Tentang Hutang yang Belum Terbayar: Wawancara Eksklusif Gusti Arirang, Putri Djaduk Ferianto

Nov 15, 2019

Gusti Arirang tak mengira bahwa ucapan selamat Hari Ayah yang dikirimkannya kepada sang ayah pada Selasa (12/11) lalu menjadi pembicaraan terakhirnya. Sang ayah, Djaduk Ferianto, musisi dan seniman besar asal Yogyakarta itu menghembuskan nafas terakhirnya akibat serangan jantung pada Rabu (13/11) esoknya.

Pada hari berkabung itu, banyak musisi yang mengucapkan bela sungkawanya atas kepergian sang maestro, sebagian besar di antara mereka adalah musisi-musisi asal Jogja, tempat dimana sang maestro berkarya.

Gusti Arirang nampak diam menatap pusara sang ayah yang sudah rapih tertutup oleh bunga. Ia menatap foto diri sang ayah menutupi salib yang tertancap di atas makam.

“Stay Strong Gugus,” ungkap teman-temannya di Tashoora, memberikan semangat kepadanya.

Semangat inilah yang akhirnya membuat Gugus, sapaan hangat dari Gusti untuk akhirnya mengungkapkan perasaan beliau tentang hari itu

“Kemarin dini hari, bapak saya @djaduk dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan ibu setelah mengeluh kesemutan. Cepat sekali. Tidak ada yang menduga. Sampai sekarang pun rasanya masih seperti mimpi panjang yang belum usai,” ungkapnya.

Gusti Arirang di pusara sang ayah / foto: dok. @tashoora_ (instagram)

“Banyak sekali ucapan bela sungkawa yang saya terima. Terima kasih kepada teman-teman semua, ini sungguh sebuah perhatian yang luar biasa. Mohon maaf, saya belum bisa buka dan balas satu-satu. Terima kasih sudah mendukung perjalanan bapak. Dan jika beliau memiliki kesalahan semasa hidup, saya mohon dimaafkan. Sekali lagi terima kasih teman-teman. Selamat jalan, Bapak. Mungkin Bapak sudah tidak di sini, tapi karya Bapak akan selalu abadi,” tulis Gusti. Di akun Twitter, Gusti juga mengunggah beberapa foto dokumentasi pemakaman sang ayah.

Terlepas dari hubungan ayah-anak, hubungan Gusti dengan seorang Djaduk Ferianto menurut kami transenden, luar biasa. Segenap perjalanan musikal seorang Gusti sangat dipengaruhi oleh keberadaan sang ayah. Bahkan, hubungan mereka bisa begitu profesional, sebagai seniman antar seniman.

Lewat sambungan telekomunikasi jarak jauh, kami menghubungi Gusti Arirang untuk bercerita soal Djaduk Ferianto, tentang hubungannya emosionalnya, baik sebagai keluarga, juga sebagai sesama musisi profesional. Juga tentang pribadi ayah dan tentang ‘hutang’ yang sampai sekarang belum terbayar.

Selamat siang Gusti, sebelumnya terimakasih sudah meluangkan waktunya untuk berbicara dengan kami. 
Iya nggak apa-apa

Kapan dan apa percakapan terakhir kamu dengan bapak?
Terakhir saya mengucapkan selamat Hari Ayah di grup keluarga, itu hari Selasa

Sebelumnya ingin konfirmasi dulu, apakah betul bapak meninggal karena serangan jantung?
Iya, betul karena serangan jantung

Sejak kapan Gusti atau keluarga tahu bahwa bapak mengidap jantung?
Selama ini kita menebak-nebak sepertinya jantungnya bermasalah, karena rontgen perut hasilnya bagus semua. Cuma bapak tidak pernah mau diajak periksa khusus jantung gak tau kenala. Selalu ditunda-tunda. Sampai ibu minta tolong orang-orang terdekatnya buat bujukin supaya mau periksa. Terakhir wacananya adalah mau cek setelah Ngayogjazz (festival musik-red)

Beberapa dokumentasi pemakaman Djaduk Ferianto yang diunggah sang putri, Gusti Arirang / dok. idgarirang (twitter)

Semacam bapak orangnya keras kepala juga ya?
Saya lebih suka menyebutnya sebagai displin. Disiplin dalam mengatur apapun, termasuk manajemen tanggung jawab. Mungkin itu yang bikin beliau sebagai orang yang keras – terlebih soal kerjaan. Di balik itu, orangnya penyayang sekali dan ramah dengan siapa saja.

Bagaimana Gusti melihat sosok bapak?
Di keluarga, orangnya cukup sentimental, bahasa jawanya “atine cilik” mudah tersentuh. Kalau lihat foto anak-anaknya jaman kecil suka tiba-tiba menangis terharu. Kalau saudaranya kena musibah, suka kepikiran banget.

Agak ‘melankoli’ juga ya?
Iya

Ngobrolin masa kecil, Gusti ini anak keberapa dari lima bersaudara?
saya anak pertama

Kapan bapak pertama kali menemukan bakat atau ketertarikanmu akan musik?
Dari kecil saya sudah diajak terlibat di proyek-proyek seni beliau. Saya tidak ingat umur berapa. Kemudian, waktu band pertama saya (Chick and Soup, 2015) mulai merintis karier, beliau lah yang menawari kami untuk rekaman. Dari situ setiap perjalan karier bermusik saya selalu didukung penuh sama bapak.

Lahir dari keluarga seniman, apakah lantas menjadi beban?
Justru jadi energi sih, karena lingkungannya jadi sangat suportif. Yang ada adalah rasa tanggung jawab yang besar karena sudah di-support sebegitu besar

Djaduk Ferianto dan Kuaetnika / dok. djaduk (instagram)

Pernah kepikiran untuk meniti karier di luar musik?
Dulu pernah terpikir untuk kerja kantoran, tapi pupus begitu saja. Sekarang rasanya yakin dengan musik. Bapak juga pernah bertanya apa saya yakin untuk menghidupi musik. Saya bilang “iya tentu saja.” Katanya, “kalau kamu serius, jangan setengah-setengah, yang total.”

Seberapa besar bapak untuk katakanlah ‘mengintervensi’ musik Gusti? Apakah sampai ke soalan pemilihan selera musik atau cara pandang akan penulisan lirik dan lainnya?
Soal pengkaryaan saya selalu dibebaskan. Yang dilakukan bapak adalah menyumbangkan ide-ide isu atau tambahan isian. Tapi tidak pernah dipaksakan karena semua dikembalikan ke saya.

Kolaborasi Tashoora dengan Kua Etnika, apakah sebesar itu intervensi bapak atau justru itu kemauan kamu sendiri?
Kolaborasi di “Tatap” justru saya yang menawarkan. Di setiap kolaborasi, kami selalu membebaskan para kolaborator mau merespon lagu kami seperti apa. Tapi bapak ngikutin betul betul sampai proses mixing mastering.

Ucapan bela sungkawa dari Kua Etnika, grup bentukan almarhum / dok. kuaetnika (instagram)

Apa latar belakangnya sampai “Tatap” butuh kolaborasi?
Saya rasa energi lagu “Tatap” selaras dengan energi Kuaetnika, makanya saya juga propose ke teman-teman bagaimana kalau tatap kita garap ulang bersama Kuaetnika.

Apa respon bapak ketika ditawari ide kolaborasi ini?
Beliau langsung iya dan langsung membayangkan isian-isiannya

Seperti apa sih rasanya berkolaborasi dengan bapak?
Rasanya menyenangkan sekali. Karena melibatkan banyak instrumen, ditambah lagi kami sempat workshop bersama di studio, seru sekali. Melihat bapak meng-compose di tempat bersama teman-temannya, saya kagum.

Gusti Arirang bersama bapak di Bentara Budaya Yogyakarta, Desember 2018 / dok. idgarirang (instagram).

Bagaimana Gusti melihat sosok ayah di Kuaetnika?
Posisinya memang leader di Kuaetnika, tapi semua orang beliau dengarkan

Sedikit intermezo, saya curious ingin menanyakan ini: Ketika kamu mencukur rambut kamu sampai sependek itu, bagaimana komentar bapak?
Beliau sih hanya ketawa aja. Masa dia (bapak) boleh gondrong, saya gak boleh botak?

Alasan yang bagus …
Hehehehe

Gusti bersama keluarga di hari Wisudanya sebagai sarjana di UGM / foto: @maulistya / dok. idgarirang (instagram)

Ketika kamu pindah ke jakarta, apa perasaan dan komentar bapak?
Di hari saya pamitan dengan beliau, saya ditangisi, kalau ingat lagi rasanya sedih

Belum ikhlas?
Sepertinya bapak belum sepenuhnya mengijinkan saya pindah ke jakarta. Katanya “bapak merasa tanggung jawab bapak ke kamu belum selesai”. Itu terakhir saya menangis juga di pelukan bapak, 15 Oktober 2019

Itu hari kamu akhirnya pindah?
Iya

Apa akhirnya kamu menyesal atas keputusan ini?
Tidak, saya punya alasan yang kuat juga sampai akhirnya memutuskan untuk pindah

Almarhum saat rekaman kolaborasi Kuaetnika dan Tashoora di lagu “Tatap”, Agustus 2019 / dok. tashoora (instagram)

Saya baru-baru ini membaca obrolan beliau dengan Heru (Shaggydog), dia semacam ’eman-eman’ atau khawatir kalau Shaggydog sampai ke Jakarta. Dia semacam menyarankan sebaiknya (Shaggydog) tetap di Jogja
Ya, dia berpendapat sama soal keputusan saya, meskipun semuanya dikembalikan ke saya. Tentang kekhawatiran bapak, saya melihatnya lebih ke posisinya sebagai ayah daripada mentor musik.

Adakah hutang-hutang kamu ke ayah yang belum terbayar?
saya masih nyicil beberapa equipment band ke beliau, ini beneran hutang, he he he

Foto bersama Tashoora dan Kuaetika saat rekaman kolaborasi mereka di lagu “Tatap” / dok. tashoora (instagram)

Ini hutang secara real ‘hutang’ ya?
Iya, he he he tapi yang jelas (di luar itu) saya maish hutang banyak cerita, banyak rencana yang belum sempat disampaikan. Hutang waktu untuk menemani beliau. Banyak sih, itu yang saya sesalkan sekarang.

Adakah ide di masa depan untuk membuat sesuatu untuk mengenang beliau?
Tentu ada, tapi apa (bentuknya) saya belum bisa pikirkan sekarang

 

_____

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

Bank Teruskan Perjalanan dengan Single Fana

Setelah tampil perdana di Joyland Bali beberapa waktu lalu, Bank resmi mengumumkan perilisan single perdana dalam tajuk “Fana” yang dijadwalkan beredar hari Jumat (29/03).   View this post on Instagram   A post shared …

Band Rock Depok, Sand Flowers Tandai Kemunculan dengan Blasphemy

Setelah hiatus lama, Sand Flowers dengan formasi Ilyas (gitar), Boen Haw (gitar), Bryan (vokal), Fazzra (bas), dan Aliefand (drum) kembali menunjukan keseriusan mereka di belantika musik Indonesia.  Memilih rock sebagai induk genre, Sand Flowers …