Surabaya, Kota Besar dengan Skena Musik Paling Underground
Saya masih ingat satu momen menarik ketika saya mendapatkan penugasan liputan luar kota tentang konser musik. Di saat para wartawan yang mayoritas anak Jakarta berkumpul dan berbagi cerita, saya mendengarkan banyak sisi lain dari dunia musik ibukota itu. Bagaimana ada beberapa musisi yang begitu susah ditemui dan diwawancara, bagaimana ada musisi yang ketika sudah berbicara tidak bisa berhenti, bagaimana ada musisi yang punya image berbeda ketika di luar dan di dalam panggung.
Menguping akan “gosip underground” itu, seorang wartawan mengalihkan fokus perbincangan tersebut kepada saya: “Eh, kalau skena musik Surabaya, ada gosip apa nih?” Secara cepat dan spontan saya menjawabnya: “Uuuum, memang kalau saya cerita, situ ngerti?”
Pada waktu itu saya tidak terlalu berpikir dalam mengenai jawaban tersebut karena saya rasa memang tidak ada hal penting yang perlu dipikirkan. Namun ketika saya pikirkan lagi saat ini, selain sebagai jawaban, pernyataan tersebut juga memberikan informasi penting: bahwa kehidupan skena musik kota kami masih cukup asing untuk orang luar.
Tidak percaya? Bagaimana kalau teman-teman menjawab pertanyaan saya ini: sebutkan 5 band / musisi Surabaya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Jika menginginkan tantangan, ada satu lagi pertanyaan yang lebih susah: sebutkan 3 venue musik, kecil maupun besar, sekarang ataupun di masa lalu, yang ada di kota Pahlawan ini?
Saya jamin 100 persen mereka yang bisa menjawab ini pastinya masih atau setidaknya pernah aktif berkegiatan di skena Surabaya. Kenapa bisa seperti itu? Itu karena info-info macam ini jarang tersiarkan ke media besar dan hanya berkutat di perputaran mulut beberapa lingkaran pertemanan.
Susah ya pertanyaannya? Santai saja karena bukan kamu tok yang tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Sebagian anak-anak Surabaya pun belum tentu juga bisa menjawab pertanyaan ini.
Heh, ini bukan becandaan. Serius ini! Saya berani mengatakan ini karena saya pernah mengadakan riset kecil-kecilan dengan bertanya kepada beberapa penonton yang hadir di konser besar.
Di sana saya meminta mereka untuk menyebutkan nama-nama band Surabaya yang pernah mereka dengar. Mayoritas hanya bisa menyebutkan 3 nama saja dan itupun tidak sepenuhnya mereka ingat. Sering kali mereka harus dibantu diingatkan dengan disebutkan terlebih dahulu nama band lokal yang pernah mereka dengar tersebut.
Beberapa nama tersebut seringnya adalah Silampukau, Humidumi, Roschell, Rasvan Aoki/Rasvan Kikoo, My Mother is Hero, Cotswolds, Wolffeet, sampai Fraud. Kalaupun ada nama dari generasi sebelumnya, maka yang bisa disebut adalah Heavy Monster, Hi Mom!, Mooikite.
Sisanya seperti Vox, Friday, Pathetic Experience, Robot, Others, Terbujurkaku, rasa-rasanya itu semua terlupakan oleh generasi sekarang. Sedangkan untuk generasi terbarunya, semacam Electric Bird, Melabuhkelabu, Enola, Alter, Fleuro, dan lainnya, nama mereka masih belum ramai dibicarakan.
Terkadang saya tersenyum geli melihat kondisi ini. Bukan karena menertawakan ketidaktahuan teman-teman, melainkan karena saya melihat betapa lucu sekaligus menarik akan kehidupan berskena musik yang saya alami di kota ini, bahwa sebenarnya ada banyak musik menarik datang dari kota ini tetapi tak pernah terendus aromanya.
Banyak isu yang membuat skena musik Surabaya sangat underground.
Sebelum berbicara lebih lanjut tentang skena musik Surabaya saat ini, saya ingin menyamakan pengertian akan istilah underground kepada teman-teman. Yang saya maksudkan dengan underground di sini bukan mengarah kepada komposisi musik yang umumnya dikenal orang punya sifat keras, cepat, atau cadas.
Yang saya maksudkan underground di sini lebih mengarah kepada pergerakan musisinya, bagaimana cara mereka menyebarkan karya-karya yang sudah tercipta namun seringnya tak banyak diketahui banyak orang. Itu berarti mereka yang memainkan musik pop pun bisa menjadi musisi underground bila karya mereka hanya diketahui segelintir orang saja.
Melalui pengamatan pribadi, saya melihat ada beragam isu yang mendasari terjadinya kondisi ini. Begitu banyak sampai saya sendiri pun tidak tahu harus memulai dari mana. Oleh karena itu, saya harus meringkasnya dalam bentuk poin agar saya ataupun kamu yang membacanya tidak jenuh:
1. Tren pergerakan musik yang bergeser akibat internet.
Jika diamati dari sejarahnya, pergerakan musik Surabaya dari 1960’an sampai 1990’an masih sangat bergantung kepada institusi besar macam label mayor dan siaran televisi. Dara Puspita melambungkan namanya ketika dilirik Koes Plus dan ikut dalam Mesra Record. Begitu pula dengan Dewa 19 yang debut albumnya dirilis di bawah naungan Team Records yang saat itu sudah bisa bersaing dengan Aquarius.
2. Perubahan terjadi saat masuk di akhir era 1990an hingga masuk 2000 yang mana internet sudah lebih mudah diakses.
Ketimbang menyebarkan musik melalui media-media besar atau mencoba peruntungan dengan label mayor, teman-teman musisi Surabaya mencoba berjejaring lewat jalur internet. My Space, ReverbNation, Friendster, menjadi pilihan utama menyebarkan musiknya.
3. Tidak ada sosok musisi yang menonjol.
Tidak bisa dipungkiri ada budaya kental yang melekat pada warga Surabaya. Budaya itu adalah budaya merakyat dan hal itu juga dialami para musisi di sini. Berkat budaya tersebut, musisi di Surabaya kebanyakan punya sifat low profile yang enggan menonjol.
Apakah low profile adalah hal yang buruk? Tergantung dari mana kamu melihatnya. Bila kamu melihat dari sisi betapa mudahnya berbincang dengan mereka di warung kopi tanpa adanya rasa minder, maka itu hal baik. Tetapi jika kamu melihatnya dari perspektif bahwa mereka sebenarnya punya kuasa untuk menginfokan musik-musik baru serta mempengaruhi selera pendengarnya, maka itu hal buruk.
4. Media musik yang masih belum representatif.
Keberadaan media musik di Surabaya silih berganti tiap tahun. Saat muncul di suatu tempat dan suatu waktu, tak lama kemudian (kurang lebih dalam kurun waktu 3 tahun) media tersebut menghilang dengan berbagai alasan. Ini menjadikan cerita-cerita akan gigs dan kehidupan skena musik di kota ini yang sempat diliput media tersebut tak terdokumentasi dengan baik dan tak mampu disebarkan ke generasi baru.
Belum lagi teman-teman penggerak media baru di sini masih belajar bagaimana cara memasarkan produk beritanya dan semua itu tertutup oleh berita-berita musik dari media besar. Sampai sejauh ini, media musik lokal yang terakhir bisa menjadi representasi Surabaya pada dekade 2010an adalah Ronascent. Setelah itu belum ada lagi.
5. Gaya hidup musik yang tidak menjadi kebutuhan hiburan utama.
Saya sempat mengobrol dengan seorang kawan di warung kopi dan obrolan itu terbawa arus hingga mempertanyakan apakah musik menjadi hiburan utama di kota ini. Jawaban pertanyaan itu adalah tidak. Hiburan utama di kota saya adalah cangkruk (hangout), bukan musik.
Entah tingkatan ke berapa musik sebagai sebuah kebutuhan di kota saya. Apakah ia di bawah fashion? Apakah ia di bawah film? Satu yang saya ketahui, tolak ukur penting atau tidaknya sesuatu di sini dinilai dari fungsi dan kepraktisannya.
Ambil contoh rilisan fisik musik. Mayoritas pendengar musik di Surabaya akan berpikir dua kali untuk membeli CD, kaset, atau malah vinyl record. Alasannya karena mendengarkan musik saat ini sudah bisa diakses melalui YouTube atau Spotify yang mana itu lebih mudah, lebih praktis, dan lebih murah. “Kan sama-sama dengerin musik. Kenapa harus pilih yang mahal kalau bisa dapat yang murah?” Kurang lebih seperti ini cara berpikirnya.
Inilah kenapa banyak penjaja musik di Surabaya sering mengeluh betapa sepinya pembeli rilisan fisik dari kota ini sampai di titik para penjual sendiri pun capek mengeluh. Ini juga bisa didukung dengan murahnya tiket gigs di sini yang rata-rata masih di bawah Rp50 ribu. Jika musik memang menjadi kebutuhan hiburan utama, maka semahal apa pun tiket konser, baik besar maupun kecil, seharusnya pasti akan banyak dibeli.
6. Minimnya dokumen musik masa lalu.
Ini sebenarnya sudah disampaikan pada poin media musik. Namun lebih dari itu, minimnya dokumen musik ini juga berhubungan dengan poin pertama, yaitu pergeseran tren musik akibat internet.
Kemudahan menyimpan karya di internet dan komputer menjadikan banyak musisi kala itu menyepelekan pentingnya mendokumentasikan karya mereka dalam bentuk fisik. Akibatnya, saat komputer mereka rusak dan situs-situs penyimpanan musik itu tak lagi aktif, karya-karya musik itu pun hilang.
Sejauh ini ada beberapa situs atau kanal yang masih bisa menyimpan lagu-lagu band lama. Yang pertama adalah YouTube, tetapi untuk bisa mencarinya, kamu perlu kata kunci yang tepat serta khas, dan itu sangat susah. Sebagai contoh Lovely Tea atau Deskripsi Sebuah Mahasiswa.
Kanal internet kedua yang banyak menyimpan peninggalan lagu-lagu Surabaya adalah ReverbNation, dan yang terakhir yaitu Soundcloud. Di kedua situs tersebut, selama kamu bisa mengetahui nama kelompok atau musisinya, kamu pasti akan menemukan lagunya. Contoh ketika memasukkan kata kuncinya di Google: soundcloud bvas, soundcloud hawkstoner, reverbnation greats, dan lainnya. Tentu saja ini ketambahan masalah lain: kamu tahu nggak nama bandnya?
Pada dasarnya, tidak bisa dipungkiri internetlah yang mengubah pergerakan musik Surabaya menjadi sangat underground. Opsi musik yang sangat beragam tidak bisa lagi mengarahkan seorang pendengar musik kepada satu musisi mengingat mereka sudah begitu bebas memilih mau mendengarkannya atau mencari yang lain, terjebak dalam pusaran musik favorit.
Pada akhirnya saya jadi teringat ucapan Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca pada 2015 saat melakukan wawancara: “Internet tak hanya membuat kita semakin terbuka, tetapi juga membuat kita semakin tertutup.”
7. Hidden gem yang tak karuan banyaknya di Surabaya.
Melihat dari berbagai permasalahan yang mendasari pernyataan saya dalam melabeli skena musik Surabaya sebagai skena underground, kesannya saya tak membanggakan skena kota ini. Kenyataannya malah sebaliknya, saya sungguh bersyukur skena Surabaya adalah skena yang sangat tak tampak.
Alasan pertama: setidaknya dengan ke-underground-an ini, skena Surabaya terhindar dari gosip-gosip underground tak penting dan personal yang sebenarnya dapat keluar hingga ke telinga teman-teman di kota lain dan berakhir meresahkan sekitar.
Alasan kedua: saya menikmati setiap detik berburu band dan musik baru di sini. Bagi saya pribadi, bertaruh memperkenalkan pendatang baru yang potensial itu sangat menyenangkan, seperti mencari piringan hitam yang tertumpuk di gudang. Anggaplah pendatang baru itu bisa menjadi populer, setidaknya saya bisa membanggakan diri: “Hei, aku lho sudah tahu sebelum mereka terkenal :p”
Alasan ketiga: lewat sisi misterius skena Surabaya, setidaknya musik di sini masih bisa mempertahankan bentuk murninya, yaitu musik sebagai musik dan hiburan, bukan sebagai suatu produk. Seperti ujaran Edy Khemod saat diskusi Apa Kabar Bandung?: “Ketika suatu musik sudah diperjualbelikan, maka musik itu sudah menjadi sebuah komoditas.”
Hmmm saya jadi berpikir lagi. Sepertinya skena musik Surabaya sudah tak terlalu underground lagi semenjak tulisan ini bisa kamu baca…
Penulis: Abraham.
Menghabiskan 30 tahun hidupnya untuk tinggal di Surabaya dan masih ingin tahu skena kota lain. Selera musik yang aneh dan pemikiran yang tidak populer menjebaknya untuk sering overthinking. IG: @bapaabraham
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Lirik Lagu Empati Tamako TTATW tentang Mencari Ketenangan dan Kedamaian
Penggemar The Trees and The Wild sempat dibuat deg-degan sama unggahan Remedy Waloni di Instagram Story awal November lalu. Unggahan tersebut berisi tanggapan Remedy untuk pengikut yang menanyakan tentang kemungkinan kembalinya TTATW. …
Di Balik Panggung Jazz Goes To Campus 2024
Hujan deras di Minggu siang tak menghalangi saya menuju gelaran Jazz Goes To Campus (JGTC) edisi ke-47 yang digelar di FEB UI Campus Ground, Depok pada Minggu (17/11). Bermodalkan mengendarai motor serta jas hujan …
pas ditanya band, jd kangen LGCB; pas ditanya venue, keingetnya go skate 🤣
Semangat fren, Paling habis gini juga gak penting lagi beritamu