Wawancara Eksklusif Dead Vertical: Merilis Album Itu Penting dan Harus Explore

Feb 12, 2025

Akhir Januari 2025, Dead Vertical resmi meluncurkan album penuh ke-6 mereka bertajuk Megadaya. Di album, band yang terbentuk tahun 2001 ini banting setir genre dari grindcore yang sudah identik dengan mereka menjadi heavy rock.

 

 

Pophariini berkesempatan hadir dalam acara perilisan album Megadaya yang mengambil tempat di Krapela, Jakarta Selatan, Sabtu (09/02). Dalam kesempatan ini, Dead Vertical tampil bersama 3 band pembuka yaitu Hard To Kill, Jimi Jazz, dan Tenholes.

 

 

Beberapa jam sebelum acara mulai, kami sempat menemui anggota Dead Vertical, Adi “Boybleh” Wibowo (vokal, gitar), Arya “Aryablood” Gilang Laksana (drum), dan Bonny “Deadbonz” Suhendra untuk berbincang karier hingga album Megadaya di balik panggung.

 

Dead Vertical beberapa saat sebelum manggung di peluncuran album Megadaya / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Boy membuka obrolan dengan mengungkapkan bahwa Dead Vertical terbentuk karena para personel berada di satu tongkrongan di Jakarta Timur tahun 2001. Bersama Bonny dan Iwan (mantan vokalis, keluar tahun 2005) mereka pun membentuk Dead Vertical.

“Generasi pertama itu sisa gue sama Bonny, kemudian Arya tahun 2004 gabung. Jadi dia generasi kedua,” kata Boy.

Berkarier lebih dari 20 tahun, mereka tahun ini melahirkan Megadaya, album penuh keenam berisi 8 lagu yang punya nuansa musik berbeda dari karya-karya Dead Vertical sebelumnya. Lalu apa narasi yang ingin dibawakan di album ini?

 

“Kami pengin membuat sesuatu yang dayanya besar, supaya bisa lebih dinikmati banyak orang. Pengin juga membuktikan, kami dari band ekstrim bisa kok membuat sesuatu yang gak segmented lagi, lebih universal lah musik kami. Intinya sih gitu narasinya,” jelas Boy.

 

Boy punya alasan filosofis sendiri mengenai penamaan Megadaya. Judul ini baginya memiliki makna ‘daya besar’ yang juga menjadi harapan band untuk sang album.

“Gue terinspirasi dari kelistrikan, PLN [tertawa]. Gara-gara lihat gardu listrik [tertawa]. Jadi karya kami harus bisa lebih menyengat orang banyak,” jelas Boy.

Berangkat dari visi dan misi menyengat orang banyak dengan karya, Boy lanjut menjelaskan strategi promosi untuk album Megadaya yaitu dengan mengajak 4 kolaborator di 4 lagu dalam album. Mereka adalah Coki Bollemeyer di lagu “Karburator Membara”, Winky Wiryawan “Bond”, Jimi Multhazam “Jelata”, dan Nadila Wantari (eks JKT48) “Nestapa” yang hadir di pesta perilisan. 

Dead Vertical juga mengabarkan tengah mempersiapkan rangkaian tur yang ditargetkan berjalan setelah Lebaran.

Simak obrolan kami dengan Dead Vertical seputar album Megadaya hingga perkembangan musik ekstrim di bawah ini.




Dead Vertical dikenal band grindcore, tapi Megadaya agak banting setir ke heavy rock. Apa faktor umur membuat pendekatan yang sedikit berbeda?

Bonny: Ya termasuk salah satunya. Di luar kegiatan kami yang mencari sesuap nasi [tertawa], supaya dapur ngebul. Ya salah satu faktor lah. Jadi kami kalau mau fokus yang terlalu ekstrim agak bingung sih mainnya, benar gak sih?

Boybleh: Udah kecapean juga, udah umur, kepalanya udah ke mana-mana soalnya.

Arya: Butuh yang baru sih. Maksudnya di fase yang udah masuk kepala 4 semua, terus udah sibuk Bapak-bapak gitu. Jadi kayaknya butuh yang baru nih musiknya.

Bonny: Karena grindcore tuh bisa kebaca sih ya, Ar?

Arya: Iya. Kami udah pernah coba semua gitu. Grindcore yang agak nge-punk, agak hardcore, agak death metal, udah kami cobain nih. Makanya kami mikir harus bikin 1 karya album yang jomplang nih.

Bonny: Kalau grindcore tuh lebih identik ke apa ya? Napalm Death atau Nasum, paling mentoknya di situ sih. Misalnya nanti ada band grindcore, udah bisa ketebak sih dari riff ini, larinya ke sini nih. Makanya kami lebih pengin explore aja.

Boybleh: Kami mau curi perhatian.

Bonny: Bisa dibilang kami grindcore, cuma versi pelan aja. Sebenarnya kalau Megadaya dikencangin temponya, jadi grindcore sih riff-nya.

 

Apakah mengalami kesulitan saat menghadirkan nuansa catchy di Megadaya?

Boybleh: Kesulitan kami saat ngepasin part. Gimana caranya ini musik dengan tempo yang bisa dibilang rata-rata pelan, tapi gak boring. Itu tantangannya. Divisi vokal berubah total semua, jadi gue harus belajar nyanyi lagi, belajar bernada. Gaya vokal lamanya tetap ada di beberapa lagu. Masih ada ciri khasnya Dead Vertical, cuma ya bisa dibilang 80% dirombak semua divisi vokal. Kebetulan pas lagi recording, sound engineer-nya (Iskandar Aziz) itu bisa merangkap jadi Music Director juga. Gue banyak dibantu sama dia, mentor gue lah saat itu.

Dari permainan gitarnya gak terlalu susah. Kebetulan kami sekarang pakai 2 gitar, yang satu additional, Nyoman Bije dari Viscral. Tugas gue agak enteng lah untuk gitar plus vokalnya. Padahal sebenarnya pengin gue tutup aja volumenya, gue gak usah main gitar [tertawa]. Gue udah malas main gitar [tertawa].

Bonny: Sama ini ya, kebiasaan kami dengan metronom cepat terus langsung ke metronom lambat itu transisinya agak sulit buat gue pribadi. Ternyata main pelan gak semudah itu karena memang kebiasaan cepat. Mengejar metronom pelan, akhirnya keserimpet-keserimpet juga, nahan mainnya. Kalau ngebut-ngebut kan udah kebiasaan tuh, gue take bas cuma berapa jam juga bisa, tapi kali ini jadi malah lama. Padahal kuncinya gampang-gampang banget [tertawa]. Kesulitannya di bas, menurut gue itu sih.

Arya: Di drum, jujur gak terlalu sulit karena pas penggarapan lagu kan biasanya dari Boy yang bikin. Dia ngirim ke gue nih, paling gue sharing sama Boy by phone gitu. Ya udah ketika di studio kami udah pasti harus jadi satu lagu. Itu langsung direkam biasanya lewat video. Jadi gue udah ada pegangannya nih. Tinggal explore-nya lagi ketika pas recording.

Album Megadaya ini salah satu album yang gue tunggu-tunggu karena gue memang request ke mereka berdua untuk bikin album yang jomplang banget. Kejadiannya di sini. Jadi gue cukup antusias untuk album ini.

Boybleh: Biangnya dia nih [menunjuk Arya].

 

Kalau berangkat dari permintaan Arya, lalu apa yang bikin Boy dan Bonny akhirnya setuju untuk merubah genre di Megadaya?

Arya: Bonny sempat ragu.

Boybleh: Iya, dia sempat ragu. Kalau gue sih, gas aja.

Bonny: Merubah itu yang gue bingung. Gue biasa mainnya ngangkang, headbang, terus ini gue mainnya gimana? Awalnya begitu. Tapi ya gue jalanin aja. Akhirnya enjoy sendiri karena memang dengan situasi dan keadaan gue yang udah gak terlalu intens dengerin musik ekstrim. Banyak kegiatan di luar band seperti kerja atau merhatiin keluarga gue. Ya memang harus seperti ini.

 

Akhirnya untuk referensi kalian banyak dengerin band apa untuk mengejar pendekatan baru di Megadaya?

Boybleh: Kalau gue sebetulnya balik dengerin band-band jadul sih kayak Black Sabbath. Terus gue kan ngefans sama Zakk Wylde ya, band-bandnya dia gue ikutin tuh yang southern rock gitu kayak Black Label Society, terus Pride & Glory. Ozzy Osbourne sampai Guns N Roses jadi gue dengerin lagi. Balik ke masa SD/SMP. Kalau gue sih itu.

Bonny: Sama sih ya. Gue juga lebih ke yang dulu-dulu. Yang lokal-lokalan pun, Slank album Kampungan, Andy Liany, sampai Duo Kribo akhirnya gue dengerin lagi. Itu sih referensi gue.

Boybleh: (Led) Zeppelin. Wajib tuh, sama AC/DC.

Arya: Gue malah dengerinnya ke (band) hardcore 90s karena hardcore 90s yang new school kan lebih banyak groove-nya. Kalau dengerin hardcore sekarang lebih dark dan rapat lah. Kalau hardcore 90s, gue lebih ngambil groovy-nya. Jadi buat di Megadaya, kalau didengerin kan ada beberapa part yang groove, gue ngambil dari hardcore 90s, NYHC lah.

 

Album Megadaya bisa dibilang ada sisi nostalgia ke masa kalian lagi dengerin band-band itu ya?

Boybleh: Iya, benar. Cuma dikemas ke (masa) sekarang aja, dengan sentuhan riff-nya Dead Vertical gak hilang semua, intinya sih gitu.

 

Jadi penasaran, secara gear apakah ada perubahan untuk mengejar nuansa berbeda?

Bonny: Kalau di bas gue masih dengan gear yang sama. Cuma setelannya aja yang berubah. Karakter bas yang biasanya gue pakai distorsi, sekarang agak dipelanin distorsinya.

Boybleh: Gue berubah total. Mau gak mau gue harus melengkapi pedalboard. Banyak sih gak cuma nambah aja, yang tadinya 2 sekarang jadi 5 karena kalau sekarang kan udah jarang pakai (amplifier) head cabinet ya, kebanyakan direct. Ya, mau gak mau gue ngikutin anak zaman now. Padahal jujur gue sebenarnya masih lebih senang ampli, cuma kayaknya udah mulai digusur nih ampli. Gue berubahnya itu sih.

Pedal yang gue pakai jadinya AMT S-1, terus Noise Reducer-nya Behringer, tuner, DemonFX buat booster, sama satu lagi ER Box buat cabinet simulator. Karena kan teknis panggung dari vendor standar biasanya itu, DI Box Behringer yang Gi100 atau yang non-aktif. Cuma suaranya kadang beda ya sama todongan. Nah, si ER Box ini sangat membantu sekali, kecil alatnya, gambarnya kucing lagi.

Gitar masih pakai yang lama aja. Tuning juga sama, cuma senarnya gue turunin. Tadinya pakai .060 atau .056, sekarang udah gak mau sok jagoan lagi, .052 aja cukup lah, pegal [tertawa].

Arya: Kalau drum tuning-an sih pasti. Sebelumnya pas DV masih grindcore, tuning-an gue, terutama snare ya, gue ambilnya high. Kalau di Megadaya gue ambilnya lebih ke medium high, jadi turun. Gue ambil suara-suara lebar gitu. Terus gue juga ganti snare. Sekarang pakai acrylic, sebelumnya gue maple bubinga. Itu aja sih. Paling sama gue jadi nambah tom. Biasanya gue pakai 1 tom kalau zaman grindcore, sekarang gue pakai 2 tom akhirnya. Biar lebih banyak variasi aja. Terus simbal, gue udah mulai pakai dark sih mau gak mau sekarang, gak yang terlalu bright banget suaranya.

 

Seberapa penting untuk band yang usianya sudah lebih dari 20 tahun seperti Dead Vertical merilis album baru?

Boybleh: Penting. Gini prinsipnya, kalau band udah puluhan tahun tapi masih solid dan spiritnya masih ada buat berkarya. Ya itu sangat penting. Yang masih berkarya aja tuh bisa tergerus sama waktu ya, generasi udah ganti, band-band yang muda-muda juga banyak yang bagus, ya otomatis kalau gak berkarya makin tenggelam. Cuma balik lagi ke komitmen bandnya, mau dibawa ke mana orientasinya? Apa lo cuma ngeband buat santai? Atau lo masih pengin dapetin sesuatu dari nih band? Atau memang total mau serius? Kalau gue itu.

Bonny: Kalau band yang udah puluhan tahun tuh harus lebih explore ya, gak bisa di situ-situ aja. Ada banyak permintaan dari pendengar. Kalau di Dead Vertical, banyak macam pendengar. Ada yang garis keras, ada yang coba ngasih masukan, “Coba masukin yang ini Bang.” Nah kami mencoba explore. Itu menurut gue.

Arya: Itu kan bagian dari identitas si band juga ya. Karya tuh salah satu fasilitas yang lo harus kasih ke pendengar lo.

 

Ceritakan hal yang paling berkesan dari proses pengerjaan album Megadaya!

Arya: Pasti berkesan karena dari awal gue tadi udah bilang, memang ini mau gue. Terus pas udah kejadian, udah jadi master, gue dengerin di rumah, senang banget sih, “Yes, berubah.”

Bonny: Yes, gue gak ngebut lagi [tertawa].

Arya: Masalah pro-kontra pasti ada. Nah itu kami bertiga memang udah siap ketika memutuskan ambil jenis musik yang sekarang. Kesampaian lah yang gue mau. Dan bukan hanya untuk gue doang, Boy sama Bonny pun akhirnya mengiyakan gitu, bukan karena gue mereka jadi terpaksa, gak gitu. Fun banget sih pokoknya.

Boybleh: Gue, itu tadi. Belajar vokal, belajar singing lagi. Terus bisa berkolaborasi sama Om Coki, Mas Winky, Om Jimz, sama Nadila, ya seru aja. Ini kolaborator terbanyak selama kami berkarier. Biasanya kan paling 1 album cuma 1 featuring-nya, ini sampai 4. Ngurangin beban gue untuk di panggung juga [tertawa].

Bonny: Lebih main pelan aja berkesannya. Terus mainnya gak capek, akhirnya [tertawa]. Cuma ya balik lagi, kebiasaan baru ini kadang masih suka lari-lari karena kebiasaan yang cepat. Ya berkesannya sih, gila akhirnya gue bikin album grindcore tapi pelan. Yang identiknya berdistorsi, ngebut, basnya di-full-in lah, sekarang temponya dipelanin. Akhirnya kesampaian juga, itu berkesan buat gue.

 

Ada 4 kolaborator di album Megadaya Apa pertimbangan kalian saat menentukan nama-nama tersebut?

Boybleh: Ini sedikit flashback nih. Arya kan pengin bikin sesuatu yang jomplang, dia bilang ke gue, “Udah Bleh, kalau mau bikin jomplang, jomplang sekalian, jangan tanggung-tanggung.” Ya gue mikir tuh, berarti harus ada yang out of the box nih dari karya kami. Belum pernah nih ajak cewek untuk kolaborasi. Terus kebetulan musik untuk lagu “Nestapa” yang cocok buat kaum Hawa Itu kan pelan, ballads, terus masih ada dark-nya juga, cocok aja. Pas nih, harus dibawain sama cewek, kalau dibawain sama cowok, gak asyik.

 

Dead Vertical bersama Nadila Wantari membawakan “Nestapa” / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Bonny: Bukan cewek-cewek yang di musik ekstrim ya, Bleh.

Boybleh: Oh, jangan.

Bonny: Maksudnya identiknya kami kalau featuring tuh sama cewek yang masih di skena musik ekstrim ya.

Arya: Kami pengin nyebrang aja.

 

Kalau 3 lainnya (Coki Bollemeyer, Jimi Multhazam, dan Winky Wiryawan) menentukannya gimana?

Boybleh: Mereka kami cocokin sama lagunya. Lagu “Jelata”, punk banget style-nya, lagu pemberontakan, Om Jimz cocok nih.

 

Dead Vertical bersama Jimi Multhazam membawakan “Jelata” / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Kalau “Karburator Membara” kami memang bikin buat anak motor ya, bukan anak geng motor. Ya buat lo semua yang sehari-hari nyari nafkah bawa motor. Bisa buat ojol, opang (ojek pangkalan, red), kerja lapangan, sopir taksi, pokoknya yang berjuang di jalanan deh. Nah itu makanya kami pilih Om Coki. Kebetulan doi anak motor, Vespa-an juga.

 

Dead Vertical bersama Coki Bollemeyer membawakan “Karburator Membara” / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Kalau Winky di lagu “Bond”, itu tentang James Bond cuma versi Daniel Craig. Kebetulan doi juga suka sama Daniel Craig. Gue sempat brainstorming sama dia, ya udah jadi akhirnya. Riff-nya juga dia suka karena Winky itu kan memang aslinya anak rock.

 

Dead Vertical bersama Winky Wiryawan membawakan “Bond” / Dok. Anggik Yoga Prayuda

 

Apa yang ingin kalian tuju secara musikal di album Megadaya?

Boybleh: Sebenarnya simpel. Gimana caranya kami yang udah dilabelin band musik ekstrim ini bisa diterima sama orang yang gak suka musik ekstrim.

Arya: Kami pengin nge-grab massa baru gitu, bukan metalhead atau penyuka musik ekstrim lagi. Kami pengin lebih universal dan umum. Pengin diterima berbagai lapisan masyarakat aja.

Boybleh: Udah mulai terbukti pelan-pelan sekarang. Dari sebagian teman-teman kami yang gak metal-metal banget mulai dengerin dan suka. Cuma ya di luar dugaan, gue pikir (pendengar) yang lama-lama pada kontra semua, pada maki-maki ntar nih. Ternyata gak. Justru banyak yang support, doyan-doyan juga ternyata.

Bonny: Meskipun yang garis keras ada juga yang tetap, “Kok begini sih?

Boybleh: Pasti ada itu, gak mungkin gak ada.

 

Ada apa dengan lagu “Jungkir Balik” MORFEM sampai kalian mau meng-cover di album ini?

Arya: Secara lirik lagu ini kami banget. Jakarta Timur banget.

Boybleh: Lagu ini memang mewakili kami bertiga juga sih. Om Jimz kan jenius bikin lirik, pengalaman pribadinya dia sih itu. Tapi memang relate sama kehidupan kami. Jadi kami juga pengin lintas genre.

Arya: Kami cover lagu bukan dari band metal atau hardcore. Cari yang nyebrang, ambil dari MORFEM aja. Indie rock, sikat.

 

Bagaimana kalian melihat perkembangan musik ekstrim di Indonesia saat ini?

Boybleh: Sebetulnya masih bagus ya. Cuma mungkin kayaknya harus upgrade strategi deh. Gini, ketika lo bikin event. Kalau bisa bintang tamunya gak cuma dominan yang A, B, C. Kalau lo perhatiin kan kayaknya di situ aja. Kalau kami melihatnya banyak band-band baru yang di luar lingkaran itu, banyak yang bagus sebetulnya. Mereka kapan bisa naik, kalau gak dikasih kesempatan. Intinya sih begitu.

Khawatirnya, nanti ketika ada stagnan. Kita akan ketinggalan dengan scene musik di luar ekstrim. Dan itu sih, jujur aja sekarang udah terjadi. Coba aja deh perhatiin, kayak acara-acara. Ramai cuma gak seramai dulu. Kayak di festival, jarang sekarang festival metal yang benar-benar metal. Sekarang kebanyakan campuran. Gue sama teman-teman kangen gitu, harusnya metal seperti dulu lagi nih. Gimana caranya ya? Siapa tau, ramuan kami ini bisa nge-grab anak-anak yang gak doyan metal datang ke festival metal. Jadi istilahnya bukan kami yang pengin masuk ke skena mereka, nebeng gitu, gak juga. Justru kami pengin ngajak semua kalangan. Menciptakan pasar kan lebih bagus. Itu sih harapan kami.

 

Penulis
Gerald Manuel
Hobi musik, hobi nulis, tapi tetap melankolis.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Kembali ke Dunia Musik, Ibel Rilis Single Ledemno

Setelah lebih dari satu dekade dikenal sebagai penyiar radio, Ibel resmi kembali fokus ke skena musik hip hop dengan merilis single baru berjudul “Ledemno“.     Judul lagu ini berasal dari frasa bahasa Inggris …

5 Fashion Item Manggung Andalan Yura Yunita

Yura Yunita akhir pekan lalu sukses menggelar Konser Bingah Yura 2025. Dua hari sebelum konser digelar kami menemuinya dalam jumpa pers hari Jumat (31/01) di Artotel Gelora Senayan.     Saat menghadiri jumpa pers, …