Sudut Kantin Project: Menjadi Amatir, Menyemai Perkawanan

Musik sebagai bagian dari produk kebudayaan, tidak bergerak dari ruang kosong. Ia lahir melalui akar historis dan identitas yang panjang. Memahami musik sebagai rantai ekosistem yang sehat berarti juga mengakui bahwa musik memberikan manfaat bagi keberlangsungan hidup manusia di sekelilingnya.
Dalam mendukung ekosistem musik, sudah seharusnya membutuhkan keterlibatan dari pelaku, pegiat, penikmat, dan pihak luar demi penyelenggaraan ekosistem musik yang sehat. Dengan banyaknya jumlah keberagaman dan keterlibatan aktif orang-orang di ekosistem, anggaplah skena musik dapat terus berkembang menuju arah yang lebih baik dengan segala kerumitan di dalamnya.
Kalau kita telisik lebih dalam mengenai ekosistem musik, bukan soal gemerlap panggung saja, tetapi juga tentang kontribusi sekumpulan orang-orang, gagasan liar, penggunaan alat produksi bersama, atau soal keterbatasan-keterbatasan yang berdampak bagi lingkungan sekitar.
Salah satunya elemen penting yang sering luput dari perhatian publik ialah peran media lokal, komunitas, atau alternatif. Kehadiran media bukan hanya sebagai penyambung informasi, tetapi juga sebagai ruang hidup yang merawat ekosistem musik hari ini.
Di Yogyakarta, orang-orang yang terlibat dalam dunia media semakin beragam dan melimpah. Hal tersebut tak lepas dari kenyataan bahwa hari ini setiap orang bisa menjadi media itu sendiri. Dengan akses teknologi dan ruang digital yang terbuka, siapa pun bisa merekam, mengarsip, dan membagikan cerita. Namun lebih dari itu, yang menarik adalah bagaimana kehadiran media justru ikut terlibat untuk membangun atau merawat ekosistem di dalamnya agar lebih inklusif.
Kehadiran media lokal tidak hanya menjadi ruang untuk berbagi cerita, tetapi juga sebagai titik pijak bagi eksistensi musisi-musisi pinggiran yang kerap luput dari sorotan arus utama. Pengaryaan dan pergerakan musisi tak lagi tersentralisasi di kota-kota besar. Justru dari ruang-ruang kecil, pinggiran, dan perbincangan sehari-hari.
Di Yogyakarta sendiri, ada beberapa media yang saya ketahui, mulai dari Musikjogja, Koloni Gigs, Jogja Sonic Index, Prodvokatif, Gigs.Society, Doggyhouse, Wavecvlt, Hitstori, Sudut Kantin Project, dan masih banyak yang belum saya sebutkan.

Kerabat kerja di tahun 2025 / Dok. SKP
Saya sendiri terlibat di media Sudut Kantin Project sebagai juru tulis baru-baru ini. Selain saya, ada beberapa kerabat kerja yang juga masuk barisan dengan pembagian peran masing-masing namun terkadang merangkap. Mereka adalah Gentayu Amanda (direktur), Agustinus Rangga Respati (dewan pembina), serta Arlingga Hari Nugroho (editor). Ada pula Zhafran Naufal Hilmy, Gilbert Natanael Pardosi, dan Hifzha Aulia Azka (juru tulis). Sementara untuk pengelolaan aset visual, ada Bima Chrisanto dan Akwila Chris Santya Elisandri (aset foto).
Sebelum berbicara lebih jauh, saya akan bercerita sedikit mengenai latar belakang media komunitas Sudut Kantin Project (selanjutnya disingkat SKP). Pada tahun 2020 menjadi tahun pertama SKP mengudara, berawal dari tongkrongan di sudut kantin Universitas Sanata Dharma yang sebagian besar diisi oleh anak-anak Sastra Indonesia. Mereka berinisiatif untuk mengelola sebuah media mandiri guna mendukung orang-orang sekitar yang ingin menerbitkan tulisan agar dibaca oleh banyak orang. Terbentuknya SKP juga dimaknai dengan membuka ruang bagi partisipasi publik dalam menghasilkan konten jurnalisme.

Logo Sudut Kantin Project / Dok. SKP
Menetapkan ”Jurnalisme Warga, Subkultur, dan Sastra” sebagai tagline, SKP memiliki tujuan untuk memudahkan pembaca bisa menemukan konten yang sesuai dengan minat dan preferensinya dalam mencari karya jurnalistik dunia subkultur anak muda sekaligus dibalut dengan karya sastra.
Kami memercayai setiap orang berhak untuk lebih yakin menulis hal-hal yang menyenangkan—tradisi lokal, budaya populer, kolektivisme, budaya tandingan, dan hal-hal pinggiran—yang layak untuk mendapatkan ruang publikasi tanpa harus dihantui rasa takut dan malu. Sebab kami memercayai setiap cerita yang tertimbun di tumpukan rutinitas adalah penggalan peradaban yang lesat dan memiliki arti.
Di website-nya sendiri ada enam jenis tulisan dengan beragam segmentasi, meliputi: Pertama, Kilasan, menaungi tulisan reportase suatu peristiwa secara aktual dengan gaya bicara sendiri, namun tetap mengedepankan fakta. Kedua, Sastra, menaungi karya-karya sastra berupa puisi, cerpen, dan sebagainya. Ketiga, Suara, menaungi tulisan esai atau opini yang mewakili pemikiran atau pendapat penulis dalam merespon suatu hal. Keempat, Ulasan, menaungi artikel resensi mengenai nilai dari sebuah karya (buku, film, musik, pertunjukan, dan sebagainya). Kelima, Lipstil, menaungi tulisan-tulisan gaya hidup, rekomendasi tren, atau hal-hal personal yang terhubung dengan kehidupan orang banyak. Dan keenam, Wawancara, menaungi artikel bincang-bincang bersama figur inspiratif yang ditulis dalam format tanya-jawab.
Tahun ini menandai tahun kelima SKP berdiri. Waktu yang cukup untuk menahbiskan diri sebagai kelompok amatiran nan ugal-ugalan. Amatiran dirasa menjadi kata yang lebih tepat untuk menggambarkan semangat yang akan terus kami bawa ke depannya.
Sayangnya, istilah amatir kerap disalahpahami. Banyak orang yang mengartikan amatiran sebagai orang yang kurang mumpuni atau tidak becus. Padahal, menjadi amatir justru diartikan sebagai kegiatan yang dikerjakan atas dasar kesenangan.
Dalam buku Menjadi Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya (1999), amatir justru menjadi sikap jalan hidup yang bisa ditekuni. “Menulis bagi saya adalah kebahagiaan seorang amatir,” tulis Romo Mangun di salah satu bab.
Kata amatir sendiri berasal dari bahasa latin amare yang berarti mencintai, dan amator yang berarti pecinta. Menjadi amatiran adalah mencintai apa yang dikerjakan untuk menjaga api kecil yang sudah tersulut setengah dekade berlalu sebagai cara untuk menjaga cinta itu sendiri.

Ramah tamah 5 tahun amatiran / Dok. SKP
Tentunya, dalam merawat asas kemandirian, kolektivisme, dan semangat bersenang-senang, termasuk dalam urusan pendanaan operasional website dan akomodasi peliputan, Kami terkadang mendanai diri secara mandiri dari orang-orang yang terlibat dengan sukarela. Setiap setahun sekali SKP meluncurkan merchandise (jika tidak ada uang kas yang tersisa), keuntungan dari penjualan inilah yang menjadi sumber utama untuk menunjang aktivitas selama setahun ke depan (itu pun jika ada sisa setelah membayar domain).
Selain itu, SKP juga membuka ruang donasi melalui platform Saweria bagi siapa pun yang ingin turut mendukung kerja-kerja kebudayaan kecil. Tak peduli besar atau kecil, setiap nominal yang masuk akan dicatat dengan transparansi dan bisa diakses oleh siapa pun.
Sebagai media yang lebih banyak bersenang-senang, SKP merilis zine arusbebas di Jogja Record Store Day 2025, setelah ‘ditodong’ oleh kolektif Kultura Space. Tentu ajakan tersebut kami sambut dengan antusias, karena kami menyadari pentingnya kolaborasi antar komunitas/kolektif merupakan bagian penting dari upaya untuk menjaga perputaran ekosistem musik agar tetap hidup dan berjalan dengan baik.
Sebenarnya, SKP bukanlah media yang secara khusus berfokus kepada musik saja. Kami juga tertarik pada hal-hal yang bersinggungan dengan budaya subkultur anak muda (apa pun bentuknya). Tak jarang tulisan-tulisan di web SKP pun sering kali lahir dari lingkungan sekitar. Misalnya, mengulas album baru dari band teman sendiri, menulis catatan dari pameran yang digagas oleh kawan lama, atau sekadar mengabadikan momen-momen kolektif yang kami alami bersama.Â
Mempromosikan karya atau inisiatif orang-orang di sekitar adalah jalan yang kami pilih. Sebab, kami percaya banyak musisi, seniman, atau pegiat budaya di sekitar kami yang memiliki potensi besar, tetapi tidak mendapatkan proporsi di media arus utama. Ketiadaan ruang itu berimbas pada eksistensi mereka. Walaupun bergerak di skala lokal, sekecil apa pun bentuk dan usahanya, setidaknya kami berupaya memberikan sorotan bagi mereka yang kerap terpinggirkan.
Pada tahun ini, SKP menjalankan sebuah program bernama Jalar Liar yang bertujuan untuk membangun jaringan media komunitas—seperti kami—di berbagai kota melalui praktik dokumentasi dan pertukaran pengetahuan.
Mengadopsi metafora rimpang, Jalar Liar menempatkan diri sebagai jaringan horizontal yang tumbuh menyamping (diam-diam namun menyebar). Melalui serangkaian kunjungan lapangan, penulisan feature, dan pendataan media komunitas, Jalar Liar bukan hanya menjadi wadah pengarsipan, tetapi juga sebagai ruang pertemuan bagi mereka yang bekerja dalam sunyi untuk mewartakan ekosistemnya sendiri.
Lebih dari sekedar kumpulan tulisan, Jalar Liar ingin menampilkan orang-orang yang bekerja dengan semangat kolektivisme dan siasat bertahan hidup dari orang-orang yang bekerja di balik ruang kerja media semacam ini. Di sini, setiap cerita mempunyai peluang yang sama untuk dikabarkan dengan sukacita. Soal penting atau tidak penting, biarlah itu menjadi rahasia kecil skala prioritas masing-masing orang.
Yang pasti, tugas media komunitas semacam ini adalah merawat nyala api kecil di tengah ekosistem yang terus bergerak. Dalam ruang kerja yang sering kali terhimpit dalam keterbatasan, kami mencoba meregangkan kesenangan menjadikannya benih perkawanan yang tumbuh dalam jaringan media komunitas.

Eksplor konten lain Pophariini
Kidunghara dan Gloria Jessica Hadirkan Rilis Single Kolaborasi Kanvas Abadi
Setelah merilis album Persembahan Vol. 1 bulan April 2024, proyek musik Fiko Nainggolan bernama Kidunghara kembali dengan karya terbaru “Kanvas Abadi” (13/06). Tak asyik sendirian, ia berkolaborasi dengan penyanyi Gloria Jessica dalam membawakan single …
5 Band Wonosobo Pilihan Budi TWL Youthfall
Dari sekian materi yang rilis setiap minggunya, masih banyak band-band dari berbagai kota di Indonesia yang belum masuk radar Pophariini. Melalui program Irama Kotak Suara, kami meminta vokalis band pop punk asal Wonosobo Youthfall, …