Swellow – Katus

Jul 7, 2023

Izinkan saya membuka ulasan album Swellow – Katus ini dengan mengutip paragraf kedua dari akhir ulasan saya akan mini album Karet yang dirilis 2021 lalu.

“Satu-satunya kelemahan dari EP (Karet) ini adalah kenyataan bahwa saya dan mungkin satu dua pendengar hanya meminta lebih dari sekadar lima lagu. Nyaris tidak ada filler di sini dan itu antara membuat saya kesal atau memang semua lagu punya kekuatannya masing-masing.”

Mari saya perjelas sedikit bahwa di baik bagusnya sebuah mini album, kelemahan dari format rekaman yang hanya berisi 4-6 lagu ini adalah ketidakmaksimalan dalam memuaskan pendengar yang ingin sesuatu yang lebih. Masalah klasik, karena kita tidak bisa mendapat gambaran menyeluruh tentang gagasan apa yang hendak disampaikan. Ketika sebuah EP mampu melampaui ekspetasi dengan taburan lagu-lagu bagus di sana, maka harapan penuh akan karya-karya bagus di album penuh tak terbendung.

Debut album Katus adalah buah pencapaian sempurna dari harapan penuh yang saya dapat di mini album Karet. Sejak selesai mendengar dan mengulas Karet, saya bisa pastikan mereka akan membuat adonan-adonan baru nan legit di album penuhnya, dan itu terbukti nyata, saya pun terpuaskan.

Katus mewujudkan semua ekspetasi saya akan sebuah album indie rock yang proper. Riff-riff khas, notasi melodi yang memorable, lengkingan feedback serta vokal yang forceless, tidak berapi-api dan beat drum yang BPM-nya senada dengan jantung saya dalam kondisi normal, semua sesuai dengan khayalan.

Bicara soal album indierock, salah satu jejak yang membekas di saya adalah Utopia dari Pure Saturday yang dirilis 1999. Bagaimana sound kasar berpadu dengan indahnya keharmonisan notasi dan songwriting yang baik, membuat Utopia sangat berkesan.

Katus adalah cara Swellow meneruskan tradisi indierock yang mengakar dari era 90-an. Sama halnya seperti Utopia, saya curiga Katus juga punya harapan untuk menjadi salah satu album yang bisa membekas di generasi ini dan selanjutnya.

Buktinya bisa kita dengarkan, dari sejak “Penjelajah Waktu” didengarkan, keduabelas lagu di Katus sudah secara akut menggedor indera pendengar. Bagaimana riff-riff harmonis gitar dikocok, tabuhan-tabuhan drum yang seketika dalam membuat impuls syaraf yang celakanya, berakibat fatal bagi kepala untuk membuat anggukan dengan intensitas tinggi atau yang paling celaka, bernyanyi lantang.

Dari duabelas track di Katus, saya menemukan benang merah bagaimana Swellow mengekspresikan musiknya dengan gaya yang khas. Meskipun berbekal kord-kord indie rock standard, namun Idam selalu penulis musik selalu haus akan opsi-opsi lain di luar itu, seperti penggunaan kunci-kunci augmented, diminished adalah elemen indah yang menghiasi hampir setiap track album ini. Gocekan lick-lick-nya hampir tak tertebak.

Di bagian songwriting tak kalah gilanya. Cara Bayu bertutur sangat impresif, di satu sisi ia menulis dengan bahasa yang sederhana, saya tak perlu menghabiskan energi untuk menebak-nebak keresahan apa yang ia alami di tiap lagunya karena Katus ini sepertinya hanyalah pengalaman kekesalan keseharian sang penulis lirik.

Seperti lagu “Serangga”, bagaimana secara gamblang Bayu menulis tentang kejadian digigit serangga sewaktu tidur yang membuat hari-hari tak bersemangat, pengalaman tentang sakit dan dirawat dalam “Pasien” atau bagaimana khalayan-khalayan kandas terlukis di “Simpul” dan  “Kita Semua Kalah”.

Meski demikian, ada juga tema metafora seperti mengisi Teka Teki Silang, seperti apa jeruk membawa malapetaka yang dimaksud di lagu “Jeruk”, apakah ini metafora dari berita-berita menyesatkan yang kerap berulang atau sesederhana revisi pekerjaan yang tak henti-hentinya? Ah, entahlah.

Aransemen menjadi bagian menarik lainnya yang justru menjadi elemen bagaimana Katus bisa disimak utuh tanpa ada upaya untuk men-skip. Beberapa track dengan aransemen apik justru datang dari hal-hal yang terduga, seperti bagaimana sapuan-sapuan feedback di keseluruhan lagu “Antrian” yang menambah gagahnya lagu ini.

Sementara itu, “Pasien” (durasi hampir 5 menit, satu-satunya lagu terpanjang Swellow di album ini) memuat dua aransemen berbeda, dua menit pertama kita disuguhkan dengan format clean yang nyaman, di 3 menit selanjutnya kita dikejutkan dengan aransemen shoegaze/noiserock yang mengawang.

Pada akhirnya, dengan prematur, saya harus menyerah bahwa Katus dari Swellow bisa menjadi calon album terbaik di 2023. Jika ada yang tak setuju dan ingin mengajak berdebat tentang album ini, dengan senang hati saya layani.


 

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

Di Balik Panggung Serigala Militia Selamanya

Seringai sukses menggelar konser Serigala Militia Selamanya di Lapangan Hockey Plaza Festival hari Sabtu (30/11). Bekerja sama dengan Antara Suara, acara hari itu berhasil membuat program pesta yang menyenangkan untuk para Serigala Militia tidak …

Wawancara Eksklusif Adikara: Bermusik di Era Digital Lewat Tembang-Tembang Cinta

Jika membahas lagu yang viral di media sosial tahun ini, rasanya tidak mungkin jika tidak menyebutkan “Primadona” dan “Katakan Saja” untuk kategori tersebut. Kedua lagu itu dinyanyikan oleh solois berusia 24 tahun bernama Adikara …