Venue-venue Musik di Tengah Sengkarut Ruang Ekspresi Semarang

Terbit-tenggelam. Kira-kira itu frasa yang bisa digunakan untuk menggambarkan kondisi venue musik di Semarang, terkhusus yang berskala mikro-menengah.
Sepanjang 2022-2024, banyak ruang yang sering dijadikan venue bertumbangan di Semarang. Seven Bar & Lounge, Madaz Society Bar, Mondo House, Demajors Semarang- KAI Terrace, dan Loopspace adalah beberapa venue langganan di Semarang yang akhirnya kukut. Kebanyakan tidak sampai berusia dua tahun. Kondisi ini jelas memiliki dampak sendiri pada ekosistem musik di Semarang.
Bima, anggota gig organizer Gemuruh, menuturkan bahwa pernah sekali waktu Gemuruh kesulitan mendapat venue saat menampung 3 band tur. Agenda mereka hampir batal. Untung ada organizer lain yang mengadakan gig pada tanggal yang sama sehingga dapat diminta bantuan untuk menambah daftar penampil.
“Kalau nggak ada kolektif itu, agenda 3 band tur tadi bakal batal,” tutur Bima.
Hal yang sama dituturkan oleh M. Rifqi, salah satu pengurus Whocares Collective. Aktif sejak 2015 menyelenggarakan gig di Semarang, Whocares menyaksikan dan merasakan dampak dari terbit-tenggelam venue musik di Semarang.
“Kalau dibilang memberatkan sih pastinya iya,” saksi Rifqi.
Mengurai beragam faktor pemengaruh kondisi ini jelas bukan kerja semalam, apalagi tanggung jawab sebuah artikel singkat. Namun, memang ada banyak faktor yang mesti dilihat.
Bisa dibilang, hampir tidak ada venue musik per se di Semarang. Kebanyakan yang sering dipakai adalah ruang usaha yang berpotensi dijadikan venue musik, seperti bar, coffee shop, dan ruang-ruang lain.
Perbedaan posisi ini jelas bukan hal baru, tetapi bukan berarti tidak menjadi masalah. Baik organizer atau pemilik usaha memiliki kepentingan masing-masing. Keinginan membangun ekosistem dan motif bisnis bukan hal yang selalu bisa terhubung sebab setiap pihak memiliki dinamika masing-masing.
Pujo Nugroho, periset seni dan ruang kota di Kolektif Hysteria, memiliki catatan penting tentang ruang komunitas di Semarang. Menurutnya, para organizer masih belum utuh menyadari dinamika dan permasalahan yang dihadapi para pengelola venue. Umumnya, mereka menaruh perhatian pada venue hanya saat gig diselenggarakan, sementara urusan perawatan venue acap luput dari perhatian para organizer.
“Walaupun ruang itu nggak kita pake, biaya perawatannya terus jalan, kan? Mungkin karena nggak ada ruang komunikasi, kebutuhan-kebutuhan itu nggak terkomunikasikan dengan baik ke audiens atau organizer,” tutur Pujo.
Logika yang terpisah juga terjadi pada para pemilik venue, entah itu pemerintah atau pemilik usaha.
“(Saat ada) gigs bertiket, mungkin bayangan-bayangan birokrasi itu ke Synchronize atau kaya di PRPP yang rame. Padahal kan nggak setiap aktivitas yang melibatkan orang banyak itu ngomongke soal profit, soal finansial. Organizer itu kan lapisnya juga banyak dan berbeda,” tambah Pujo.
Komunikasi dan perumusan agenda untuk memperbaiki venue bukannya nihil belaka. Kongres Musik Kota pada 20 September 2021 di Loopspace menaruh perhatian pada ruang bermusik. Namun, agenda tersebut (juga perbincangan serupa) tidak sampai pada perumusan agenda dan realisasi ide, setidaknya dalam jangka pendek dan menengah. Pujo menambahkan perlu ada pihak yang mengambil peran nurturing ide dan agenda bersama ini untuk terus mengingatkan dan memoderasi setiap stakeholder (dengan syarat memahami logika dan dinamika internal setiap stakeholder).
Pertanyaannya, apakah pihak nurturer ini belum terisi? Pujo menyatakan bahwa peran ini seharusnya diisi oleh Dewan Kesenian Semarang atau konsorsium serupa. Sayangnya, peran tersebut belum terealisasi dengan optimal.
Namun, bukan berarti dinamika internal ini tidak bisa terhubung. Upaya menjalin komunikasi dan memahami dinamika stakeholder sudah dimulai oleh para organizer di Semarang.
Beberapa organizer di Semarang menyadari perbedaan itu. Komunikasi mulai dijalin dan eksperimen untuk mengakomodasi kebutuhan para stakeholder ini pun mulai dilakukan meski formulanya belum pasti.
“Kan mereka udah ngebantu kita, ya sadar diri buat ikut meramaikan bisnis mereka, ada uang lebih kita bisa jajan. Jika berkolaborasi dengan venue di bidang FnB, kolektif harus punya sense tentang manajemen risiko dan pintar-pintar baca peluang kolaborasi bisnis. Contoh, jika dari kolektif ada yang mempunyai bisnis merch bisa dititip jual. Saling bagi untung dengan venue,” tutur Rifqi.
“Hubungan antara venue dengan band atau personel band itu sebenarnya bisa organik. Di antaranya bisa juga sebagai ruang berkreasi, menghasilkan karya,” tambahnya.
Haidar Koswara, rekan Bima di Gemuruh, menyatakan hal yang sama. Simbiosis mutualisme akhirnya menjadi frasa kunci yang Gemuruh pegang erat dalam menghadapi dinamika ekosistem musik di Semarang.
“Akhirnya kita punya mindset gimana caranya gigs yang kita organize bisa mencapai dan mendatangkan market yang kita ingin sehingga akhirnya bisa menimbulkan simbiosis mutualisme,” tutur gitaris-vokalis unit alt-rock Wol ini.
Satu juga yang nampaknya perlu diperhatikan para penggiat musik di Semarang (juga kota mana pun) adalah untuk mulai mengulik tendensi pembangunan kota. Setiap kebijakan pembangunan kota akan berpengaruh pada dinamika sosial-ekonomi dan kebudayaan kota tersebut. Jika dilihat lebih dalam, dari sana akan muncul gentrifikasi yang berpengaruh pada nilai dan harga sewa sebuah ruang.
Di tengah kelumit venue ini, kita tidak bisa memandang para penggiat musik di Semarang dengan mata kasihan. Terbit-tenggelam venue yang tak kunjung usai direspon dengan siasat sepanjang nafas. Entah Gemuruh, Whocares, dan kolektif organizer lain di Semarang selalu rajin melakukan survei kota untuk mendapatkan opsi baru venue.
Survei dan eksperimen bermuara pada penggunaan kampus sebagai venue baru. Kondisi ini bisa terjadi sebab sepanjang 2024 bisa dikatakan beberapa UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) musik di Semarang cukup sering berjejaring dan berkolaborasi dengan para penggiat musik di kota ini.
Whocares, misalnya, pada agenda “Into The Shimmer” pada 19 Mei 2024 yang menjamu Enola, Sunlotus, dan Pale Air (Shanghai) di Semarang. Whocares bersama dengan kolektif organizer Guerilla XP mengajak UKM Musik USM (Universitas Semarang). Dari kolaborasi, Whocares dapat mengakses auditorium USM untuk dijadikan venue gig. Begitu juga dengan Detonasi Vol. 3: Semarang Grindcore Festival” pada 6 Oktober 2024 yang diselenggarakan di Auditorium Universitas Ivet Semarang. Ini belum termasuk inisiasi acara kampus-kampus di Semarang yang berkolaborasi dengan gig organizer dan para penggiat ekosistem musik Semarang lainnya.
Di tengah kelumit itu, ketersediaan venue permanen (atau setidaknya dengan nafas panjang) masih penting. Apalagi aktifitas perayaan musik di Semarang yang tidak sebatas pertunjukan musik, tetapi juga bazar karya, screening film, diskusi, dan sebagainya.
Daftar venue dalam tulisan ini memang sedikit. Mungkin akan terkesan “Semarang Krisis Venue”. Pernyataan itu bisa benar, bisa juga salah. Pemilihan venue-venue dalam daftar ini adalah ruang yang masih aktif dan acap dijadikan lokasi perayaan musik. Akan banyak coffee shop, bar, dan ruang lain yang tidak tercatat (juga yang akan tercatat) sebab, sekali lagi, para organizer di Semarang adalah para surveyor andal dengan daya siasat yang kelewat cakap.
Miwiti Space (@miwitispace)
Berada di kawasan Kota Lama Semarang, Miwiti Space mulai dijadikan venue gig sejak Januari 2023. Dikonsepkan sebagai creative space/hub, Miwiti memiliki ruang yang cukup luas untuk menampung pengunjung di kisaran 100-200an kepala. Closure, Girl and Her Bad Mood, Denisa, eleventwelvefth, dan Oscar Lolang adalah beberapa band luar Semarang yang pernah dijamu di Miwiti Space.
Matera Coffee (@materacoffee)
Beberapa gigs, nobar, pameran, dan diskusi zine pernah dilakukan di Matera Coffee yang bertempat di Jalan Banjarsari Selatan No. 88, Kota Semarang. Matera memiliki Indoor Smoking Area dan Outdoor Smoking Area yang bisa digunakan sebagai lokasi perayaan musik dengan ragam format.
Halaman Belakang Kolektif Hysteria/Hysteria Artlab
Markas Kolektif Hysteria di wilayah Gajahmungkur ini sudah dikenal sebagai ruang berkesenian di Semarang. Baik pameran seni visual, diskusi, workshop, hingga pagelaran musik diselenggarakan di sini. Belakangan, halaman belakang yang bisa menampung kurang-lebih 60 orang ini cukup sering digunakan sebagai venue pagelaran musik, terutama yang berbentuk intimate.
Sekolah Musik Indonesia (SMI) Semarang
Auditorium Sekolah Musik Indonesia (SMI) Semarang belakangan cukup sering digunakan sebagia venue musik. Sebagai bagian dari sekolah musik, tentu tidak perlu diragukan kualitas akustik, ketersetiaan kebutuhan konser, dan ragam hal teknis perihal audio yang ada di sini. SMI Semarang juga pernah dijadikan venue untuk ragam penampilan music; baik intimate show Banda Neira, tur 30 tahun rumahsakit, hingga pagelaran gig hardcore penuh keringat milik Hibernation Pict.
Boston Coffee
Boston Coffee berada di Kawasan Gunugpati (biasanya “diselewengkan” menjadi Gunungparty). Terdapat dua opsi ruang untuk pagelaran mikro skala puluhan orang. Dracul, Durga (Cipanas), dan Bleeder (Yogyakarta) pernah dijamu di sini.
Tipsy Lion Semarang
Tipsy adalah bottle shop di Jalan Sisingamangaraja no 43, Kota Semarang. Beberapa gig pernah diselenggarakan di sana, entah itu yang diinisiasi gig organizer ataupun oleh pihak Tipsy Lion sendiri. Dongker, Rub of Rub, Sunbath adalah beberapa nama yang pernah mempresentasikan karya mereka di Tipsy. Terakhir, Tipsy membuat para indies lokal meriang sebab bisa mendatangkan para duta besar Semarang era 2000-an seperti Terror/Incognita, Lipstik Lipsing, OK Karaoke, Sextoy, dan Something About Lola.
Honorable Mention (RIP):
Taman Budaya Raden Saleh (TBRS)
Saya tidak pernah merasakan masa TBRS menjadi venue darlings kancah musik Semarang. Namun, seluruh penggiat musik di Semarang bersepakat bahwa TBRS adalah andalan yang selalu menjadi ruang yang memiliki posisi sejarah penting. Era formatif kancah musik independen Semarang (1990-an sampai 2000-an) dirayakan di TBRS. Salah satu kisah yang sering dikabarkan adalah saat ada dua gig diselenggarakan di TBRS pada hari yang sama; satu di bagian indoor, satu lagi di bagian outdoor. Ajaibnya, tiket kedua acara itu ludes.
Kabarnya TBRS sedang dalam upaya untuk dikembalikan menjadi ruang ekspresi dan ruang kesenian di Semarang. Ini bisa menjadi kabar baik. Namun, seperti yang ditulis dalam pengantar, sensibilitas pengelola atas dinamika kancah lokal menjadi poin krusial yang menentukan apakah TBRS akan menjadi lokus kebudayaan di Semarang atau tidak.
Loopspace
Loopspace pernah menjadi salah satu venue darlings Semarang pascapandemi sebelumnya akhirnya kembali menjadi riwayat. Dengan kapasitas 200-an orang, beragam gig dan band tur pernah merasakan pertukaran keringat dalam ruang ini. Para pengelola Loopspace tidak hanya menjadikan Loopspace sebagai ruang fisik yang bisa disewakan, tetapi juga memiliki program rutin yang mereka kelola sendiri, seperti gig rutin House of Commons dan Sensus Kreatif yang berupaya mengarsipan aktifitas musik Semarang dalam wujud diskusi Kongres Musik Kota.
Mondo House (@mndpstv)
Bertempat di Jalan Madukoro Raya, Semarang Barat, Mondo acap dijadikan venue pagelaran musik, entah itu gig ataupun agenda DJ pergi-party-pulang-party. Dengan ruang seperti studio music yang luas, Mondo memberikan suasana intim dan gorong-gorong yang menyenangkan. Pada Juni 2024, saat organizer Gemuruh mengadakan haul 5 tahun mereka, adalah pagelaran musik terakhir yang diadakan di Mondo House.
Demajors Semarang- KAI Terrace (@demajors_semarang)
Demajors Semarang adalah venue yang paling “musik” dalam daftar ini. Toko musik fisik ini berada di area KAI Terrace Stasiun Tawang, Kota Semarang. Posisinya yang berada di kawasan Kota Lama Semarang menjadi cukup strategis untuk dijadikan destinasi menghabiskan akhir pekan muda-mudi urban kota ini.
Sudah ada puluhan agenda merayakan musik diselenggarakan di Demajors Semarang, baik itu gigs, records store day, diskusi, juga screening film dokumenter musik ataupun rilis video klip. KAI Terrace-Demajors Semarang pernah menjadi opsi langganan saat hendak mengadakan gigs menengah dengan kapasitas 100-an pengunjung.
Foto-foto artikel ditangkap oleh Hanafi Hastoworo dan Bima/@rottenslice

Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
6 Musisi Indonesia Pilihan Ryan Adriandhy
Kami menghadiri press conference film Jumbo pada Rabu (12/02). Dalam acara tersebut, sang sutradara, Ryan Adriandhy mengungkapkan bahwa musik dalam film Jumbo bukan hanya sekadar elemen pengisi latar, melainkan sebuah medium yang hidup, berfungsi …
Menuju Album Perdana, Diskoria Rilis INTONESIA 0.5
Pasca merilis maxi single Sakura Abadi November 2024, Diskoria melanjutkan perjalanan menuju album perdana mereka dengan rilis album mini INTONESIA 0.5 (14/02). Dilansir dari siaran pers, proyek album perdana menjadi babak baru …