus-nya di rumahnya sendiri. Kayaknya lagunya jadi dalam dua hari. Karena cocok, lagunya langsung kami masukkan. Itu lagu paling baru di Puncak Janggal, sebenarnya.

Setelah albumnya keluar dan orang-orang sudah dengar, bagaimana responsnya sejauh ini?

Gue senang sih, responsnya bagus. Gue tadinya sempat ada kekhawatiran, kayak, “Ini album enggak hip-hop banget, ya. Di masa Internet yang sebebas ini, kenapa sih gue membatasi diri?” Padahal setelah gue lihat-lihat lagi, ini juga bukan pembatasan diri. Ini juga mencoba melewati batas atau hal-hal yang sudah lo tahu. Dan ini adalah proses yang gue butuh, sampai akhirnya gue bisa menemukan versi terbaik dari diri gue sendiri. Ini juga kulit yang harus gue kupas. Jadi gue lega mengeluarkan Puncak Janggal ini, yang akhirnya selesai walaupun gue masih bisa bilang PR gue masih banyak buat mempromosikan album ini. Cuma, mental gue sekarang sudah di tahap yang gue sudah bisa bikin yang lain lagi.

Apa yang ada di pikiran untuk ke depannya?

Ini kan gue lagi mengurus Stufa juga. Gue enggak mau kalau sampai gue berkarya karena butuh duit. Gue enggak mau di studio berpikir sampai, “Ini bagaimana lagunya? Harus laku karena gue harus makan besok!” Gue enggak ingin itu terjadi. Gue ingin banget ketika berkarya, ya lepaskan saja apa yang mau lo lepaskan. Gue tahu cara orang omong atau berbicara atau bercakap-cakap sekarang pun sudah mulai agak harus terbatas dan dibatasi, tapi gue merasa masih bisa mengulik kata-kata untuk menyiasatinya. Tapi berkarya karena ada tekanan harus cari makan, itu hal yang menurut gue enggak enak. Mengeluarkan karya yang enggak jujur juga pasti lo akan enggak nyaman.

Kalau Puncak Janggal adalah album tentang apa yang dicari selama ini enggak sesuai harapan, sekarang apa yang dicari?

Kalau gue bilang ketenangan pikiran, nanti klise banget. Pokoknya, senang sih. Menurut gue, itu paling penting. Senang itu bisa datang dari berbagai sumber. Bisa jadi lo senang dapat uang, itu juga enggak salah. Bisa jadi lo bikin lagu juga senang. Pokoknya gue lebih coba melakukan hal yang memang gue mau dan senangi saja. Kayaknya kalau lo sudah bisa hidup kayak begitu dan lo ikhlas, mungkin itu puncak sebenarnya. Soalnya gue yakin banget, orang selalu mengaitkan kebahagiaan dengan lo nikah atau lo punya anak atau lo punya kerjaan yang super stabil dan gajinya tinggi. Tapi mungkin puncak lo adalah ketika lo melakukan apa yang lo senangi, dan lo puas, dan orang-orang juga terima itu, dan lo pun terima itu.

 

____

Penulis
Hasief Ardiasyah
Hasief Ardiasyah mungkin lebih dikenal sebagai salah satu Associate Editor di Rolling Stone Indonesia, di mana beliau bekerja sejak majalah itu berdiri pada awal 2005 hingga penutupannya di 31 Desember 2017. Sebenarnya beliau sudah pensiun dari dunia media musik, namun kalau masih ada yang menganggap tulisannya layak dibaca dan dibayar (terutama dibayar), kenapa tidak?

Eksplor konten lain Pophariini

Halal Bihalal Kasual MALIQ & D’Essentials Dihiasi 21 Lagu dan Penggemar Termuda

MALIQ & D’Essentials melanjutkan tradisi buka bersama para penggemar secara intim hari Kamis (28/03) di Ruuang Kopi, Jakarta Selatan. Tahun ini juga menjadi tahun kedua mereka menyebut momen berkumpul ini dengan nama Halal Bihalal …

Satu Dekade Tulus Mendengar Album Gajah

Album Gajah adalah jangkar, ia membuat banyak penggemar Tulus diam sejenak, mendengar lagu-lagu indah sembari merenungi apa yang terjadi dalam hidup