Siasat Kawan dan Arus Penolakan RUU Permusikan

Feb 14, 2019

Baru-baru ini Professor dari Bowling Green State University, Ohio, Amerika Serikat Jeremy Wallach mengatakan kepada Tribunnews.com (4/2) bahwa lebih dari 30 peneliti dari beberapa negara asing termasuk Korsel, Finlandia, Jepang, Belanda, Australia, Jerman, Amerika, Kanada, dan Italia berminat dengan musik independen Indonesia secara jujur dan serius. Genre yang diminati mulai dari dangdut, metal, punk, noise, atau hiphop, “musik-musik tersebut adalah musik nasional Indonesia,” katanya. (artikel lengkapnya bisa dibaca di tautan ini)

Sama halnya dengan dinamika bisnis di luar musik, khususnya start up yang banyak memberikan perubahan mulai sektor budaya kerja sampai cara berkomunikasi untuk produk yang dijualnya. Mereka sadar betul komunitas menjadi instrumen dengan value tertinggi tanpa harus memperlakukan mereka seperti komoditas sejak awal. Mulai dari moda transportasi hingga persaingan ritel online. Agar lebih tergambar, saya berikan satu artikel terkait dalam tautan ini.

Komoditas berbasis komunitas pun sudah pernah saya dengar langsung dari wawancara bersama Bapak Pakar Pemasaran Indonesia, Hermawan Kertajaya sekitar tahun 2013. Menempatkan komunitas pada nomor urut kedua dari 13 kunci yang harus diperhatikan oleh pengusaha dalam memasarkan produknya.

Komunitas pun jadi barang yang menakutkan bagi para raksasa, yang melulu bicara untung rugi tanpa melihat hubungan / interaksi dan kepuasan yang mengonsumsi produknya. Tak terkecuali pada sektor industri musik. Mereka yang kurang kreatif, merasa gagap total mengambil strategi pendekatan komunitas. Lebih memilih mengekang lewat peraturan. Seperti yang banyak dialami oleh musisi yang sempat bernaung di perusahaan rekaman besar. Mereka dikontrak dalam kurun waktu tertentu, dituntut menghasilkan lagu yang bisa menjual.

Karena rata-rata komunitas menjadi kuat berkat kerelaannya untuk loyal kepada musisi tertentu. Hal ini menjadi value besar para musisi yang sudah bergerak secara independen, terbiasa merangkul dan tak segan berbincang dengan pasar mereka. Terbiasa untuk bergerak dinamis. Sementara praktisi musik konvensional masih mengandalkan undang-undang agar ceruk mereka tetap aman.

Tidak ada yang salah dari para praktisi musik pada dua faksi tersebut, mereka sama-sama punya komoditas masing-masing. Mengandalkan bisnis musik sebagai tulang punggung penghasilan. Tapi apa yang berbeda? Kepedulian, kebebasan berkarya, dan nalar berkesenian jawabnya yang sebentar lagi akan diberangus oleh RUU Permusikan jika lolos dan disahkan di parlemen.

Komunitas pun jadi barang yang menakutkan bagi para raksasa, yang melulu bicara untung rugi tanpa melihat hubungan / interaksi dan kepuasan yang mengonsumsi produknya.

Bila teman-teman jeli, ada banyak hal terkait proyek untuk kepentingan segelintir golongan pun terjabarkan di dalam pasal-pasal tersebut. Tak hanya pelaku bisnis, elit politik pun juga ambil bagian. Tak mau ketinggalan celah untuk menjadikan musik sebagai kendaraan kampanye atau kepentingan mereka. Bahkan tak segan untuk membungkam ekspresi dan cara berkarya musisi.

Sementara di sisi lain pengaturan produk musik lebih berat untuk menunjang bisnis segelintir kalangan tanpa melihat dinamika industri musik saat ini. Sampai tak segan untuk membungkam konten musik itu sendiri. Lalu sama sekali tidak memuat tentang musisi jalanan dalam pasal-pasal tersebut. Padahal perjuangan Anto Baret dan kawan-kawan musisi jalanan sudah ada sejak puluhan tahun lalu yang kini juga sedang dilakukan oleh Institut Musik Jalanan.

 

TOLAK RUU PERMUSIKAN

Kisah di atas adalah gambaran “setai kuku” permasalahan yang bergelimpangan soal pro dan kontra RUU Permusikan. Fakta-fakta tersebut membuat praktisi musik dari kalangan industri musik independen ibu kota memotori pergerakan untuk menolak RUU Permusikan dan menyebar hingga ke beberapa kota seperti Bogor, Cianjur, Bandung, Majalengka, Garut, Cirebon, Semarang, Surabaya, Padang, Medan, Siantar, Makassar, Bali yang menggelar diskusi terbuka membahas RUU Permusikan dan menyatakan untuk menolak RUU Permusikan.

Sementara mereka yang pro dan ingin revisi mengandalkan loby-loby dan penetrasi himbauan dengan kalimat perintah via Whatsapp Group. Bahkan ada informasi beredar Anang dan sejumlah anggota/pengurus PAPPRI mendadak melakukan pertemuan tertutup di Jakarta dengan ketua umum PAPPRI, AM Hendropriyono pada Senin (11/2). Menarik untuk diterka-terka apa sebenarnya motif di balik RUU Permusikan ini. Apalagi di hari yang sama, Anang menggelar jumpa pers pengunduran dirinya dari jabatan Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi Musik seperti diberitakan dalam tautan ini.

Masih di hari yang sama, KNTLRUUP justru menggelar diskusi bersama para praktisi musik yang dihadiri lebih dari 20 orang di Jakarta. Mereka terus membahas substansi dan urgensi RUU Permusikan yang tetap diyakini dengan sikap menolak.

Terlihat mana yang lebih bertindak progresif, nyaring menyatakan “TOLAK” dengan tetap melakukan langkah-langkah analisa dan menelanjangi RUU tersebut dengan hasil rekomendasi dan membuat Daftar Inventorisasi Masalah (DIM) yang dapat diakses di https://tolakruupermusikan.com/ dan https://tolakruupermusikan.com/dim/ .

Artinya mereka menolak bukan berarti tidak peduli. Ada hal-hal yang sedang diperjuangkan. Mereka ingin mengkaji dahulu, apa yg dibutuhkan, dan ingin memberikan solusi yang sesuai. Apakah menjadi RUU atau berupa peraturan turunan dari UU yang sudah ada, atau juga sekadar kebijakan-kebijakan pemerintah untuk lebih menjamin ekosistem musik yang sehat. Tujuannya sama dengan PAPPRI; menyejahterakan dan mengangkat harkat praktisi musik Indonesia.

“Paduan Suara Dialita harus ikut mendukung penolakan RUU Permusikan karena kami tidak mau apa yang sudah kami alami lebih dari 35 tahun akan dialami oleh pemusik muda. Kami tak mau pembungkaman musisi terjadi lagi. Cukup sampai pada kami”.

Saya memang berburuk sangka terhadap indikasi proyek yang samar-samar di balik pasal-pasal RUU Permusikan. Oleh karenanya tak segan bergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan (KNTLRUUP). Untuk apa? Untuk belajar dan mengkaji semuanya yang dirasa aneh, menjengkelkan, penuh agenda tersembunyi.

Berkat koalisi ini, saya jadi tahu kesaksian Paduan Suara Dialita yang merespon pasal 5 RUU tersebut dengan mengatakan “Dialita harus ikut mendukung penolakan RUU Permusikan karena kami tidak mau apa yang sudah kami alami lebih dari 35 tahun akan dialami oleh pemusik muda. Jangan sampai RUU ini disahkan. Kami tak mau pembungkaman musisi terjadi lagi. Cukup sampai pada kami”.

Publik pun mungkin bingung, ada apa dengan para musisi ini, tuduhan heboh dan lebay banyak ditujukan kepada KNTLRUUP. Padahal siang malam, hampir 24 jam, kami terus aktif menganalisa dan berdiskusi panjang namun menyenangkan. Mengupas kalimat demi kalimat, pasal demi pasal yang akhirnya ditemukan lebih dari 80% pasal dalam RUU tersebut bermasalah.

Bukan bertindak berlebihan, tapi rasanya teramat sayang sekaligus diselimuti rasa geram dengan ketidak adilan dalam ranah musik ini. Kami tidak pernah menyesal berada dalam kubu generasi yang progresif, generasi yang berani menolak apa yang dianggap tidak benar prosesnya, generasi yang ingin menciptakan ekosistem musik Indonesia secara baik, generasi yang melihat dengan terang bahwa Negara belum siap mengatur ekosistem musiknya saat ini.

Anang memang kawan semua praktisi musik, ia juga telah melakukan tugasnya di parlemen, ketimbang praktisi musik lainnya yang melempem terhadap kepedulian musik Indonesia. Tapi rupanya siasat kawan belum cukup mewakili keterlibatan banyak kalangan. Momen konferensi musik yang mendatangkan ribuan praktisi musik di Ambon pun tak dijadikan kendaraan untuk membahas RUU Permusikan. Akhirnya muncul pergolakan akibat ketidak adilan dalam RUU Permusikan.

 

____

1
2
3
Penulis
Dzulfikri Putra Malawi
Jurnalis yang sudah tidak bekerja di media lagi dan sedang menikmati hari-hari menjadi Sr. Content pada salah satu agency digital. Menulis buku LOKANANTA bersama dua kawan dan masih aktif bermusik. Karyanya dapat dikunjungi di https://putramalawi.wordpress.com/ dan https://www.youtube.com/user/soulonsound

Eksplor konten lain Pophariini

We Are Neurotic Mempersembahkan Album Mini Terbaru Asian Palms

Trio disco dan jazz asal Jakarta, We Are Neurotic menutup tahun 2024 lewat perilisan album mini terbaru yang diberi nama Asian Palms (13/12) bersama C3DO Recordings sebagai label naungan.     Album Asian Palms …

Yella Sky Sound System Rayakan 1 Dekade Lewat Album Mini The Global Steppers

Unit dub kultur sound system asal Jakarta, Yella Sky Sound System merayakan satu dekade eksistensi lewat perilisan album mini terbaru bertajuk The Global Steppers (20/12). Dipimpin oleh produser sekaligus selektor Agent K, album mini …