Siapa Suruh Datang Jakarta?

Nov 6, 2017

Kisah-kisah sukses band-band besar seperti Dewa 19, Padi, dan Sheila On 7 dibumbui dengan lika-liku perjuangan menuju Jakarta. Dhani mesti keliling Ibu Kota sendirian dengan bus kota untuk menawarkan demo ke berbagai label rekaman, saat kawan-kawannya menunggu di Surabaya sambil membereskan kuliah. Piyu bekerja serabutan sebagai mekanik dan sopir toko buah untuk bertahan hidup di Jakarta sembari mencari peruntungan agar proposal album Padi yang dibawanya dari Surabaya dilirik. Sementara Eross dan Adam malah tersasar ke toko elektronik yang menjual televisi Sony saat membawa rekaman demo album Sheila On 7 dari Yogyakarta menuju kantor Sony Music Entertainment Indonesia yang ada di daerah Menteng, Jakarta.

Saat itu Jakarta adalah segalanya. Sebagai pusat bisnis, tidak mengherankan kalau simpul-simpul industri rekaman berada di sana. Mulai dari kantor label rekaman, media massa, sampai studio rekaman yang bonafide.   Sekarang, Superman Is Dead berhasil menjadi band punk rock terbesar hari ini dengan basis massa yang mungkin sejajar dengan Slankers juga OI-nya Iwan Fals dengan tetap tinggal di Bali. Juga Endank Soekamti yang membuktikan jarak Jakarta-Yogyakarta bukan lagi halangan.  “Saat ini yang membedakan Jakarta dengan kancah musik di daerah hanya akses media,” jelas Adi Adriandi. Pria yang akrab dipanggil Gufi ini adalah tercatat sebagai bagian kolektif Kongsi Jahat yang bertanggung jawab atas showcase band-band independen di Jogjakarta, bertindak sebagai manager Frau, namun lebih senang disebut sebagai tukang ngolor (menggulung) kabel.

Bersama Farid Amriansyah alias Riann Pelor dan Hardinansyah P.S yang akrab dipanggil Ardy CHMBRS, Gufi berbagi sisik melik kancah musik luar Jakarta. Gufi mewakili Yogyakarta, Pelor menjadi representasi Palembang, dan Ardy datang sebagai juru bicara kancah musik Makassar dalam sesi diskusi Beyond Jakarta di Archipelago Festival yang berlangsung pada tanggal 14-15 Oktober di Soehanna Hall SCBD, Jakarta.

Menurut Gufi, sangat mudah bagi band-band baru di Jakarta untuk mendapat ekspos media. “Kalau untuk penunjang produksi sudah sama, tapi akses media yang berbeda. Band baru di Jakarta dalam setahun sudah bisa balik modal karena akses media banyak, sementara di Jogja walau bikin event skala besar belum tentu diliput media,” ujar Gufi. Ia memilih memboyong musisi-musisi Jogja ke Jakarta untuk melakukan konser tunggal, sesuatu yang sebetulnya jarang dilakukan band-band yang berbasis di Jakarta. “Seperti aku bawa Senyawa main di Gedung Kesenian Jakarta atau kemarin Melancholic Bitch main di Rossi Music, aku bawa semua tim produksi dari Jogja,” rincinya.

Pengalaman bekerja di media Jakarta menjadikan Riann Pelor tahu bagaimana bersiasat dengan para kuli tinta saat ia kembali pulang ke kampung halamannya di Palembang, Sumatera Selatan. “Kesalahan pelaku kancah musik daerah adalah menjadikan media massa yang berbasis di Jakarta sebagai tujuan utama,” ujar Pelor yang pernah bekerja sebagai wartawan musik selama merantau di Jakarta.

Pelor memilih untuk sebanyak-banyaknya menciptakan “isi” ketimbang terus menerus berkutat dengan sulitnya akses ke media nasional. “Sebagai band daerah, kami harus tiga kali bekerja lebih giat untuk dikenal di kota kami sendiri, dikenal di regional Sumatera, juga dikenal oleh publik nasional,” bebernya. “Ketika kami sudah punya banyak isi, tentu akan mudah untuk menyebarkannya paling tidak ke seluruh Sumatera,”sambungnya. Meski demikian, ia tidak menampik media nasional yang ada di Jakarta justru menjadi tempat bagi band-band asal Sumatera seperti SEMAKBELUKAR  juga (((AUMAN))), yang sempat diperkuatnya sebelum akhirnya memutuskan bubar pada 2015. “Media lokal justru tidak ada yang memberitakan,” ungkapnya sambil tertawa.

Ardy sepakat dengan pernyataan Pelor tentang menciptakan muatan-muatan lokal. Bagi pemilik Chambers Entertainment  ini, memperkuat kolaborasi adalah langkah paling masuk akal di kancah musik Makassar untuk mengenalkan potensi-potensi lokal. “Dengan kolaborasi akan memungkinkan sektor-sektor lain terangkat,” ujar Ardy. Dirinya mencontohkan sektor literasi yang terangkat lewat gelaran Makassar International Writers Festival sejak tahun 2011. “Ada creative hub seperti Rumata’ Artspace dan Kedai Buku Jenny yang tidak hanya menyediakan ruang untuk kegiatan literasi, tapi juga untuk aktivitas lain seperti musik dan film,” jelasnya.

Langkah Ardy berkecimpung di dunia musik dimulai dari bisnis distro yang telah didirikannya tahun 2003 dengan nama Chambers. Distro ini merupakan wadah distribusi produk album rekaman, merchandise musik dan clothing independen dari Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya, Bali dan Makassar. Dari distro ini lahir Chambers Celebes tahun 2005 yang membawahi beberapa unit bisnis, termasuk Chambers Entertainment  yang sukses menggelar Rock In Celebes sebagai barometer konser musik cadas di kawasan Indonesia bagian timur. Selain memajang jagoan dalam negeri seperti Seringai, Burgerkill, dan The S.I.G.I.T, festival musik yang mulai digelar sejak tahun 2010 ini sukses mendatangkan headliner mancanegara seperti Marduk dan Dashboard Confessional .

Sebelum menyelenggarakan Rock In Celebes, Ardy telah sukses menyelenggarakan pergelaran musik yang diselenggarakan setiap tahun sejak 2005. Sebut saja, Chambers Show Vol. 1-11, Infamous Sneakers Breakers, juga Kikcfest 2008. “Saya berharap Rock In Celebes ini akan jadi semacam hub bagi band-band di pulau Sulawesi. Juga band-band asal Jawa yang sedang ada gig di Kalimantan bisa menyeberang ke Makassar untuk kolaborasi tur keliling Sulawesi,” harapnya.

Teknologi pada akhirnya mampu menghilangkan sekat geografis. Akses-akses yang tadinya terbatas, kini semakin terbuka. Pada akhirnya tinggal kemauan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan yang ada. Termasuk kemauan untuk menciptakan suatu mekanisme bisnis yang saling menguntungkan satu sama lain untuk kemajuan bersama. “Di Jogja itu sebetulnya sudah bisa mandiri. Ibaratnya dulu band-band independen Jogja ambil mencontoh Sheila On 7, sekarang malah Sheila On 7 yang balik belajar. Tapi kadang penghargaannya masih kurang. Kayak kalau bikin merchandise kaos ada saja yang minta. Alasannya temannya personil. Yang begini ini yang bikin mumet (pusing),” tutup Gufi.

foto: dok. Archipelago Festival

 

____

Penulis
Fakhri Zakaria
Penulis lepas. Baru saja menulis dan merilis buku berjudul LOKANANTA, tentang kiprah label dan studio rekaman legendaris milik pemerintah Republik Indonesia dalam lima tahun terakhir. Sehari-hari mengisi waktu luang dengan menjadi pegawai negeri sipil dan mengumpulkan serta menulis album-album musik pop Indonesia di blognya http://masjaki.com/

Eksplor konten lain Pophariini

Wijaya 80 Rilis Single Terakhir Kali, Selangkah Lebih Dekat Menuju Mini Album

Wijaya 80, band trio yang mengusung tema pop 80an, meluncurkan single “Terakhir Kali” (06/12).      Lebih dari sebuah karya musik, tembang ini menjadi refleksi emosional tentang rumitnya perjalanan cinta sekaligus penanda babak baru …

Maudy Ayunda Rayakan Kerapuhan dan Ketangguhan Manusia di Album Keempat

Penyanyi dan penulis lagu, Maudy Ayunda, kembali menghiasi blantika musik Indonesia dengan merilis album studio keempatnya, Pada Suatu Hari (03/12). Album ini menampilkan sisi artistiknya yang lebih matang dan autentik—baik dalam bermusik, maupun bercerita. …