Toko Rekaman Musik, Toko Mainan

Apr 19, 2018

Selalu ada yang menyukai rilisan fisik? Setidaknya sampai hari ini masih begitu. Record Store Day lahir dari keinginan mempertahankan eksistensi rilisan fisik, dalam hal ini konotasi sesungguhnya adalah piringan hitam, juga eksistensi toko-tokonya, di era distribusi musik format digital.

Piringan hitam sendiri sesungguhnya bukan format yang populer di Indonesia. Setelah ada kaset pita, format itulah yang menjadi produksi massal. Orang-orang pun kemudian menyebut toko penjual rekaman musik dengan sebutan toko kaset.

Sejak kecil, saya dekat dengan toko kaset. Dulu, buat saya, toko kaset lebih seru dari toko mainan. Toko kaset di Aldiron Plaza, Blok M, Jakarta, salah satu yang terfavorit. Seringkali bila membeli kaset, diberinya bonus stiker. Aih, saya suka sekali. Sebuah toko kaset di daerah Jalan Panglima Polim juga asik, di sebelahnya ada apotek yang menjual es krim.

Pengalaman mengunjungi toko-toko kaset memang kerap kali menarik. Datang, melihat-lihat kaset di rak, mengambil beberapa, duduk, memasang headphone, dan mencoba kaset-kaset tersebut satu demi satu. Kakak saya pernah salah menegur orang, dia menanyakan “Enak nggak kasetnya?”, ternyata orang yang sedang mencoba kaset itu bukan saya. Tengsin.

Betapa riangnya mendengarkan kaset demi kaset di sana, walau pulang hanya membeli satu-dua kaset. Mungkin beberapa pernah bandel mencuri, seperti yang Iwan Fals nyanyikan dalam lagu “Nenekku Okem” (dari album Lancar, 1987). Ya, sistem keamanan toko kala itu memang kurang ketat dan relatif mudah dibobol.

Habis ambi pension, mampir ke toko kaset
Cari lagu baru yang up to date
Kuping pakai headphone, badan tak bisa diam
Ikutin tempo break dance tersayang
Persetan orang lihat, sebodo nyengir
Konsentrasi dia tak goyah
Setelah selesai dengar lagu sekaset, lalu dia menuju kasir
Bayar satu, bawa tiga
Yang dua mampir di jaket

Perihal mencoba kaset dan terbawa suasana lagu di headphone, juga sering jadi pengalaman lucu. Beberapa orang kadang tak kuasa menahan diri. Ada yang larut goyang-goyang, ada yang turut benyanyi sambil membaca lirik yang tertera di sleeve cover album. Saya, mah, memaklumi saja.

Di toko-toko kaset itu pula saya membaca beberapa nama genre yang tertera sebagai kategori peletakkan kaset-kaset di rak. Rock, Pop, Jazz, saya tahu. Tapi apa itu Adult Contemporary? Lama kelamaan saya cukup bisa merabanya.

Tapi, saya juga pernah sangat sedih dan kehilangan akibat kaset. Ketika kaset Voltus V dengan bonus karton yang bisa dibentuk menjadi robot, setelah jadi dibentuk, tak lama rusak, saya lupa kenapa bisa rusak. Kaset itu segera diburu kembali, namun toko-toko di sekitaran sudah ludes menjualnya. Ah, lara!  

Hingga 1988, kaset-kaset Barat ditarik dari toko-toko kaset. Katanya, kaset-kaset itu perlu mendapat izin terlebih dulu untuk bisa dijual. Jadilah rak-rak di toko-toko kaset banyak yang melompong. Namun semangat tak surut, saya kumpulkan saja album-abum Indonesia.

Ketika kaset-kaset Barat muncul lagi, harganya sekitar dua kali lipat dari sebelumnya. Berat juga. Tapi tak seberat kaset Metallica dengan kemasan plastik dan berukuran sedikit lebih besar dari casing biasa, musik apa ini? Kaset itu saya beli karena desas-desus Metallica samar-samar terdengar di sekolah, di saat menuju persiapan EBTANAS. Tapi, begitulah era kaset. Kaset telah dibeli. Kaset akan didengarkan berulang-ulang, hingga yang tidak suka bisa jadi ultra-berkenan. Namun, nomer primadona memang biasanya ada di urutan teratas, hingga mudah memencet tombol rewind untuk disimak terus-terusan.

Toko kaset pun mencapai era tidak boleh dicoba. Semua kaset disegel ketat, tak boleh dibuka. Salah satu sisi kesenangan sebenarnya telah hilang, namun memang musik terlalu memikat kami. Kejadian-kejadian menarik selalu saja ada. Misalnya, melihat anak-anak kecil menunjuk kaset-kaset dengan sampul impresif dan meminta dibelikan oleh orangtuanya, salah satunya termasuk kaset Death SS, saya tersenyum karenanya. Atau melihat orang masuk ke toko kaset dan mengangguk-anguk mendengarkan musik yang sedang diputar di toko itu, kemudian bertanya, “Ini lagu siapa?” (Pada era CD, saya pernah mengalaminya di Pondok Indah Mall 2, merasa tertarik dengan musik yang diputar, ternyata itu adalah debut album dari Deadsquad).

Meskipun demikian, tentu tidak bisa berharap penuh pada penguasaan wawasan sang penjaga toko kaset. Setidaknya saya dan teman-teman pernah bertanya, “Ada kaset Stone Roses”. Dia pun memberikan kaset Guns N’ Roses. Saya timpali, “Bukan Guns N’ Roses, tapi The Stone Roses…”. Pramuniaga itu berkata, Oh…”, lalu sigap menyodorkan kaset Gun Rose.

Ketika harga kaset Barat sudah lebih mahal, bagian kaset diskon menjadi incaran sejati. Jongkok ngoprek kaset diskonan adalah aktivitas yang menyegarkan. Saya pernah hanya beberapa detik lebih cepat mengambil kaset Gene yang didiskon dari tangan seorang gadis yang juga meminatinya. Belakangan saya tahu kalau gadis itu adalah temannya teman saya.

Akan tetapi, segala kehebohan toko kaset kala itu, seperti luluh lantak ketika berhadapan dengan toko kaset Duta Suara di Jalan Sabang, Jakarta. Di sana begitu banyak kaset dan CD impor hingga kita bisa menemukan aneka katalog inceran yang sulit dicari. Belakangan, toko Aquarius Pondok Indah, dengan ukuran ruang “segede babon”, menjawab tantang itu dengan tak kalah gagahnya. Duta Suara dan Aquarius adalah tempat banyak anak-anak muda memesan rekaman idaman mereka untuk bisa didatangkan. Telepon akan berdering di rumah-rumah pemesan bila album yang dimaksud telah di tangan toko.

Selain membeli album baru tersegel, sesungguhnya masih ada opsi lain berupa toko-toko tangan kedua. Jalan Surabaya tentulah pionirnya. Tersajilah beragam kaset, CD, hingga piringan hitam. Beberapa rilisan tak tampak di toko-toko kaset biasa, misalnya, kita bisa temukan rekaman-rekaman single dengan hati kita terkejut ke langit melihatnya. Minimnya internet, terus terang, memberi keuntungan habis-habisan bagi kami. Rilisan-rilisan “sangar” bisa didapati dengan kocek setipis katun 30s dari kios-kios tangan kedua tersebut (bisa dibilang, hanya kecuali bagi classic rock, itu pun band-band tertentu, sisanya berharga miring total dan goyah ditawar).

Waktu terus berjalan. Di era 2000an, Aksara Bookstore di Kemang, Jakarta membuka sesi rekaman musik. Mereka menjual CD-CD dengan katalog yang menggemparkan di zamannya, dan dengan tradisi lama: tersedia booth dengan headphone tergantung untuk bisa mencobanya. Apa yang telah diakrabi dahulu, dikerjakan kembali. Mencoba CD-CD itu, lalu pusing kepala karena hanya memungkinkan untuk beli satu keping saja akibat harga dan gaji gontok-gontokan.      

Hingga internet benar-benar telah berwujud monster dan menyerang kota. Toko-toko kaset dan CD satu persatu tumbang berguguran. Namun yang didapati adalah kios-kios kecil yang bertahan, bahkan bermunculan. Ada yang gugur dengan luka kerugian, ada lagi yang baru buka didorong hasrat dan mencari peruntungan. Di internet pun demikian, para pedagang online hampir seperti laron yang menemani malam begadang para pemburu rekaman. Tiap-tiap format rilisan pun punya pelanggan: kaset, CD, piringan hitam. Beberapa pelanggan justru menjadi “predator”: mereka melahap kesemuanya sesuai dana dan keinginan.

Pasang surut harga dan peminat tak terelakkan. Momentum seperti Record Store Day dijadikan upaya menggairahkan. Buat saya, yang terpenting adalah untuk selalu menyenangkan.  Toko rekaman musik tetap menjadi hiburan, menjadi toko mainan.

 

____

Penulis
Harlan Boer
Lahir 9 Mei 1977. Sekarang bekerja di sebuah digital advertising agency di Jakarta. Sempat jadi anak band, diantaranya keyboardist The Upstairs dan vokalis C’mon Lennon. Sempat jadi manager band Efek Rumah Kaca. Suka menulis, aneka formatnya . Masih suka dan sempat merilis rekaman karya musiknya yaitu Sakit Generik (2012) Jajan Rock (2013), Sentuhan Minimal (2013) dan Kopi Kaleng (2016)

Eksplor konten lain Pophariini

Bank Teruskan Perjalanan dengan Single Fana

Setelah tampil perdana di Joyland Bali beberapa waktu lalu, Bank resmi mengumumkan perilisan single perdana dalam tajuk “Fana” yang dijadwalkan beredar hari Jumat (29/03).   View this post on Instagram   A post shared …

Band Rock Depok, Sand Flowers Tandai Kemunculan dengan Blasphemy

Setelah hiatus lama, Sand Flowers dengan formasi Ilyas (gitar), Boen Haw (gitar), Bryan (vokal), Fazzra (bas), dan Aliefand (drum) kembali menunjukan keseriusan mereka di belantika musik Indonesia.  Memilih rock sebagai induk genre, Sand Flowers …