Tak Suka The Beatles, Dewa dan Hindia itu Tidak Mengapa
Musik merupakan hal yang sangat berpengaruh bagi saya. Sulit rasanya lepas dari musik karena selalu ada menemani saat senang maupun sedih. Namun bicara soal musik sepertinya sulit lepas dari musisi-musisi berpengaruh baik musisi luar maupun dalam negeri seperti The Beatles, Queen, Oasis, Dewa 19, Slank, Iwan Fals dan lain sebagainya. Mereka adalah musisi yang menurut saya everlasting dan tidak akan hilang dimakan waktu. Tapi apakah tidak masalah jika tidak mendengarkan, bahkan tidak menyukai musisi-musisi berpengaruh tersebut?
Di saat kecil, saya tumbuh besar dengan referensi musik yang cukup beragam mulai dari Stevie Wonder, Coldplay, The Changcuters, Chrisye, Mocca, Peterpan dan lain-lain. Dengan begitu, saya pun akhirnya menemukan musik-musik yang menjadi preferensi saya sendiri dan terus berkembang hingga sekarang. Namun, karena orang tua saya pun tidak begitu mendengarkan musisi-musisi seperti The Beatles, Queen dkk tersebut, saya menjadi tidak begitu mengulik musisi-musisi tersebut. Paling hanya mendengarkan “The Best Of…” nya saja yang biasa muncul di radio, televisi, dan internet.
Namun, di saat masa SMA hingga kuliah saya merasakan adanya istilah snob dan poser ketika seseorang menggunakan kaos band tanpa mendengarkan band tersebut, seseorang tidak dianggap “oke” oleh orang atau kelompok tersebut. Definisi snob itu sendiri menurut saya adalah seseorang yang merasa selera musiknya lebih baik dibandingkan orang pada umumnya dan menganggap orang lain memiliki selera yang basic. Sedangkan poser adalah orang yang bersikap dan berpenampilan seperti orang lain demi membuat orang lain terkesan.
Seperti contoh ketika seseorang tidak begitu mendengarkan The Beatles, dia dianggap nggak nyampe soal musik. Sebenarnya, saya bisa sedikit mengerti mengapa ada beberapa fans The Beatles yang menjadi “brengsek” karena saya pun mengakui bahwa The Beatles merupakan band paling populer dan menjadi bagian dari pop culture. Serta musiknya pun didengar hingga sekarang mungkin hingga saya memiliki anak cucu pun The Beatles akan tetap didengarkan. Tapi bukan berarti kita bisa seenaknya menghakimi selera orang yang tidak mendengarkan The Beatles.
Contoh lain di Twitter ketika saya sempat melihat tweet “Ko ada orang bisa ga suka Pamungkas sama Hindia sih”. Ya bisa aja dong, toh preferensi musik seseorang berbeda-beda. Banyak yang mempengaruhinya seperti musik yang diperdengarkan orang tua saat kecil, tumbuh di lingkungan orang yang rata-rata mendengarkan suatu genre, dan banyak hal lain yang mempengaruhi. Memang Hindia sangat hebat dalam segi musik dan marketing. Ia sangat mengerti yang pasar butuhkan dengan membawa tema kesehatan mental yang sudah ramai sejak diusung Kunto Aji dalam album Mantra Mantra. Dampaknya pun sangat besar sampai siapa kini yang tidak kenal Hindia? Seawamnya kalian dengan Hindia mungkin pernah mendengarkan “Evaluasi” atau “Secukupnya” ha ha. Kembali ke contoh di atas, poin soal mempertanyakan seseorang yang tidak mendengarkan Hindia dan Pamungkas nggak bikin kalian lebih baik dibandingkan orang lain.
Dan karena fenomena snob dan poser tersebut, banyak juga orang-orang yang memaksakan mendengarkan suatu musik hanya agar bisa “fit in” di suatu kelompok. Seperti pada era hip-hop R&B tahun 2016-2018-an ketika Hypebeast sedang menjadi tren dan orang-orang mendengarkan Drake, Kendrick Lamar, Post Malone. Saat itu nggak dengerin itu? Nggak keren. Dan ketika era indie tahun 2018-2019 nggak dengerin .Feast, Fourtwnty, Kunto Aji, Ardhito Pramono, Pamungkas dan Hindia lo akan dipertanyakan “kok lo bisa gak suka mereka sih?”.
Karena itu, beberapa waktu yang lalu saya sempat melihat sebuah tren di Tiktok dengan konten “Jangan temenin gue, selera musik gue aneh”. Sebenarnya konten tersebut menurut saya hanya ingin menunjukan bahwa selera mereka superior namun dibungkus dengan “selera musik aneh”. Selanjutnya adalah tren di Twitter yaitu munculnya sebuah akun Twitter dengan username txtbocahindie. Akun tersebut merupakan submit orang-orang melalui capture-an yang berisi opini snob dan poser seputar musisi-musisi indie.
Awalnya akun ini lumayan menghibur karena berisi opini-opini yang cukup menggelitik. Namun semakin ke sini, menurut saya semakin menyebalkan karena yang menjadi snob justru orang yang comment di akun tersebut. Karena itu pun mungkin orang-orang semakin takut beropini di internet bahkan untuk opini yang tidak menyerang siapapun. Akun yang menurut saya seharusnya fun menjadi tidak fun lagi.
Jujur karena fenomena tersebut, saya cukup diam-diam dalam mendengarkan musisi-musisi lokal karena malas dengan label “anak senja dan kopi” dan lain sebagainya. Serta saya pun sempat ikut mendengarkan hip-hop R&B karena merasa FOMO (fear of missing out). Saya merasa takut tertinggal dengan teman-teman yang lain. Namun, pada akhirnya saya kembali mendengarkan musik yang disukai karena apa gunanya mendengarkan musik yang kurang digemari hanya demi “fit in” dengan sebuah kelompok. Toh kita masih bisa berteman walaupun berbeda preferensi musik. Namun tetap saja ada beberapa orang ataupun kelompok yang melihat seseorang dari preferensi musiknya.
Melihat fenomena tersebut, saya berusaha memahami dari perspektif mereka. Yang pertama mungkin mereka ingin kalian sefrekuensi dengan mereka namun ingin sekaligus terlihat keren, kedua mungkin mereka ingin menginfluence kalian dengan musik mereka namun dengan cara yang salah, yang ketiga mungkin ingin terlihat keren dan gagah di depan tongkrongan atau gebetan lalu yang terakhir karena memang mereka jerk aja. Memang itu merupakan sebuah fase dalam pencarian jati diri dan validasi. Memang sepertinya persoalan snob dan poser tidak akan ada habisnya. Saya atau bahkan kalian pun mungkin pernah mengalami fase tersebut.
Bukan karena musisi tersebut keren kalian bisa seenak jidat bilang orang yang nggak dengerin itu ga nyampe. Bukan berarti mendengarkan suatu band atau musisi spesifik kalian jadi terlihat keren. Hal-hal tersebut nggak bikin kita lebih oke di tongkrongan kok. Kita cuma mendengarkan sedikit lebih banyak musik dibandingkan orang lain.
Akhir kata, musik menurut saya adalah preferensi dan kalian bebas memilih dan mendengarkan musik yang kalian suka. Nggak usah meribetkan omongan orang soal “gak nyampe”, “telinga lo jelek”, dan omongan-omongan snob-poser lainnya. Dengan nggak dengerin mereka mungkin kalian bisa lebih mendalami musik yang kalian suka dan menemukan musik genre lain yang sesuai selera kalian.
Penulis: Naufal Ariq Angrianto
Mahasiswa Universitas Padjajaran, Akuntansi Perpajaka biasa aja yang salah jurusan dan suka bermain game RPG | Instagram: @naufalariqq
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
5 Band Punk Indonesia Favorit MCPR
Dalam perhelatan Festival 76 Indonesia Adalah Kita di Solo, kami menemui band punk-rock asal tuan rumah, MCPR sebagai salah satu penampil untuk mengajukan pertanyaan soal pilihan 5 band punk Indonesia favorit mereka. Sebelum membahas …
Fraksi Penemu Sepeda Bercerita tentang Hobi di Single Gocapan
Setelah merilis single “Olahgaya” 2023 lalu, Fraksi Penemu Sepeda asal Bogor resmi meluncurkan karya terbaru berupa single dalam tajuk “Gocapan” hari Rabu (23/10). Lagu ini menceritakan serunya pengalaman bersepeda sambil mencari sarapan pagi. …