Warna-warni dan Gemuruh Musisi Perempuan di Surabaya

Feb 21, 2024

Dahulu, saya sempat mempunyai rasa was-was untuk pergi ke gigs karena ada asumsi berupa pikiran bahwa menjadi seorang perempuan di gigs itu sepertinya menakutkan karena sulit untuk mendapat kepastian akan rasa aman di tengah asingnya suasana yang mana saya tidak mengenal siapa pun. Lagipula, di tengah desakan keramaian cuma ada laki-laki di kanan kiri saya bukan? Cukuplah intimidatif perasaan yang saya rasakan sebagai perempuan yang kerap mendapatkan catcall di jalanan oleh laki-laki asing di jalanan, bagaimana nanti kalau di gigs?

Begitulah impresi serta kekhawatiran yang saya dapatkan akan pengalaman nge-gigs ketika saya mulai tertarik untuk mencoba pergi dengan mengetahui hasil dokumentasi yang beredar di internet saat itu, menunjukkan kerumunan laki-laki yang tampak “garang”. Namun rasa takut itu perlahan mulai saya lawan dengan memutuskan untuk pergi ke gigs yang ada di kota tempat saya tinggal, Surabaya untuk membuktikan bahwa asumsi saya salah. Secara retrospektif. saya rasa was-was yang saya kemukakan di sini timbul karena minimnya pengetahuan akan peran dan representasi musisi perempuan baik di panggung maupun di balik panggung.

Tanpa mendiskreditkan peran para jurnalis serta musisi perempuan yang telah aktif dalam skena musik di Indonesia jauh sebelum saya berkecimpung dalam skena musik lima tahun lalu, ketidaktahuan saya akan akses media musik yang ramah perempuan menjadi sebuah pertanda bahwa skena musik di Indonesia pernah sangat maskulin.

Mendengarkan karya musisi perempuan dan queer di Indonesia seperti Bananach, Rekah, Grrrl Gang, Peach serta para musisi yang saya buatkan daftarnya di sini malah memotivasi saya untuk mulai rajin dalam mengonsumsi serta mengamplifikasi arsip media karya perempuan dan queer di Indonesia

Walaupun begitu, mendengarkan karya musisi perempuan dan queer di Indonesia seperti Bananach, Rekah, Grrrl Gang, Peach serta para musisi yang saya buatkan daftarnya di sini malah memotivasi saya untuk mulai rajin dalam mengonsumsi serta mengamplifikasi arsip media karya perempuan dan queer di Indonesia seperti photo zine “Alerta” oleh Dewi Andriani, lalu ada dokumenter karya Heramary, “Ini Scene Kami Juga!”, dan tentu saja karya ciamik Ghio, fotografer asal Surabaya yang kerap mengabadikan momen-momen baik di panggung maupun di balik panggung secara profesional.

Baru-baru ini, Ghio mempublikasikan zine yang mengisahkan lika-liku skena musik di balik panggung dengan jepretannya yang khas. Zine Ghio turut menghadirkan tulisan-tulisan yang membicarakan akan skena musik secara kritis dan menggelitik oleh Anida Bajumi (Amerta), serta Eureka (The Caroline’s) dengan jepretan foto-foto Ghio yang tajam di setiap lembarnya. Selama gigs berlangsung pun saya menjadi saksi akan lincahnya Ghio saat mengabadikan momen di panggung. Sebutlah, terbitnya karya-karya mereka sebagai salah satu gerbang untuk optimis dan mulai memberanikan diri untuk menceburkan diri di skena musik lokal sebagai penonton gigs pada permulaan.

Touch the grass they said. Kembali ke ketakutan yang berasal dari asumsi saya beberapa tahun silam, semua asumsi itu hanyalah bola liar tanpa adanya niatan untuk melihat dan merasakan sensasinya di lapangan kalau belum dibuktikan. Hal itu yang memantapkan niat saya untuk datang ke gigs lokal, sekaligus mendukung secara langsung para musisi yang tampil membawakan karyanya di panggung. Buat saya, menjejakkan kaki ke dalam gigs membuat saya kecanduan. Sejak saat itu, saya jatuh cinta dengan sensasi yang menggembirakan dan kadang sentimental lewat energi para musisi yang membawakannya.

Suara serta iringan musik yang dibawakan oleh segenap musisi perempuan di seluruh dunia, tak terkecuali di Surabaya merupakan suatu perlawanan untuk mereka yang pernah dan masih mengerdilkan hingga mengobjektifikasi eksistensi perempuan di skena musik.

Mereka menginspirasi saya dan barangkali banyak perempuan di luar sana untuk memberanikan diri untuk bersuara melawan ketidakadilan yang menimpa para penikmat musik perempuan tidak hanya di gigs, namun juga di aspek-aspek kehidupan yang dijalani sesuai dengan cita-citanya. Belum lagi ketika bisa berjejaring dengan sesama kawan perempuan melalui gigs dengan antusiasme pada musik. Koneksi yang saya bangun dengan sesama kawan perempuan mematri solidaritas untuk membangun ruang aman bagi seluruh kalangan, terutama di gigs. My girlhood consists of the girls I befriended with in the scene.

Suara serta iringan musik yang dibawakan oleh segenap musisi perempuan di seluruh dunia, tak terkecuali di Surabaya, menurut saya merupakan suatu perlawanan untuk mereka yang pernah dan masih mengerdilkan hingga mengobjektifikasi eksistensi perempuan di skena musik. Setidaknya, hidup di bawah teriknya sinar matahari yang melingkupi Surabaya lebih bisa diromantisasi sekaligus dihadapi dengan musik yang mereka dendangkan.

Dari twee pop, shoegaze, dark wave, hingga soul jazz, warna-warni musik yang mereka tampilkan menunjukkan spektrum yang beragam dan tidak berpatokan pada hal yang sorotannya berada dalam tren saja. Gemuruh yang mereka bawakan lewat nada, irama, dan lantunannya menerbitkan perasaan yang kadang diliputi dengan harapan-harapan baik serta sentimentil mengingat seberapa kerasnya perjuangan perempuan untuk diakui secara setara di skena musik sampai detik ini. Seperti yang dikatakan oleh Kathleen Hanna, “All girls to the front! I’m not kidding.

 

1. The Caroline’s – Eureka, Baiq

Eureka dan Baiq dari The Carollines / Foto: Faiza Zahra

Sudah jelas kalau The Caroline’s sukses mencuri hati para pendengarnya dengan tembang twee pop yang catchy, manis sekaligus pahit, dan terkadang humoris lewat EP-nya “on my way to u” yang dirilis pada 2021 lalu oleh Paska Records. Jauh sebelum unit ini terbentuk, Eureka merupakan penikmat gigs lokal sejak masanya di bangku sekolah menengah yang rutin hadir serta berpartisipasi dalam kolektif lokal Mendadak Kolektif yang rutin mengorganisir gigs. Kecintaannya pada musik membuatnya menikmati peran sebagai vokalis. Unit ini terbentuk secara iseng karena pada saat itu mereka yang merupakan sekumpulan pecinta musik skramz yang mempunyai ide untuk membalut lirik depresif khas skramz dengan irama twee yang ceria.

Spirit DIY benar-benar hidup dalam The Caroline’s dengan keadaan mereka yang seadanya saat awal merintis dengan diadakannya pameran mini yang merayakan rilisnya EP debut mereka (15/10/2021) Baiq menyumbangkan bakatnya dalam menggambar dengan menuangkan ilustrasinya menjadi sampul EP ini. Eureka dengan kemampuannya merajut kalimat-kalimat dengan lihai menjadikannya sebagai kurator muda dalam catatan-catatan yang menceritakan suka duka perjalanan mereka selama memproduksi EP debut mereka. Kemudian di tahun 2023, produktivitas The Caroline’s dalam berkarya memberikan kejutan bagi penikmat musik di Indonesia melalui kolaborasi dengan Loon dan The Jansen melalui split EP “Flowery Melancholia” yang telah dirilis di seluruh layanan streaming digital. Tentu saja popularitas The Caroline’s juga tidak lepas dari adanya komentar-komentar yang mempunyai tendensi kritikal dalam musikalitasnya. Eureka sebagai vokalis mengakui bahwa hal tersebut tidak membuatnya patah semangat, ia malah terus berupaya untuk rajin berlatih demi memberikan performa khas ala twee yang maksimal saat tampil. Di sisi lain, ia tidak terlalu mengejar kesempurnaan mengingat mereka adalah band dengan spirit twee ala 90an yang apa adanya.

Eureka sebagai vokalis terus berupaya untuk rajin berlatih demi memberikan performa khas ala twee yang maksimal saat tampil. Di sisi lain, ia tidak terlalu mengejar kesempurnaan mengingat mereka adalah band dengan spirit twee ala 90an yang apa adanya

 

2. Drizzly! – Manda, Rascil, Faye, Moza

Manda, Rascil, Faye dan Moza dari Drizzly! / Foto: Bayu Paktuwa

(Credit: Bayu Paktuwa)

Awalnya Drizzly merupakan sebuah solo project dari Amanda (lead vocalist) yang tercipta di Sidoarjo (hehe, masih dekat Surabaya kan?) yang menghasilkan anak pertamanya, “Bitter to See You” (2022) dan secara perdana, Amanda menyanyikannya di hadapan banyak orang di Aiolive vol. 21 (22/05/22). Perkembangan Drizzly semakin naik dengan bergabungnya teman-temannya, Moza (bass), Faye (gitar), dan Rascil (drum). Tentu saja karya-karya Drizzly yang memberikan energi ala kehidupan masa muda yang diiringi dengan patah hati dan di saat yang sama, kesanggupan hati untuk menjalakannya dengan riang gembira, akan cocok untuk dinikmati secara santai di kondisi apapun. Saat sedih itu akan membangkitkanmu, saat bahagia, itu akan mendorongmu untuk berdansa ria.

Performa Drizzly yang interaktif dengan para penonton di gigs juga menjadi salah satu ciri khasnya saat tampil. Rilisnya debut EP “Fairyworld” mendapat ulasan positif dari bermacam kalangan penikmat musik di Indonesia. Suara lembut Amanda dipadukan dengan dentuman drum Rascil dan petikan bass Moza serta genjrengan gitar Faye merupakan paket komplit yang tidak dapat terpisahkan. Selain itu, Drizzly tidak takut untuk bereksperimen ke ranah genre musik yang kesannya sulit menyatu dengan dream pop. Katakanlah reggae, atau punk. Drizzly akan membuktikan bahwa itu bukanlah suatu hal yang mustahil. Berkolaborasi dengan unit dub-reggae asal Surabaya Mote Soundsystem, Drizzly merilis EP “Bitter to Dub You” September 2023 silam. Lalu yang terbaru pada gigs showcase Dongker baru-baru ini yang diadakan di Posbloc Surabaya bertajuk “Distopia Cinta di Surabaya” (21/01/24), Drizzly membawakan cover “Tuhan di Reruntuh Kota” dengan komposisi yang tidak menghilangkan ciri khas mereka yang dreamy dan secara bersamaan menghadirkan nuansa marah-marah khas Dongker. Sontak seluruh penonton menyanyikannya bersama-sama sambil bermoshing ria.

Suara lembut Amanda dipadukan dengan dentuman drum Rascil dan petikan bass Moza serta genjrengan gitar Faye merupakan paket komplit yang tidak dapat terpisahkan dalam EP Drizzly, Bitter to Dub You.

 

3. Mmmarkos! – Angel

Angel dari Mmmarkos! / Foto: Ayughia

Siapa sangka kalau band yang menyajikan tembang dark wave dengan sentuhan post-punk yang modern dan upbeat ini menjadi suatu arena penuh tantangan sekaligus hal yang menyenangkan bagi Angel dalam hidupnya. Ia memang sudah biasa menyanyi di hadapan banyak orang sejak di bangku SMA. Jadi ini bukan hal baru yang pernah ia lakukan. Semua itu berubah menjadi sebuah tantangan semenjak Angel secara resmi bergabung dengan Mmmarkos! yang awalnya dibentuk oleh Ipeng dan Hamid sebagai proyek iseng dan kebetulan mereka bertiga telah berteman lama. Tanpa basa-basi, Angel mengiyakan ajakannya. “Tiba-tiba aku disuruh datang untuk recording, jujur mengagetkan karena aku pikir bakal ada obrolan aja. Tapi ternyata mereka langsung suruh aku nyanyi di tempat,” ujar Angel saat ngobrol santai dengan penulis.

Perkembangan Mmmarkos! yang begitu pesat pada tahun 2023 dapat menjadi hal yang menantang bagi Angel mengingat aktivitasnya di band bukanlah satu-satunya kesibukan yang mengonsumsi tenaga dan waktu dalam hidupnya. Meskipun begitu, Angel terus berupaya untuk memberikan performa terbaiknya bahkan saat ia dilanda flu saat turnya bersama Drizzly di Jawa Barat dan Jakarta kemarin berlangsung, salah satunya Orange Pop (23/11/23). Terbukti dengan antusiasme penonton setiap Mmmarkos! tampil di gigs lokal serta saat turnya berlangsung, tentu unit ini menjadi salah satu topik utama dalam obrolan di skena musik Indonesia seusai dirilisnya EP “Preliminer” di penghujung 2023 silam. “Enggak menyangka bakal bisa seperti ini,” ungkap Angel dengan tertawa kecil.

4. Lunarways – Yala

Yala dari Lunarways / foto: Naja Fatimah

Saat mendengarkan tembang-tembang Lunarways, saya teringat akan alunan band-band Fortuna Pop! Records. Terutama pada rilisannya yang terbaru, maxi single “Balada Distorsi” yang rilis pada 2023 lalu. Yala menyanyikan Balada Distorsi dengan melodi yang renyah, namun cukup, dan seimbang bersamaan dengan irama dan ritme gitar, bass, dan drum yang saling berpadu. Mereka sukses melebarkan sayapnya pada pekan terakhir Mei dan awal bulan Juni 2023 yang lalu dengan tur Bertamasya ke Jombang, sampai di kota di barat Jawa seperti Jakarta dan Tangerang. Saat berlayar untuk turnya di ibukota (09/06/2023), Lunarways bercerita tentang keseruan mereka dalam tur Bertamasya di Synchronize Radio. Apabila kalian menyukai rilisan Sarah records dan Fortuna Pop! Records, ada baiknya untuk mendengarkan rilisan Lunarways sekarang juga.

 

5. Humidumi – Nitnot, Irma

Nitnot, Irma dari Humidumi / Foto: Ayughia

Menyebut Humidumi sebagai unit indie-pop legendaris di kota pahlawan bukanlah hal yang berlebihan. Irma sebagai basis dan Nitnot sebagai lead vocalist tak perlu membuktikannya dengan lantang. Tonton saja penampilan live session mereka di kanal resmi YouTube Humidumi dan kalian akan menikmati tiap detiknya. Walaupun sudah berdiri selama bertahun-tahun, Humidumi mampu menegaskan keberadaannya sebagai band yang akan menemani hari-hari kalian dengan musiknya yang easy listening sekaligus kompleks. Mari berkilas balik pada debut albumnya Pathless yang dirilis pada akhir 2020 dengan lirik-lirik yang beresonansi pada perasaan-perasaan negatif yang berpusat pada diri dan dirasakan ketika menjalani hidup. Vokal renyah sekaligus mendayu yang dibawakan oleh Nitnot semakin mendukung mood sentimentil ketika mendengarkan album ini. Beruntungnya, tahun lalu Humidumi kembali menyajikan eksplorasi barunya dengan Nodus Tollens. EP kali ini menggandeng banyak sosok di skena musik yang tidak asing didengar, salah satunya Christabel Annora, solois asal kota tetangga, Malang pada track “Spasial Temporal”. Dalam rangka perayaan rilisnya Nodus Tollens, Humidumi sukses mengadakan gigsnya di Caturra Espresso bertajuk 11 Tahun Perayaan Humidumi (30/09/23) bersama kolaboratornya serta kehadiran Much (Malang), Girl and Her Band Mood (GAHBM), dan Drizzly. Gigs ini disambut dengan antusiasnya penonton yang menyimak dengan hikmat. Entah rilisnya Nodus Tollens ini merupakan sebuah pertanda bagi Humidumi sebagai transisi anyar mereka dalam bermusik atau sebagai percobaan, tapi saya siap untuk mengikuti perkembangan mereka ke depannya dengan menunggu rilisan mereka yang sedang diramu.

6. Lordelee

Lordelee / Foto: Giffahry Galih

(Credit: Giffahry Galih)

Seorang solois yang baru saja merilis singlenya “Crown” pada Oktober 2023 silam. Musik yang dibawakannya mengingatkan kita akan sisi emosional dan dipenuhi energi masa muda yang menggebu-gebu ala Avril Lavigne dengan album hits Let Go (2000), namun memiliki hint punk-ish ala Turnstile. Lordelee mewariskan energi tersebut dengan lagu-lagu yang ia buat. Esensi akan masa muda yang penuh semangat dan terkadang menyatakan kekesalan ia bingkai menjadi lagu-lagu yang kini telah ia rilis di seluruh layanan streaming musik digital. Aksi Lordelee meramaikan panggung di Surabaya semakin membuktikan passion yang ia haturkan dalam bermusik. Misalnya di rangkaian akhir gigs “Menelisik” (23/09/23) yang diorganisir oleh Suburbia East bersama Shrine, Pixy Plum, Mmmarkos!, Battlebeats (Bandung), Muchos Libre (Bandung), dan Lips!! (Jakarta), Lordelee menyanyikan salah satu singlenya, “stuck” dengan penuh semangat di hadapan penonton.

 

7. Indysellen

Indysellen / Foto: Ayughia

Melalui alunan catchy ala pop yang terjalin dalam lagu-lagunya, Indysellen menceritakan kisah hidupnya melalui lagu-lagu yang telah ia rilis sejak 2020. Bulan lalu Indysellen mengunggah music video salah satu rilisannya, “gonna be my remedy” di kanal YouTube resminya yang menyajikan paduan konsep yang humoris dan kreatif. Selain menjadi solois, Indysellen menunjukkan kiprahnya sebagai vokalis sekaligus gitaris bersama Fleuro, band shoegaze asal Surabaya yang telah meramaikan gigs-gigs lokal seperti “Nothing Personal Vol. 2” (28/05/23) bersama local acts Surabaya seperti Shrine, Decemberism, dan Raousse serta ada juga Kanekuro (Bali) dalam tur “The Peak of Youth Life” oleh Milledenials (Bali).

 

8. Shrine – Emma

Emma dari Shrine / Foto: Faiza Zahra

Tidak pantas rasanya jika menyebut musik shoegaze asal Indonesia tanpa menyebut Shrine. Unit shoegaze yang dibentuk secara tidak sengaja lewat obrolan iseng sekawanan penikmat Slowdive, band shoegaze terkemuka asal Inggris ini menjadi wadah pertama bagi Emma sebagai lead vocalist. Nuansa melankolis dan fuzzy yang dibawakan oleh Shrine menjadi ciri khas mereka ketika menampilkan performanya, dilengkapi dengan lantunan vokal Emma. Penampilan perdana mereka ialah saat Bojakrama mengadakan gigsnya yang kedelapan belas (4/9/22) bersama Deathroned, Enola, Fleuro, dan Yellow Flower Living Water dalam rangka mengiringi tur Sunlotus, band shoegaze asal Yogyakarta dalam Deafening This Old House Tour 2022  di Gubeng 66. Kali pertama mereka dalam membawakan lagu-lagu yang belum dirilis secara publik menerima resepsi yang positif dari penonton. Saat ini, Shrine telah merilis debut EP-nya, “Sacred Limbo” di layanan streaming musik digital via Paska Records. Januari lalu Shrine telah merilis music video untuk “Serenity” dari debut EP mereka secara perdana di YouTube. Lirik-lirik yang sendu dalam lagu-lagu Shrine dibawakan secara seimbang oleh suara Emma yang memberi kesan misterius nan sendu dengan komposisi gitar, bass, drum, dan dibumbui gesekan biola yang memanjakan telinga.

 

1. Pixy Plum – Bella

Bella dari Pixy Plum / Foto: Faiza Zahra

Perjalanan Bella dalam unit shoegaze ini dimulai ketika personil-personil Pixy Plum mencari seorang back vocalist untuk melengkapi keutuhan band ini dengan mengajaknya dalam sesi latihan vokal mandiri dan akhirnya ia menjalankan perannya sebagai lead vocalist serta mengiringi iringan lead guitar (Bram) dengan gritty. Selayaknya sensasi dreamy dan noisy yang dibawakan oleh For Tracy Hyde, Seventeen Years Old Berlin Wall, dan my dead girlfriend, band asal jepang yang disukai oleh Bella serta rekannya di Pixy Plum, mereka meramaikan skena musik di Surabaya dengan getaran baru. Keseimbangan yang tercipta dari insturmental yang fuzzy dan noisy berpadu dengan hangatnya suara Bella. Mereka turut meramaikan panggung di Surabaya dalam rangka merayakan kolaborasi split EP Drizzly dan Moongazing and Her, Best Prom Ever yang baru saja dirilis beberapa bulan lalu dengan gigs yang bertajuk “Welcoming the Prom Queen” (20/9/23) secara meriah. Bella mengaku bahwa terkadang ia mengalami stage fright karena memikirkan bagaimana penonton dapat memberikan persepsinya secara hyper critical. Kendati hal tersebut, Bella melanjutkan, “Tapi aku seneng bisa ngelakuin ini semua karena menurutku music is about having fun!”

1. Thee Marloes – Natassya

Natassya dari. Thee Marloes – / Foto: Ryo Dinata

 

Keberadaan Thee Marloes di kancah musik Indonesia menawarkan paduan unik antara soul, jazz, R&B, dan pop dengan vokal Tassya yang tiada duanya. Di bawah payung Big Crown Records, sebuah label asal Amerika Serikat, apresiasi secara global mulai datang satu per satu. Thee Marloes memang pantas mendapatkannya, apalagi dengan kualitas vokal Tassya yang semakin memperkuat kesan romantis dengan paduan instrumental yang kaya Lantunannya dengan Thee Marloes untuk pertama kalinya di Love Potion, single yang dirilis 2021 lalu, semakin mempererat ikatannya di unit trio ini. Menakjubkannya, di gigs yang diadakan secara langsung, suara Tassya memiliki kualitas yang tidak kalah hebatnya dengan versi rilisan mereka di studio. Saya ingat ketika menyaksikan penampilan Thee Marloes dengan Tassya pada pertama kalinya di Urbanized Fest (6/12/22), rasanya begitu intim dan harmonis. Di saat yang sama, menikmati Thee Marloes sambil berdansa ramai-ramai menjadi suatu hal yang lebih menyenangkan. Sebelum dirilisnya debut album mereka yang akan datang di tahun ini, Tassya lagi-lagi bersinar di single terbaru mereka, “True Love” yang dirilis pada Oktober silam secara publik.

Penulis
Faiza Zahra
Saat ini masih fokus menyelesaikan studi ilmu komunikasi di Universitas Airlangga, Surabaya. Lahir 29 Agustus 2003. Jarang menetap dan senang berkelana. Kadang-kadang termenung di atas JPO sambil memikirkan film apa yang akan ditonton sebelum tidur. Musik dan buku ialah sahabat sejati perjalanan komutasinya. Bisa dihubungi melalui instagram @faizazahrraa.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Lirik Lagu Empati Tamako TTATW tentang Mencari Ketenangan dan Kedamaian

Penggemar The Trees and The Wild sempat dibuat deg-degan sama unggahan Remedy Waloni di Instagram Story awal November lalu. Unggahan tersebut berisi tanggapan Remedy untuk pengikut yang menanyakan tentang kemungkinan kembalinya TTATW.     …

Di Balik Panggung Jazz Goes To Campus 2024

Hujan deras di Minggu siang tak menghalangi saya menuju gelaran Jazz Goes To Campus (JGTC) edisi ke-47 yang digelar di FEB UI Campus Ground, Depok pada Minggu (17/11).  Bermodalkan mengendarai motor serta jas hujan …