Sonic/Panic: Berbagi Harapan dan Ketakutan Dalam Album Horor Tahun Ini

Dec 14, 2023

Sebelum membicarakan Sonic/Panic, album horor tahun ini, kita harus tahu membuat lagu dengan topik berat seperti isu lingkungan, atau lebih spesifik tentang krisis iklim, pasti punya tantangan tersendiri. Orang hanya mau dengar apa yang mereka mau dengar.

Selain isu seperti ini acapkali membosankan, susah dipahami, kurang relate secara personal dengan kebanyakan orang, juga seringkali “ditakuti” oleh banyak musisi karena kuatir dicap menggurui dan dilabeli sebagai SJW yang punya konotasi negatif di kalangan netizen domestik Indonesia.

Menggabungkan dua hal ini: Idealisme dan selera pasar. Isu berat dan estetika. Pastilah susah.

Bagaimana usaha 13 musisi yang tergabung dalam proyek album kompilasi Sonic/Panic, sebuah album kompilasi tentang krisis iklim yang baru saja rilis 4 November 2023 lalu di Bali, mengemas topik yang enggan disentuh kebanyakan musisi, menjadi sebuah karya yang masih punya rasa “pop hari ini”?

Membuat lagu dengan topik berat seperti isu lingkungan, atau lebih spesifik tentang krisis iklim, pasti punya tantangan tersendiri. Orang hanya mau dengar apa yang mereka mau dengar

Nah, artikel singkat ini adalah perjalanan seru sebuah album yang membeberkan bahwa musik tidak sesempit sebagai media hiburan belaka, tapi juga media pergerakan, kampanye, dan media edukasi informal.

Berawal dari tahun lalu, saya dan sahabat saya, Ewa Wojkowska, pendiri organisasi Kopernik, lembaga riset dan teknologi tepat guna yang berbasis di Bali, tempat di mana saya bekerja beberapa tahun terakhir, kontak-kontakan dengan tim Music Declares global yang bermarkas di Inggris.

Gerakan Music Declares ini diinisisasi dan digaungkan oleh para musisi seperti Thom Yorke ( Radiohead), Massive Attack, Fat Boy Slim, Kevin Parker (Tame Impala), Jarvis Cocker (Pulp), Billie Eilish, Tom Morello ( Rage Against the Machine) dan banyak lagi.

Artikel singkat ini adalah perjalanan seru sebuah album yang membeberkan bahwa musik tidak sesempit sebagai media hiburan belaka, tapi juga media pergerakan, kampanye, dan media edukasi informal

Music Declares sudah menyebar kemana-mana, alias buka cabang di berbagai negara di Eropa, Amerika, Amerika Selatan, dan Australia. Tapi di Asia belum ada.

Nah, mereka ngajakin: Yuk… Indonesia jadi yang pertama di Asia.

Cuma pada waktu itu masih jaman pandemi. Saya dan Ewa lagi sibuk-sibuknya mengurusi berbagai proyek sosial yang berhubungan dengan respon menghadapi pandemi, seperti penguatan ketahanan masyarakat, pengadaan pangan, membantu kelengkapan medis, membantu UMKM setempat, dan pelatihan bagi para petani di desa-desa.

Setahun kemudian, saat pandemi berakhir, sekitar bulan Februari 2023, kami mengabari ulang ke UK, bahwa sekarang kami siap. Baik secara waktu, tenaga, pendanaan, dan jaringan kerja.

Gerakan Music Declares ini diinisisasi dan digaungkan oleh para musisi seperti Thom Yorke ( Radiohead), Massive Attack, Fat Boy Slim, Kevin Parker (Tame Impala), Jarvis Cocker (Pulp), Billie Eilish, Tom Morello ( Rage Against the Machine) dan banyak lagi

Tahap pertama, kami di Bali membangun Tim “think tank” yang kami beri nama IKLIM, singkatan dari Indonesia Climate, Knowledge, Arts & Music Lab. Tujuan utama team ini adalah membangun gerakan kolektif musisi dan seniman yang peduli terhadap isu iklim dan mengajak masyarakat agar peduli dan mengarusutamakan isu perubahan iklim lewat seni dan musik.

Selanjutnya, menghubungi sahabat-sahabat musisi yang menurut kami punya kepedulian yang sama dan secara positif menyambut gerakan ini. Karena ini perdana, simpelnya, kami berkolaborasi dengan teman-teman yang mudah diajak bergabung, entah karena kedekatan dalam historis, kedekatan pertemanan, kepercayaan, kecocokan skejul, dan secara alami aktif bergerak di komunitas dan skenanya masing-masing. Bukan cuma sebagai musisi tok, tapi juga aktif dalam pergerakan.

13 band/musisi solo sepakat!

Yaitu, Endah N Rhesa, Iga Massardi, Tuantigabelas, Tony Q Rastafara, Iksan Skuter, FSTVLST, Nova Filastine, Kai Mata, Guritan Kabudul, Prabumi, Made Mawut, Rhythm Rebels, dan band saya sendiri, Navicula.

13 band/solois sepakat! Yaitu, Endah N Rhesa, Iga Massardi, Tuantigabelas, Tony Q Rastafara, Iksan Skuter, FSTVLST, Nova Filastine, Kai Mata, Guritan Kabudul, Prabumi, Made Mawut, Rhythm Rebels, dan band saya sendiri, Navicula.

Sebelum bikin album keroyokan, ada baiknya kita bersama mendalami topik dan isu yang akan kita sampaikan dalam sebuah workshop intensif selama empat hari di Bali, mengupas tuntas isu iklim dengan informasi yang valid dari A-Z, lewat diskusi intens dengan beberapa fasilitator dan narasumber dari berbagai disiplin.

Ini penting, karena menurut saya, karya yang otentik adalah saat orang tersebut hidup di dalam karyanya, dan karyanya hidup di dalam dirinya. Secara genuine punya keterikatan emosi dan personal dengan apa yang disampaikan.

Dan akan lebih baik lagi, jika memahami dan merasakan topik yang disampaikan. Itu akan menghasilkan kepercayaan diri dalam berkarya. Tidak ada keraguan. Perpaduan serasi antara pengalaman, logika dan rasa. Perpaduan otak kanan dan kiri.

Gagasan dan tema album Sonic/Panic ini sendiri semakin konkrit melalui kebersamaan di workshop ini. Bahkan melalui workshop tersebut turut terdeklarasikan berdirinya sebuah label rekaman kolektif bernama ALARM Records, yang menjadi label musik sadar lingkungan pertama di Indonesia

Akumulasi ini, dalam budaya Bali disebut ‘Taksu’.

Agar mendekati “walk the talk”, maka kami sepakat jika workshop ini esential untuk diadakan.

Gagasan dan tema album Sonic/Panic ini sendiri semakin konkrit melalui kebersamaan di workshop ini. Bahkan melalui workshop tersebut turut terdeklarasikan berdirinya sebuah label rekaman kolektif bernama ALARM Records, yang menjadi label musik sadar lingkungan pertama di Indonesia.

Tepat sebulan setelah tuntasnya workshop, setiap musisi berhasil menyelesaikan lagu baru yang berdasar pada bahasan workshop, yang akan disertakan dalam album kompilasi ini.

“Aku paling cengeng sepanjang workshop dan sempat mengalami mental breakdown di hari kedua. Ini merupakan masalah yang berat, dan sebagai musisi, kami harus punya cara untuk mengekspresikan kekhawatiran, ketakutan” Ujar Endah dari Endah N’ Rhesa

Ada banyak pengalaman seru dan respon yang beragam yang diceritakan oleh teman-teman musisi saat acara press confrence yang diadakan di Jakarta tanggal 24 Oktober 2023 silam.

“Aku paling cengeng sepanjang workshop dan sempat mengalami mental breakdown di hari kedua. Ini merupakan masalah yang berat, dan sebagai musisi, kami harus punya cara untuk mengekspresikan kekhawatiran, ketakutan. Meski bukan bermaksud menakut-nakuti, faktanya ada semua, bahwa di kurun waktu tertentu krisis ini akan terjadi. Paska workshop waktu itu aku hampir tidak bisa ikut press conference sebelumnya di Bali karena aku merasa hancur melihat kenyataan yang terjadi,” ujar Endah Widiastuti dari Endah N Rhesa

Menurut Endah, harus ada gerakan masif di mana semua pihak perlu terlibat demi generasi yang akan datang. “Rasanya tidak adil kalau kita sudah tua, atau sudah tidak ada, tetapi menyisakan suatu hal yang tidak kita perjuangkan dengan baik,” tambahnya.

Menurut Upi, seluruh lagu dalam album ini merupakan suara terdalam dari para musisi. “Ini adalah lagu yang paling sulit yang pernah saya tulis. Jadi ada khawatir, putus asa, tapi harus punya harapan karena saya punya tiga anak. Saya tidak mau bumi ini habis begitu saja buat generasi berikutnya”

Rapper Upi a.k.a Tuantigabelas merasakan pengalaman yang hampir sama. “Saya “menyesal” mengikuti workshop di Bali waktu itu, karena dipaparkan fakta yang banyak dan menakutkan. Hari pertama kami semua masih bisa ngobrol. Hari kedua semua terdiam. Ini bumi bagaimana ya? Faktanya bikin kita bengong. Aku sama Endah sempat makan bareng, lalu saling pandang dan kita tanpa sadar menangis. Ini serius sekali. Ini adalah tongkat estafet yang harus disampaikan dalam bentuk yang aku tahu, yaitu musik,” ujarnya.

Menurut Upi, seluruh lagu dalam album ini merupakan suara terdalam dari para musisi. “Ini adalah lagu yang paling sulit yang pernah saya tulis. Jadi ada khawatir, putus asa, tapi harus punya harapan karena saya punya tiga anak. Saya tidak mau bumi ini habis begitu saja buat generasi berikutnya,” tambahnya.

Mengenai tema lagu, masing-masing punya cerita tersendiri dengan topik yang dipilih.

Lagu ‘Plastic Tree’ milik Endah N Rhesa misalnya yang menggambarkan dunia tanpa pohon, yang digantikan oleh replika plastik. Lagu ini menjadi pengingat yang kuat tentang dampak lingkungan dari tindakan kita.

Iga Massardi berkolaborasi dengan musisi asal Madura, Badrus Zeman, pentolan band Lhorju, mengusung lagu berjudul Polo Nyaba (Pulau Nafas), tentang pulau terpencil yang punya indeks oksigen paling bagus di dunia

“Kami membawa imajinasi jika di dunia ini tidak ada pohon, tidak ada burung yang bernyanyi, ayam berkokok, lebah memanfaatkan baterai supaya mereka bisa terbang, segalanya lebih artifisial. Semua jadi mengagumkan tapi menyeramkan. Kita jangan menganggap remeh kemampuan kita menemukan hal hal baru, tetapi ada risiko juga. Ada kemegahan, ada kehancuran, ketakutan. Jadi mixed feelings,” ujarnya.

Ia menambahkan, pada bagian akhir lagu ini, Endah n Rhesa menyatakan permohonan maaf kepada bumi, karena selama hidup yang dijalani, manusia telah merugikan atau menghancurkan. “Kita tidak pernah tahu, apakah perjuangan ini akan ada hasilnya. Jadi kita minta maaf, dan paling tidak kita sudah berusaha,” ungkapnya.

Iga Massardi berkolaborasi dengan musisi asal Madura, Badrus Zeman, pentolan band Lhorju, mengusung lagu berjudul Polo Nyaba (Pulau Nafas). “Sepulang saya dari Bali, kami ngobrol, brainstorm dan mengerjakan lagu ini yang bercerita tentang pulau terpencil yang punya indeks oksigen paling bagus di dunia. Lagu ini menggambarkan peperangan antara yang baik dan serakah,” ujar Iga.

Setiap generasi punya revolusinya sendiri-sendiri, dan menurut saya, isu krisis lingkungan adalah isu yang penting dimasukkan ke dalam skala prioritas di generasi kita

Pada lagu ‘House on Fire’, band saya Navicula menyuarakan pemanasan global dan spirit kolaborasi. Navicula berdiri sejak 1996 dan kami sejak awal membicarakan isu lingkungan. Tetapi meskipun sepertinya sudah gencar mengangkat isu ini, rasanya hampir tidak ada perubahan signifikan pada perbaikan lingkungan. Kami menyadari rasanya harus lebih banyak kolaborasi. Jadi spirit lagu ‘House on Fire’ ini adalah kolaboratif. Bahwa alangkah keras gaungnya jika mayoritas industri kreatif Indonesia yang sangat besar ini membicarakan isu tersebut.

Setiap generasi punya revolusinya sendiri-sendiri, dan menurut saya, isu krisis lingkungan adalah isu yang penting dimasukkan ke dalam skala prioritas di generasi kita.

Cover album Sonic/Panic digarap oleh visual artist Farid Stevy, yang juga merupakan frontman dari band indie-rock asal Yogyakarta, FSTVLST, yang juga turut menyumbang lagu berjudul ‘Rat Tua’ di album kompilasi ini.

Bisa dibilang genre musik dalam album ini cukup beragam, dari rock, folk, hip-hop, R&B, reggae, electronik, world/fushion, dan blues.

Cover album Sonic/Panic digarap oleh visual artist Farid Stevy, yang juga merupakan frontman dari band indie-rock asal Yogyakarta, FSTVLST, yang juga turut menyumbang lagu berjudul ‘Rat Tua’ di album kompilasi ini

Album Sonic/Panic di-launching dalam perhelatan berjudul IKLIM Fest yang diadakan di Monkey Forest, Ubud – Bali pada tanggal 4 November 2023, dan dihadiri oleh hampir seluruh musisi yang terlibat dalam album Sonic/Panic, untuk bersama lewat pertunjukan musik menyuarakan kepeduliannya terhadap keberlangsungan kehidupan di bumi kita yang satu-satunya ini.

Sonic adalah audio. Panic ada sense of urgency. Kami sebagai musisi juga bisa berkontribusi terhadap negara karena tujuan negara memang harus membersihkan emisi Indonesia sesuai target 2060.

Masalah lingkungan dan krisis iklim disebabkan oleh ketidakseimbangan antara apa yang kita ambil dari alam dan apa yang kita beri balik ke alam.

Sonic adalah audio. Panic ada sense of urgency. Kami sebagai musisi juga bisa berkontribusi terhadap negara karena tujuan negara memang harus membersihkan emisi Indonesia sesuai target 2060.

Kita sebagai musisi pun mengakui bahwa kita tak lepas dari penyebab masalah ini. Kita telah ambil segala sesuatunya dari alam. Gitar kesayanganku dari kayu pohon yang ditebang, sejumlah perjalananku dengan pesawat yang tentunya boros dangan bahan bakar fosil, daya dan emisi karbon untuk menghidupkan puluhan ribu watts sound system dalam festival akbar, bahkan hal sepele online streaming mendengarkan lagu favorit kita pun menghasilkan jejak karbon.

Tapi kita, sebagai manusia, ingin menjadi individu yang bertanggung jawab; ingin memberi balik apa yang sudah kita ambil dari alam, termasuk inspirasi.

Kerja ini besar dan kolektif. Bukan hanya kerja pemerintah atau LSM, tapi seluruh komponen masyarakat punya andil dan kemampuan untuk bergerak bersama-sama, sesuai cara, kapasitas, ruang dan kemampuan masing-masing.

Kami musisi, ini yang kami punya: Musik.

We love music. We love what we do and do what we love. We do it with care. Care for people, care for nature, and care for the future of this planet.

Because, there is NO MUSIC ON A DEAD PLANET!

Untuk info lebih lanjut tentang IKLIM, ALARM Records, dan album Sonic/Panic, silakan follow instagram @musicdeclares_indonesia

 


*Gede Robi adalah musisi, personil band Navicula, akftifis dan petani.

Eksplor konten lain Pophariini

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …

CARAKA Suarakan Berbagai Emosi di Album Terbaru NALURI

Unit pop asal Tegal, CARAKA resmi luncurkan album bertajuk NALURI (15/12). Melalui sesi wawancara yang berlangsung pada Senin (16/12), CARAKA membagikan perjalanan band dan hal yang melatarbelakangi rilisan terbarunya.     CARAKA merupakan band …