Tak Melulu Pariwisata, Ini Ekosistem Musik Bawah Tanah Bali
Bali, adalah sebuah pulau sekaligus provinsi yang kita kenal sebagai sebuah destinasi pariwisata yang cukup adiluhung. Memiliki kebudayaan dan tradisinya yang begitu kental, alam yang indah serta dikenal dengan pulau seribu pura. Membicarakan Bali tidak akan pernah lepas dari bagaimana orang-orang Bali sendiri yang hidup sangat patuh dengan nilai-nilai adat yang ada. Pun akhirnya menjadikan pola hidup orang Bali yang dekat dengan “menyama braya” atau gotong-royong.
Jika ingin membaca Bali lebih dalam kita tidak bisa melihat Bali sebagai pulau yang digaungkan oleh iklan-iklan pariwisata ataupun berita pariwara TV nasional. Tapi sejatinya Bali tidak melulu soal pariwisata adiluhung, beach club di mana-mana dan Canggu yang belakangan ini sedang meroket. Bali memiliki lapisan yang bisa kita lihat pada ruang berbeda, semisal pada ekosistem musik di luar tradisi. Tak luput juga bahwa Bali menjadi sasaran promotor festival-festival besar nasional untuk diadakan di pulau seribu pura ini.
Tapi bagaimana kabar pergerakan bawah tanah pada ekosistem musik di Bali itu sendiri? Adakah cerita-cerita menarik atau bahkan isu yang masih kerap kali menjadi permasalahan di Bali sendiri?
Agak sulit untuk membicarakan ekosistem musik di Bali seutuhnya, tapi lebih menarik jika kita memakai Kota Denpasar sebagai sebuah objek untuk membuka lapisan demi lapisan tersebut. Selain menjadi ibu kota Provinsi Bali, Denpasar juga bisa dikatakan sebagai pusat segala aspek dalam berkebutuhan di Bali. Tanpa disadari, Bali memiliki ritme sendiri untuk tidak tersentuh oleh kota-kota besar di Pulau Jawa, sehingga
kabupaten atau kota-kota kecil di Bali cukup menjadikan Kota Denpasar sebagai cermin dalam membaca kabar baru di luar sana.
Agak sulit untuk membicarakan ekosistem musik di Bali seutuhnya, tapi lebih menarik jika kita memakai Kota Denpasar sebagai sebuah objek untuk membuka lapisan demi lapisan tersebut.
Termasuk dalam ekosistem musiknya, saya rasa ada beberapa point untuk mengantarkan kabar soal Bali hari ini, seperti; keberagaman kolektif/komunitas, kolaborasi lintas disiplin, peranan musisi luar Bali yang singgah ke Bali, hingga munculnya venue-venue alternatif.
Keberagaman Kolektif/Komunitas
Di Denpasar sendiri kini banyak ragam kolektif/komunitas yang bergerak pada kelindan musik ataupun kegiatan seni lainnya yang memberikan warna baru pada ruang tumbuhnya kretifitas. Misal seperti Denpasar Kolektif yang sering mengadakan gigs musik, pemeran karya hingga kegiatan literasi yang masih bersentuhan dengan kretifitas anak muda. Denpasar Kolektif sendiri tidak memiliki batasan dalam memberikan panggungnya untuk musisi lokal yang ingin tampil pada acaranya, sehingga Denpasar Kolektif memiliki keberagaman genre dan selalu menjadi kabar baru untuk melihat musisi lokal yang fresh untuk Denpasar bahkan Bali, tak jarang juga kolektif ini menjadi ruang untuk teman-teman luar Bali yang sedang mengadakan tour.
Ada juga pada bagian lain seperti 0361 Crew yang diinisiasi oleh beberapa teman-teman yang berkelindan pada genre hardcore punk. Kolektif ini sering membuka ruang untuk band-band hardcore punk untuk tampil pada acara mereka, terkhusus menjadi ajang silaturahmi para pegiat musik hardcore di daerah-daerah kecil luar kota Denpasar untuk membangun jejaring.
Tanpa disadari, Bali memiliki ritme sendiri untuk tidak tersentuh oleh kota-kota besar di Pulau Jawa, sehingga kabupaten atau kota-kota kecil di Bali cukup menjadikan Kota Denpasar sebagai cermin dalam membaca kabar baru di luar sana.
Skullism Records meski terbentuk dengan format record label, teman-teman yang tergabung dalam badan Skullism Records juga memiliki gerakan yang cukup massif dalam peta perkembangan ekosistem musik di kota Denpasar bahkan Bali. Tak sedikit rilisan dari record label ini yang karyanya kemudian dapat pengaruh baik dari jejaring yang dimiliki oleh teman-teman dari Skullism Records. Selain menerbitkan rilisan lagu untuk teman-teman musisi lokal, Skullism juga sering mengadakan gigs kecil bersama talent mereka. Tak jarang juga menjadi kolektif pilihan untuk dipercayai membantu teman-teman luar bali pada agenda tour, misal pada perhelatan terakhir showcase Kelalawar Malam yang bertajuk “SHOW(case) NO MERCY”.
Ravepasar, adalah ruang scene untuk teman-teman yang berkutat pada ranah eksperimental dan noise. Ravepasar hadir sebagai ruang baru bawah tanah yang diinisiasi oleh banyak lintas disiplin. Sekaligus menjadi ruang untuk musisi yang bergerak pada eksplorasi musik tradisi dan modern. Ravepasar sudah menyelenggarakan dua event yang sangat fresh pada perkembangan ekosistem musik eksperimental dan noise di Bali pada tahun 2019 dan 2021 lalu. Beberapa musisi yang pernah tampil di Ravepasar antara lain; Gabber Modus Operandi, Rollfast, Kadapat, Raja Kirik, Senyawa, hingga Krowbar.
Denpasar sendiri kini banyak ragam kolektif/komunitas yang bergerak pada kelindan musik ataupun kegiatan seni lainnya yang memberikan warna baru pada ruang tumbuhnya kretifitas. Seperti Denpasar Kolektif, 0361 Crew, Ravepasar dan Kismin Boys.
Kismin Boys meski format mereka adalah media alternatif shitposting, selain memiliki daya kritis untuk membicarakan Bali dengan receh mereka juga kerap kali menggelar pertunjukan musik yang fresh. Dengan tajuk mereka “UPAXARA” yang kini sudah memasuki volume ke-III, sukses selalu menghadirkan angin segar untuk penikmat musik di Kota Denpasar. Pada Upaxara Vol. III lalu berkolaborasi dengan False Surprise dan Teteruga misalnya, mereka menghadirkan Mairakilla, Rollfast, Oz the Oddz, Skvllragg, Madness on tha Block, Milledenials, White Chorus dan Enola dalam barisan lineupnya.
Kolaborasi Lintas Disiplin
Kolaborasi pada umumnya dilakukan oleh teman-teman yang bergerak pada bidang yang sama, semisal musisi bersama musisi. Tapi belakangan kini mulai hadir kolaborasi lintas disiplin pada ekosistem musik di Denpasar yang membuka ruang kritis baru dalam menumbuhkan kreatifitas, musik tidak dibaca sebagai sebuah bentuk yang kaku. Justru musik dapat dijadikan media pembacaan lain dalam menangani sebuah isu. Semisal pada beberapa kerja-kerja musisi lokal di Denpasar yang sempat saya saksikan; musisi berkolaborasi dengan teater, musisi berkolaborasi dengen seniman visual bahkan musisi yang berkolaborasi dengan sastrawan.
Mungkin hal itu sudah biasa terjadi pada ranah kesenian tradisi di Bali yang kemudian formula tersebut dipakai pada eksplorasi musik yang sedang pop atau dianggap modern hari ini. Hal ini pula yang membuka jejaring lebih luas sesama pelaku kreatif untuk saling berbagi hal-hal baru di dalam ataupun di luar kekaryaan.
Belakangan kini mulai hadir kolaborasi lintas disiplin pada ekosistem musik di Denpasar yang membuka ruang kritis baru dalam menumbuhkan kreatifitas dan musik tidak dibaca sebagai sebuah bentuk yang kaku.
Peranan Musisi Luar Bali yang Singgah ke Bali
Salah satu mediasi yang sangat berpengaruh besar dalam perkembangan jejaring sekaligus intelektual musisi pada ranah perluasan jejaring dan pengetahuan informasi. Cukup banyak musisi di luar Bali yang hadir kemudian memberi dampak yang cukup baik kepada kolektif yang disinggahinya, atau memberikan jejaringnya kepada band-band lokal di Bali.
Di antaranya yang sempat saya saksikan seperti; Raja Kirik, Senyawa, Dongker, The Panturas, Sunlotus, Kinder Bloomen, Dazzle hingga The Jansen. Kehadiran mereka sekaligus membuka ruang diskusi-diskusi kecil dalam proses kreatif berkarya untuk melihat gejala bagaimana ekosistem musik hari ini atau di masa yang akan datang.
Salah satu musisi yang sukses memanfaatkan mediasi tersebut mungkin adalah Milledenials, salah satu unit emogaze asal Denpasar ini sedang meroket begitu pesat. Karena keterbukaannya dalam berjejaring dengan kolektif lokal dan keluasannya menerima teman-teman musisi luar Bali ketika tour ke Bali menjadi buah yang sedang dipetik oleh Milledenials sendiri.
Cukup banyak musisi di luar Bali yang hadir kemudian memberi dampak yang cukup baik kepada kolektif yang disinggahinya, atau memberikan jejaringnya kepada band-band lokal di Bali.
Dalam dua tour mereka terakhir di berbagai kota besar di Pulau Jawa sukses membuat panggung-panggung mereka ramai oleh penonton. Saya rasa itu juga dampak bagaimana Milledenials memanfaatkan jejaring mereka dengan baik, yang akhirnya cukup sangat membantu untuk menyebarkan karya-karya mereka dari mulut ke mulut dan tangan ke tangan.
Venue-Venue Alternatif
Paska pandemi yang begitu membuat segala aspek seolah kehausan untuk bertemu khalayak luas memberikan dampak pada acara-acara kecil yang digelar di tiap sudut kota Denpasar. Meski sebelum pandemi memang sudah ada acara-acara kecil di tiap sudut kota tapi paska pandemi seperti sebuah jamur yang tumbuh di mana-mana. Banyak venue-venue alternatif yang bermunculan dengan kapasitas beragam, pengalihan ruang coffe shop dan Bar menjadi panggung alternatif seperti; Berbagi Kopi, Haluan Coffe dan Kismin Cartel, hingga gallery atau bahkan ruang public di Kota Denpasar.
Meski ada beberapa venue propert yang memang menyediakan panggung untuk band lokal seperti Twice Bar, Gimme Shelter dan Pretty Poison. Saya rasa venue propert yang saya sebutkan barusan sudah tidak asing di telinga teman-teman di luar Bali, karena katanya ada istilah jika ke Bali harus menyempatkan dan wajib mengunjungi di antara ketiga venue tersebut, sebagai sebuah keafdolan dalam ibadah bermusik.
Hari ini venue di Denpasar sudah cukup banyak, di manapun teman-teman musisi lokal kini bisa menggelar pertunjukannya tidak perlu menunggu acara-acara reguleran. Ini menjadikan warna ekosistem musik di Denpasar semakin beragam warna, ramai dan tak kalah seru.
Tapi hari ini venue di Denpasar sudah cukup banyak, di manapun teman-teman musisi lokal kini bisa menggelar pertunjukannya tidak perlu menunggu acara-acara reguleran. Yang akhirnya juga menjadikan warna ekosistem musik di Denpasar semakin beragam warna, ramai dan tak kalah seru.
Meski ada juga beberapa kendala dan keresahan lain dalam perkembangan ekosistem musik di kota Denpasar. Beberapa waktu lalu saat saya menemui beberapa teman-teman untuk hanya sekedar mengobrol ngarul ngidul, masih ada beberapa keresahan yang menjadi sorotan utama dalam upaya menjadikan Denpasar sebagai kota yang ramai, salah satunya adalah; kurangnya orang di balik panggung. Pada situasi hari ini, Denpasar sudah sangat banyak bermunculan band-band baru yang sangat fresh tapi tidak diimbangi dengan tumbuhnya orang-orang belakang panggung seperti soundman, lighting, visual mapping bahkan jurnalistik.
Keadaan ini mungkin bisa menjadi sebuah dua bilah mata pedang ketika pada regenerasi selanjutnya, ketika musisi-musisi muda hari ini menuju ke tingkatan yang lebih serius tetapi tidak memiliki orang-orang belakang panggung yang tumbuh di era yang sama. Yang akhirnya menjadi rambu-rambu bahaya bahwa ekosistem itu harus segera terbentuk di Kota Denpasar dengan kesadaran bersama dan butuhnya peranan luar di luar musisinya itu sendiri.
Pada situasi hari ini, Denpasar sudah sangat banyak bermunculan band-band baru yang sangat fresh tapi tidak diimbangi dengan tumbuhnya orang-orang belakang panggung seperti soundman, lighting, visual mapping bahkan jurnalistik.
Salah satu pentolan dari Skullism Records, Gung Yoga sempat mengatakan, “Kekurangan di Bali ini adalah orang-orang di belakang panggung. Kita harus segera sadar dan melek akan hal ini”.
Meski kemudian pada perjalanan membangun ekosistem yang baik ada timbul masalah baru yaitu dibaca sebagai sebuah anggapan menjadikan “gatekeeper” dan orang yang keluar dari batasan. Saya rasa itu juga hal yang lumrah dalam tumbuh kembangnya sebuah daerah, sebagai sebuah bumbu Gogon (Gosip-gosip underground) yang jadi pembicaraan tiap kolektif-kolektif kecil bawah tanah.
Hanya saja itu menjadi catatan yang mesti digaris bawahi ketika pembicaraan itu tidak memberikan dorongan pada suatu kolektif untuk berbuat sesuatu lebih baik lagi. Karena pada dasarnya orang Bali sendiri juga memiliki rasa memiliki asas tradisi yang begitu kuat, jadi tak salah jika hal-hal itu terjadi sebagai sebuah proses pembentukan ekosistem.
Yang hari ini mesti disadari adalah bagaimana kemudian tiap orang yang berada dalam putaran ekosistem ini sadar akan apa yang sedang terjadi di luar sana, dan sama-sama membacanya sebagai sebuah hal yang mesti diperbaiki dan dikembangkan terus menerus.
Saya rasa masih banyak sekali isu-isu kecil dalam perkembangan ekosistem musik di Bali khususnya Denpasar, belum lagi pada daerah kecil lainnya di Bali. Tapi saya harap catatan ini bisa menjadi pemantik ke depannya atau bahkan memupuk kesadaran bersama untuk sadar betapa pentingnya berjejaring dengan segala lintas disiplin di luar musik dan menyampingkan soal ego untuk kepentingan eksistensi sendiri. Saya harap juga semoga ke depannya saya banyak mendapat masukan kritis untuk mengupas dan menceritakan lapisan lain dalam tumbuh kembang ekosistem musik di Bali, hari ini! Salam.
Biografi Penulis
Agus Noval Rivaldi (Aguk), adalah penulis/pengangguran yang suka menulis musik, teater dan budaya dari tahun 2018. Tulisannya bisa dibaca di Tatkala.co, Sudutkantin.com, Jurnalmusikmagz.medium.com dan beberapa zine yang diterbitkan oleh kolektif lokal Bali. IG: @agusnovalrivaldi
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Di Balik Panggung Serigala Militia Selamanya
Seringai sukses menggelar konser Serigala Militia Selamanya di Lapangan Hockey Plaza Festival hari Sabtu (30/11). Bekerja sama dengan Antara Suara, acara hari itu berhasil membuat program pesta yang menyenangkan untuk para Serigala Militia tidak …
Wawancara Eksklusif Adikara: Bermusik di Era Digital Lewat Tembang-Tembang Cinta
Jika membahas lagu yang viral di media sosial tahun ini, rasanya tidak mungkin jika tidak menyebutkan “Primadona” dan “Katakan Saja” untuk kategori tersebut. Kedua lagu itu dinyanyikan oleh solois berusia 24 tahun bernama Adikara …